Presiden KSBSI: Era 4.0, Buruh Harus Menjadi Penggerak Agenda Kontrak Sosial Baru

Presiden KSBSI: Era 4.0, Buruh Harus Menjadi Penggerak Agenda Kontrak Sosial Baru

KSBSI.ORG: Jakarta- Revolusi Industri 4.0 sangat membawa dampak pada dunia kerja. Fakta hari ini, kemajuan digitalisasi, otomatisasi dan robotisasi telah menggantikan tenaga kerja manusia di perusahaan. Tak heran, puluhan juta buruh pun semakin terancam kehilangan pekerjaan. Selain ditengah pesatnya era industri 4.0, juga membawa angin segar. Sebab mampu menciptakan miliader-miliader baru yang memiliki perusahaan dan menguasai pasar perekonomian global.

Baca juga:  Buruh Dihadapkan 3 Masalah Ketenagakerjaan Ditengah Pandemi Covid-19,

Sayangnya, ditengah geliat perusahaan global ini juga membawa dampak jurang ketidakadilan bagi masyarakat dunia. Hasil laporan lembaga Oxfam dari Inggris akhir tahun lalu dalam pertemuan tahunan Forum Ekonomi Dunia di Davos, membeberkan 1 persen orang terkaya di dunia memiliki lebih dari dua kali lipat kekayaan dari seluruh masyarakat dunia.

 

Ketimpangan tersebut juga telah diluar kendali. Pasalnya, 2.153 milader di dunia ini memiliki kekayaan lebih dari 4,6 miliar orang pada 2019. Padahal, kondisi dunia sedang menghadapi kelesuan perekonomian. Namun  hasil pundi kekayaan para miliarder dengan ladang bisnisnya justru menjadikan manusia yang tak berdaya sebagai korban eksploitasi.

Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan era industri 4.0 ikut melahirkan pengusaha dan milader berbasiskan teknologi digitaliasi. Tapi, fenomena ini menyebabkan masyarakat dunia mengalami perubahan iklim ketenagakerjaan. Kenapa? karena perusahaan-perusahaan di era industri 4.0, menyebabkan pergeseran masa depan buruh banyak menjadi  buruh informal, bukan lagi formal didalam perusahaan.

 

“Disatu sisi fenomena perubahan iklim ketenagakerjaan ini saya nilai membawa dampak tidak baik. Nantinya semakin banyak perusahaan memilih buruh sebagai mitra kerja. Tidak ada lagi jaminan keterikatan kerja, upah layak serta jaminan sosial,” ungkapnya, saat diwawancarai beberapa waktu lalu di Kantor KSBSI, Cipinang Muara, Jakarta Timur.

 

Lanjutnya, perubahan iklim kerja semakin menciptakan ketimpangan sosial antara si pengusaha dan buruh.  Sebab pengusaha lebih mengutamakan teknologi canggih dalam perusahaan dan hasilnya lebih  menguntungkan, karena tidak mengeluarkan anggaran dana yang lebih banyak. Jadi tak heran, kekayaan para konglomerat dunia saat ini tiga kali lebih kaya dibanding dua puluh tahun lalu.

 

Nah, bagi buruh yang gagap dengan kehadiran industri 4.0, seperti di negara berkembang pasti akan merana. Hal ini seperti terlihat di Indonesia, buruh akhirnya tergusur dalam perusahaan, karena kehadiran digitalisasi, robotisasi dan otomatisasi.

 

“Kalau pun ada buruh yang bekerja, mereka banyak yang tidak memiliki kepastian jaminan kerja. Justru yang ada masih menjadi sumber eksploitasi keuntungan dari si pemilik modal saja,” lugasnya.

 

Dia menerangkan kondisi perekonomian global hari ini sedang mengecewakan. Bahkan pemerintah pun dinilainya tidak mampu melawan perusahaan-perusahaan global besar yang telah banyak menghilangkan hak-hak buruh. Jadi, menurut Elly gerakan buruh harus mendorong agenda ‘Kontrak Sosial Baru’ antara serikat buruh/pekerja, pengusaha dan pemerintah.

 

Pikiran Bijak

 

Dalam agenda kontrak sosial baru ini, Elly menyarankan semuanya harus mengedepankan sosial dialog. Duduk dan berunding bersama dengan perwakilan pemerintah, pengusaha dan serikat buruh. Serikat buruh harus berani membuat argumentasi dan memberikan solusi mengenai ketimpangan sosial yang sedang terjadi. Bahwa masih memang sumber eksploitasi pemilik modal.

 

“Faktanya memang seperti itu, pengusaha sedang diuntungkan dengan fasilitas teknologi hari ini. Ditambah lagi negara kita belum ada undang-undang ketenagakerjaan di Indonesia yang menjamin hak kesejahteraan buruh di era industri 4.0,” pungkasnya.

 

Intinya gagasan ide kontrak sosial baru merupakan solusi jalan tengah untuk memutus rantai ketidakdilan. Kalau tidak ada inisiatif untuk sikap memutus rantai ketidakadilan, ia yakin dunia akan semakin menuju jurang ketidakadilan. Besar kemungkinan bisa terjadi konflik sosial kalau negara tidak hadir untuk mencari solusi yang terjadi.

 

Dalam hal ini, Elly menegaskan sebenarnya serikat buruh sedang tidak memojokan pengusaha. “Tapi yang kami kritik adalah semua perusahaan harus bisa menciptakan dunia baru yang penuh keadilan ditengah pandemi Covid-19,” lugasnya.

 

Kalau dialog kontrak sosial baru berjalan, pihak pengusaha mungkin mau mendengar ji. Sebab, tujuan sosial dialog sebenarnya memenangkan semua kepentingan dan tak ada yang dirugikan. Sayangnya, gagasan sosial dialog di Indonesia hari ini memang belum diterima semua kalangan serikat buruh/pekerja. Hanya KSBSI yang sudah memulai sejak beberapa tahun ini.

 

“Padahal kalau kita melihat serikat buruh di negara maju, justru agenda sosial dialog sangat maju dalam menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Jadi perlu dipahami, bahwa kekuatan buruh tak hanya menurunkan aksi massa saja, kemampuan intelektual dalam berdialog juga sangat dibuutuhkan di era ini,” imbuhnya.

 

Termasuk agenda omnibus law, klaster Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang sedang dibahas DPR saat ini pun dinilainya ada beberapa pasal yang bisa menghilangkan hak buruh. Karena Dalam RUU Cipta Kerja ada indikasi, keinginan pemilik modal mengurangi jumlah buruh formal dalam perusahaan menjadi informal.  Sehingga kalau agenda RUU Cipta Kerja jika berjalan mulus, maka status buruh di Indonesia bisa berbahaya.

 

“Kemungkinan kedepannya nasib buruh kita hanya status kontrak mitra kerja saja dengan perusahaan. Masalah ini kan sangat memperihatinkan kalau dibiarkan. Makanya sejak awal KSBSI selalu bersikap kritis menolak pasal-pasal RUU Cipta Kerja yang menghancurkan masa depan buruh,” tandasnya. (A1)

Komentar