KSBSI.ORG: JaKarta-Omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan masih menjadi polemik dihadapan serikat buruh/pekerja. Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) sendiri masih menegaskan menolak pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja yang merugikan hak buruh.
Baca juga: Perkuat SDM, DPC FSB GARTEKS Kabupaten Bogor Gelar Pelatihan Media Publik,
KSBSI
menilai, ada beberapa pasal yang harus di evaluasi. Seperti penghapusan Pasal
59 Tentang jenis dan sifat pekerjaan yang dapat dibuat hubungan kerja
berdasarkan Perjanjian Kerja Antar Waktu Tertentu (PKWT) dan tentang jangka
waktu lama (PKWT).
Mendesak
perubahan Pasal 66 tentang syarat pekerjaan yang diborongkan dengan pola sistem
kerja kontrak (outsourching) dan mendesak penghapusan Pasal 89 tentang
UMP/UMK/UMSP/UMSK. Termasuk perubahan Pasal 156 ayat (5) tentang besaran
pesangon akan diatur kemudian dalam peraturan pemerintah dan penghapusan Pasal
161-172 tentang besaran pesangon dan lain-lain tidak ada kata sepakat.
Saat
diwawancarai, di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur (17/9), Dwi Harto
Sekjen DPP Federasi Serikat Buruh Niaga, Informatika, Keuangan, dan Perbankan
(FSB NIKEUBA-KSBSI) menegaskan organisasinya tetap bersikap kritis selama
tuntutan tidak diakomodir. Termasuk, mengancam aksi mogok nasional, jika dalam
RUU Cipta Kerja, status buruh dianaktirikan. Berikut pendapat kritisnya hasil
wawancara.
KSBSI menegaskan menolak
beberapa pasal RUU Cipta Kerja yang dinilai kontroversial. Bagaimana jika
nantinya DPR ngotot mensahkan dan mengabaikan pasal yang mengancam tersebut?
Kalau DPR
tetap mengabaikan pasal yang kontroversial ini, saya memprediksi masa depan
buruh/pekerja kita akan semakin suram. Sejak awal KSBSI tegas menolak secara
profesional terhadap pasal yang bermasalah. Dari melakukan aksi demo sampai
dialog terbuka dengan pemerintah dan DPR.
Intinya
KSBSI sudah memberikan pemasukan ke DPR dan mendesak agar mengevaluasi beberapa
pasal yang bermasalah. Contohnya pasal pengupahan ini sangat berpotensi akan
menghilangkan standar upah minimum kabupaten/kota (UMK) lalu semuanya dipakai
standar upah minimum provinsi (UMP). ini kan jelas sangat merugikan buruh.
Termasuk,
kalau pemerintah ingin membuat RUU Cipta Kerja berkualitas, seharusnya juga
ikut mengakomodir kepentingan buruh yang bekerja di sektor mikro dan jasa
digital/online. Karena faktanya, masih banyak mereka yang bekerja di sektor
ini, hak upah dan jaminan sosial mereka masih terabaikan.
Selain itu, strategi apa yang
bakal diambil jika RUU Cipta Kerja disahkan, kalau hasilnya mengecewakan buruh?
Tentu
saja KSBSI akan mengambil langkah hukum,seperti judicial review ke Mahkamah
Konstitusi (MK). Saya yakin, semua federasi serikat buruh yang berafiliasi
mendukung gerakan ini dibawah komando Dewan Eksekutif Nasional (DEN) KSBSI.
Apakah pemerintah dan DPR
layak mensahkan RUU Cipta Kerja ditengah pandemi Covid-19?
Sebaiknya
ditunda saja, karena bisa membuat situasi politik semakin keruh. Pemerintah dan
DPR lebih baik fokus menangani korban pemutusan hubungan kerja (PHK) dan
dirumahkan dari dampak Covid-19. Bahkan pengusaha nakal pun banyak memanfaatkan
situasi ini dengan menutup usahanya dengan memberikan upah tak layak. Tanpa ada
pesangon kepada buruhnya. Padahal setelah ditelusuri, sektor usaha si pengusaha
tidak terlalu terkena dampak pandemi.
Jadi
pemerintah dan DPR tidak usah ngotot mensahkan RUU Cipta Kerja, kalau dibalik
semua ini ada kepentingan investor. Toh, sampai hari ini belum ada jaminan
wabah Corona kapan berakhir. Sementara yang ter-PHK terus bertambah dan negara
sedang terancam resesi ekonomi.
Apakah internal serikat
buruh/pekerja masih solid menyikapi RUU Cipta Kerja?
Pada
umumunya KSBSI dengan serikat buruh/pekerja lainnya saya nilai masih kritis
serta solid menyikapinya. Hanya caranya saja yang berbeda-beda menentukan sikap
perjuangannya dan hal ini wajar saja di era demokrasi. Nah untuk KSBSI, kami
masih tetap menggunakan tradisinya berjuang melalui dialog sosial dan aksi
turun ke jalan.
Saya
berharap semua serikat buruh/pekerja jangan mau dipecah belah oleh kelompok
yang ingin menghancurkan perjuangan buruh. Kami juga melihat memang ada
kelompok-kelompok, sengaja membangun opini di media digital. Mereka ini sengaja
membangun narasi untuk menggiring hal-hal positif RUU Cipta Kerja, dengan janji
membuka lapangan kerja seluas-luasnya ke publik.
Perlu
kami pertegas, opini yang dibangun itu tidak objektif. Karena mereka tidak
berani menjabarkan pasal-pasal RUU Cipta Kerja yang bisa mendegradasi hak-hak
buruh. KSBSI tidak mau terpengaruh dengan narasi yang dibangun itu. Kami tetap
memberikan edukasi kepada anggota mengenai dampak pasal-pasal RUU Cipta Kerja
yang bermasalah.
DKI Jakarta sedang
memberlakukan Pembatasan Skala Besar-besaran (PSBB) jilid dua dan belum tahu
kapan waktunya berakhir. Nah, seandainya dalam waktu dekat ini DPR mensahkan
RUU Cipta Kerja, tentu menjadi kendala serikat buruh/pekerja seperti melakukan
aksi demo. Bagaimana Anda menyikapinya?
Kalau
disahkan tapi mengecewakan buruh, KSBSI tetap bersikap. Yang pasti aksi demo
tetap mematuhi protokol kesehatan. Toh beberapa waktu lalu, KSBSI menurunkan
ribuan anggotanya demo ke Gedung DPR, menolak RUU Cipta Kerja, tetap
menggunakan masker, menjaga jarak. Bagi buruh, kesehatan itu penting, tapi
berjuang untuk anak bangsa ini jauh lebih penting.
Kami juga
mempunyai jalan terakhir dengan mengintruksikan semua anggota KSBSI diseluruh
Indonesia, melakukan aksi demo mogok nasional. Artinya buruh menghentikan
pekerjaannya sementara waktu disemua perusahaan. Saya pikir, aksi ini sangat
efektif, karena tidak turun ke jalan dan menimbulkan kerumunan. Tapi efeknya
sangat dahsyat.
Bagaimana pandangan terhadap
Presiden Jokowi terkait persoalan RUU Cipta Kerja?
Beberapa
bulan lalu, beliau memang mengundang pimpinan Majelis Pekerja Buruh Indonesia
(MPBI) ke Istana Presiden untuk mengademkan situasi sedang memanas. Dalam
pertemuan itu, dia lebih banyak mendengarkan saran dan masukan, lalu
mengeluarkan keputusan yang bijak untuk
menunda sementara RUU Cipta Kerja.