Sebagian (11) Masalah Dalam UU Cipta Kerja Bagi Buruh

Sebagian (11) Masalah Dalam UU Cipta Kerja  Bagi Buruh

1. Pasal 81 angka 4 Pasal 42 ayat (3) huruf c yang berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi: tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.”

Baca juga:  FSB NIKEUBA KSBSI Gelar Dua Agenda Pelatihan Secara Bersama di 2 Wilayah, Jumhur Hidayat Dinyatakan Positif Covid-19, Sekjen KSBSI Desak Polri Tangguhkan Penahanan, Ini Dia Pasal Krusial UU Cipta Kerja Yang Mengancam Buruh,

Ayat (1):

Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.”

 

Masalahnya:

1.   Berpotensi terjadinya penyelundupan hukum;

2.   Berpotensi kuat TKA bekerja di Indonesia tanpa RPTKA;

3.   Berpotensi TKA mengerjakan pekerjaan yang dapat dikerjakan buruh Indonesia;

Alasannya:

Tidak dibuat pengertian dan batasan-batasan mengenai:

1.   Apa yang dimaksud dengan keadaan darurat dan vokasi?

2.   Apa ukuran perusahaan rintisan (start-up), berapa jumlah buruhnya, berapa jumlah modalnya?

3.   Apa yang dimaksud kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu, dan berapa lama?

 

1.  Pasal 81 angka 13 Pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut

(1)     Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.

(2)     Dalam  hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu yang dibuat dalam bahasa Indonesia.

 

Permasalahan:

Norma dalam Pasal 57 ayat (2) UU No. 13/2003 diatur bahwa PKWT wajib dibuat tertulis, jika hanya lisan maka hubungan kerja menjadi PKWTT.

Demikian bunyinya ayat (2):

“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.”

Ayat (1) berbunyi:

“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”

 

Sedangkan Pasal 57 UU CK menghapus ketentuan yang mengatur jika PKWT dibuat secara lisan maka PKWT tersebut demi hukum menjadi PKWTT/pekerja tetap.

 

Dampaknya:

1.    Pengusaha tidak akan membuat perjanjian kerja supaya awal kerja, status hubungan kerja, berapa upah pokok dan tunjangan-tunjangan, apa jabatannya tidak diketahui buruh atau ahli warisnya jika dikemudian hari terjadi perselisihan seperti buruh mengalami PHK atau meninggal.

2.    Hak-hak buruh dikemudian hari seperti menghitung pesangon untuk PKWTT atau kompensasi untuk PKWT menjadi tidak jelas. Buruh tidak akan dapat mengajukan bukti tertulis dihadapan hakim PHI.

 

Pertanyaannya:

1.    Mengapa Pemerintah dan DPR melegalisasi perjanjian kerja lisan?

2.    Bukankah pengusaha punya pengetahuan menulis?

3.    Mengapa tahun 2003 dalam UU 13/2003 sudah diwajibkan membuat perjanjian kerja secara tertulis?

4.    Apakah pengusaha menjadi tidak tahu menulis di tahun 2020 ini dan di tahun-tahun mendatang?

 

3.  Pasal 81 angka 15 Pasal 59 yang berbunyi:

(1)     Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu:

a.  pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;

b. pekerjaaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;

c.  pekerjaan  yang bersifat musiman;

d. pekerjaan  yang  berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan; atau

e. pekerjaan yang jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.

(2)     Perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.

(3)     Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Permasalahan:

Dengan diubahnya ketentuan Pasal 59 UU 13/2003 dengan menghapus:

1.    Frasa “ dan paling lama 3 (tiga) tahun” dalam ayat (1) huruf b;

2.    Ayat (3): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat diperpanjang atau diperbaharui.

3.    Ayat (4): Perjanjian kerja waktu tertentu yang didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.

4.    Ayat (5): Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.

5.    Ayat (6): Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2 (dua) tahun.

     Maka:

1.    Secara yuridis PKWT/Kontrak dapat diberlakukan seumur kerja selama 32 (tiga puluh dua) tahun dan menandatangani PKWT sebanyak 32 (tiga puluh dua) kali (setiap tahun).

2.    Pengusaha tidak akan menggunakan pola hubungan kerja PKWTT karena  biaya  membayar pesangon.

3.    Buruh tidak akan pernah lagi mendapat pesangon walaupun telah bekerja dan mengabdi selama 32 tahun pada satu perusahaan.


Baca selengkapnya di :SEBAGIAN 11) MASALAH DALAM UU CIPTA KERJA BAGI BURUH

Komentar