Omnibus Law Cilaka Menyusup, Corona Mewabah, Skeptisme Buruhpun Menolak

Omnibus Law Cilaka Menyusup, Corona Mewabah, Skeptisme Buruhpun Menolak

KSBSI.org: Penyakit koronavirus 2019–2020 atau dikenal sebagai wabah COVID-19  atau coronavirus disease 2019 telah menjadi momok menakutkan di dunia, termasuk di Asia. Di seluruh dunia, jumlah infeksi kasus virus corona telah mencapai 60.329 kasus per Kamis (13/2/2020), menurut data Johns Hopkins CSSE. Sedangkan jumlah korban tewas sebanyak 1.369 orang.

Baca juga:  APBGATI Gelar Agenda Konsolidasi, Ini Yang Dibahas , Demo di Balai Kota, Buruh KSBSI Desak Anies Cabut Pergub UMP 2021, RUU Omnibus Law Cipta Kerja dari Perspektif Ekonomi ,

Dalam hal ini China sebagai negara sumber wabah ini adalah investor ketiga terbesar di Indonesia setelah Singapura dan Jepang, mencapai  US$2,3 miliar atau 16,2?ri total investasi asing di Indonesia. China juga merupakan negara tujuan ekspor pertama Indonesia dengan pangsa pasar 16,6?ri total ekspor Indonesia. Ekspor andalan ke China, antara lain adalah minyak kelapa sawit dan batu bara. Bank Indonesia mencatat modal asing masuk ke Indonesia melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) mencapai Rp3,8 triliun hingga 23 Januari 2018. Namun demikian, aliran modal keluar atau capital outflow di pasar saham juga terjadi sebanyak Rp980 miliar.

Pengamat Indef Abra Tallatov mengatakan pemerintah Indonesia perlu menjaga psikologis pasar dan investor untuk mengantisipasi dampak ekonomi yang dapat terjadi.

 Aliran modal keluar terjadi karena kondisi geopolitik global dan maraknya wabah virus corona. Ini terbukti dengan terjadinya penurunan harga saham. Sekitar 50% impor Indonesia dari China adalah barang-barang industri manufaktur yang diperlukan untuk investasi. Disrupsi supply chain regional di Tiongkok akibat corona virus ini tentunya berdampak pada industri di Indonesia, yang input produksinya banyak dari China.

Cina saat ini merupakan negara importir sekaligus eksportir terbesar dunia. Cina mengimpor komoditas mulai dari minyak, bijih besi, kedelai, dan juga bagian-bagian dari barang elektronik. IMF memperkirakan ekonomi Cina memberikan kontribusi hingga 39,2?ri total pertumbuhan ekonomi dunia pada 2019. Ini menjadikan Asia sebagai kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, dengan kontribusi lebih dari dua pertiga pertumbuhan global. Menurut perkiraan IMF, ekonomi Cina akan tumbuh 6,1 persen pada tahun 2019, dan melambat menjadi 5,8% pada 2020 . Tapi coronavirus yang mewabah akan secara drastis mengubah proyeksi tersebut. Seiring dengan itu, negara-negara di dunia sudah mempersiapkan aksi-aksi penyeimbang berupa stimulus ekonomi.

Aksi "synchronized fiscal easing" yang diinisiasi di Indonesia, dalam bentuk stimulus ekonomi, bantuknya beragam, termasuk stimulus pajak untuk menyokong ekspansi korporasi dan konsumsi domestik. "Investasi dalam negeri masih wait and see menunggu pembahasan omnibus law perpajakan dan cipta kerja di parlemen,"

Pertanyaannya, adakah stimulus sosial atas wabah ini? Penanganan kesehatan memang sudah menjadi bagian utama di negara manapun yang terimbas langsung atau tidak langsung termasuk Indonesia dengan skenario karantina pulau Natuna. Tetapi langkah antisipasinya sama sekali tidak ada hingga saat ini, kita terkesan hanya menunggu sampai virus ini hadir di Indonesia dan kemarin 2 Maret 2020 presiden Jokowi mengumumkan bahwa 2 orang telah positif terinfeksi di Depok sehingga mulai menimbulkan kepanikan dimana-mana. Dan sebagaimana biasanya juga tanpa memperhitungkan dampak sosialnya. Budaya yang sering diagungkan “ngewongke wong” tinggalah istilah, tanpa implementasi konkrit, yang ada hanyalah komersialisasi dan perhitungan bisnis.

Pelemahan permintaan barang dari Cina sudah pasti akan mengganggu produksi dari negara pemasok. "Banyak perusahaan multinasional asing yang memiliki pusat manufaktur di Tiongkok, yang produksi barangnya diperlukan industri di seluruh dunia termasuk Indonesia. Bahkan saat Korea Selatan terdampak besar dengan lumpuhnya setidaknya 3 perusahaan raksana Hyundai, LG dan Samsung yang mengumumkan tutup produksi beberapa lama karena virus corona, Indonesia tentu terdampak juga karena ketiga perusahaan ini sangat diperhitungkan, belum lagi rantai pasoknya yang tidak terhitung dengan transparan di Indonesia. Lebih dari 57.000 tenaga kerja kita bekerja di perusahan Korea terutama di rantai pasok, jumlah ini tentu ikut terdampak secara signifikan dan tragisnya aturan internasional manapun belum mengatur pertanggungjawaban korporasi atas situasi seperti ini. Sebut juga Uniqlo, perusahaan garment dari Jepang dengan 242 pabrik di 11 negara, 128 di antaranya berada di China,  17 pabrik di Indonesia.  

Boleh juga sepintas mengingat tragedi April 2013 saat runtuhnya pabrik garmen Rana Plaza di Bangladesh yang menewaskan lebih dari 900 orang dan cidera lebih dari 2000 buruh akibat minimnya keperdulian pengusaha dan pemerintah akan keamanan dan keselamatan kerja. Atau lemahnya tanggungjawab korporasi atas ratusan korban runtuhan perusahaan pada gempa di Nepal tahun 2015. Lalu, kapan keperdulian kita tumbuh dan berapa banyak musibah lagi untuk menggagas perlunya instrumen atau ide-ide untuk mengakomodir kaum lemah.

Hal ini dikaitkan dengan perundingan dan Technical Meeting ILO untuk pembahasan regulasi global untuk Pekerjaan Yang Layak di Perusahaan Rantai Pasok Global di Jenewa 25-28 Pebruari lalu yang sama sekali tidak menghasilkan keputusan. Berkerasnya pihak pengusaha untuk tidak membuat aturan tentang rantai pasok diperburuk dengan pemerintah negara-negara yang dominan tidak bersuara, menimbulkan deadlock karena hanya unsur pekerja yang terus berkeras pentingnya transparansi aturan atas rantai pasok perusahaan multinasional. Disinyalir dari forum ILO tersebut sama sekali tidak ada kemajuan sejak diskusi agenda ini di Konferensi tahunan ILO tahun 2016 yang juga tidak menghasilkan keputusan berarti. Pihak pengusaha yang diketuai Mthunzi Mdwaba dari Afrika Selatan terus bertahan kalau persoalan penurunan kualitas kerja layak di perusahaan rantai pasok saat ini adalah akibat lemahnya fungsi pengawasan oleh pemerintah negara sehingga tidak membutuhkan adanya instrument internasional baru sebagai rantai pengamana maraknya operasi rantai pasok di seluruh dunia. Tawaran kompromi dari pihak buruh yang menawarkan beberapa alternatif untuk membuka situasi yang sebenarnya ke publik sekaligus menawarkan beberapa mekanisme untuk perbaikan keadaan, termasuk usaha menemukan fakta-fakta di lapangan sekaligus mengenali ide-ide efektif yang pernah diterapkan berbagai pihak, sama sekali tidak di respon. Di Indonesia secara fenomenal kenyataan tersebut secara gamblang terlihat dengan bertumbuhnya tren outsourcing, buruh kontrak bahkan upah murah dan pelemahan jaminan sosial yang kesemuanya bermuara pada tujuan memudahkan investasi dan menyokong dunia usaha seluas-luasnya. Bahkan untuk melenggangkan hal tersebut dapat dilihat saat ini inisiatif omnibus law Cipta Lapangan Kerja yang spektakuler tersebut terus digaungkan walau mendapat penolakan keras dari pihak buruh.

Entah wabah apalagi yang perlu hadir demi membuka mata kita dan perduli pada keselamatan manusia, kenyamanan bekerja dan hidup yang lebih layak dan manusia dimuka bumi ini? 

 

Penulis: Maria Emeninta-kordinator IIWE

untuk Network MNCs dan Supply Chain

 

Komentar