Beberapa Pasal RUU Cipta Kerja Terindikasi Melanggar Nilai-Nilai HAM

 Beberapa Pasal RUU Cipta Kerja Terindikasi Melanggar Nilai-Nilai HAM

KSBSI.ORG: Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International mengatakan omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja terindikasi mengabaikan nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM), khususnya dalam dunia ketenagakerjaan.

Baca juga:  DPP FTA KSBSI Gelar Agenda Batra dan Diskusi Terbuka , Sikap Resmi KSBSI, Menolak Terlibat Pembahasan RPP UU Cipta kerja, Sikap Serikat Buruh/Pekerja Terkait RUU Cipta Kerja,

Olreh sebab itulah dia meminta agar DPR RI dalam rapat pembahasan RUU Cipta Kerja bisa mempertimbangkan untuk menghapus pasal-pasal yang bisa berakibat fatal merugikan buruh. Sebab ada terdapat pasal yang sangat mengancam HAM terhadap buruh di tempat kerja.

“Karena seharusnya buruh berhak mendapatkan kondisi kerja yang menyenangkan yang dijamin dalam Pasal 7 Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (ICESCR). Jadi bukan bukan mengalami tekanan yang bertentangan dengan prinsip non-retrogresi dalam hukum internasional,” ungkapnya saat memberikan materi diskusi forum virtual di Jakarta, Rabu, 19 Agustus 2020.

Kata Usman, ada beberapa pasal yang krusial di RUU Cipta Kerja, sehingga mayoritas buruh menolaknya. Seperti masalah penghapusan upah minimum. Dalam RUU ini, ada pasal yang akan menghapus Upah Minimum Kota atau Kabupaten (UMK).

“Penghapusan masalah upah ini bisa menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata di semua kota dan kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap daerah. Tentu saja masalah ini bertentangan dengan semangat HAM, karena bisa memiskinan buruh,” ungkapnya.

Termasuk RUU Cipta Kerja terdapat pasal yanga akan menghilangkan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status pegawai tetap.

“Artinya pasal tersebut sangat berpeluang memberikan kekuasaan pada pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas,” ujarnya.

Selanjutnya, perusahaan juga tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi pegawai tetap. Usman juga menilai, pasal tersebut berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi pegawai tidak tetap.

“Sehingga seterusnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai, termasuk pensiun, cuti tahunan selama 12 hari (untuk pekerja sementara yang bekerja di bawah satu tahun), dan kompensasi untuk pemutusan hubungan kerja,” tandasnya. (Red)

Komentar