1. Pasal 81 angka 4 Pasal 42 ayat (3) huruf c yang berbunyi: “Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi: tenaga kerja asing yang dibutuhkan oleh Pemberi Kerja pada jenis kegiatan produksi yang terhenti karena keadaan darurat, vokasi, perusahaan rintisan (start-up), kunjungan bisnis, dan penelitian untuk jangka waktu tertentu.”
Baca juga: FSB NIKEUBA KSBSI Gelar Dua Agenda Pelatihan Secara Bersama di 2 Wilayah, Jumhur Hidayat Dinyatakan Positif Covid-19, Sekjen KSBSI Desak Polri Tangguhkan Penahanan, Ini Dia Pasal Krusial UU Cipta Kerja Yang Mengancam Buruh,
Ayat (1):
“Setiap
pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki rencana
penggunaan tenaga kerja asing yang disahkan oleh Pemerintah Pusat.”
Masalahnya:
1.
Berpotensi
terjadinya penyelundupan hukum;
2.
Berpotensi
kuat TKA bekerja di Indonesia tanpa RPTKA;
3.
Berpotensi
TKA mengerjakan pekerjaan yang dapat dikerjakan buruh Indonesia;
Alasannya:
Tidak dibuat pengertian dan
batasan-batasan mengenai:
1.
Apa yang
dimaksud dengan keadaan darurat dan vokasi?
2.
Apa ukuran
perusahaan rintisan (start-up),
berapa jumlah buruhnya, berapa jumlah modalnya?
3.
Apa yang
dimaksud kunjungan bisnis dan penelitian untuk jangka waktu tertentu, dan
berapa lama?
1. Pasal 81 angka 13
Pasal 57 yang berbunyi sebagai berikut
(1) Perjanjian kerja untuk
waktu tertentu dibuat secara tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia
dan huruf latin.
(2) Dalam hal perjanjian kerja waktu tertentu dibuat
dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, apabila kemudian terdapat perbedaan
penafsiran antara keduanya, maka yang berlaku perjanjian kerja waktu tertentu
yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
Permasalahan:
Norma
dalam Pasal 57 ayat (2) UU No. 13/2003 diatur bahwa PKWT wajib dibuat tertulis,
jika hanya lisan maka hubungan kerja menjadi PKWTT.
Demikian
bunyinya ayat (2):
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat tidak
tertulis bertentangan dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dinyatakan sebagai perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu.”
Ayat (1) berbunyi:
“Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dibuat secara
tertulis serta harus menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin.”
Sedangkan Pasal 57 UU CK menghapus ketentuan yang
mengatur jika PKWT dibuat secara lisan maka PKWT tersebut demi hukum menjadi
PKWTT/pekerja tetap.
Dampaknya:
1.
Pengusaha tidak akan membuat perjanjian kerja supaya
awal kerja, status hubungan kerja, berapa upah pokok dan tunjangan-tunjangan,
apa jabatannya tidak diketahui buruh atau ahli warisnya jika dikemudian hari
terjadi perselisihan seperti buruh mengalami PHK atau meninggal.
2.
Hak-hak buruh dikemudian hari seperti menghitung
pesangon untuk PKWTT atau kompensasi untuk PKWT menjadi tidak jelas. Buruh
tidak akan dapat mengajukan bukti tertulis dihadapan hakim PHI.
Pertanyaannya:
1.
Mengapa Pemerintah dan DPR melegalisasi perjanjian kerja
lisan?
2.
Bukankah pengusaha punya pengetahuan menulis?
3.
Mengapa tahun 2003 dalam UU 13/2003 sudah diwajibkan
membuat perjanjian kerja secara tertulis?
4.
Apakah pengusaha menjadi tidak tahu menulis di tahun
2020 ini dan di tahun-tahun mendatang?
3. Pasal 81 angka 15
Pasal 59 yang berbunyi:
(1) Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut
jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu,
yaitu:
a. pekerjaan yang sekali selesai atau yang
sementara sifatnya;
b. pekerjaaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama;
c. pekerjaan
yang bersifat musiman;
d. pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang
masih dalam percobaan atau penjajakan; atau
e. pekerjaan yang
jenis dan sifat atau kegiatannya bersifat tidak tetap.
(2) Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap.
(3) Perjanjian kerja
untuk waktu tertentu yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2), maka demi hukum menjadi perjanjian kerja waktu tidak
tertentu.
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan
batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
Permasalahan:
Dengan diubahnya ketentuan
Pasal 59 UU 13/2003 dengan menghapus:
1.
Frasa “
dan paling lama 3 (tiga) tahun” dalam ayat (1) huruf b;
2.
Ayat (3): Perjanjian kerja untuk waktu tertentu dapat
diperpanjang atau diperbaharui.
3.
Ayat (4): Perjanjian kerja waktu tertentu yang
didasarkan atas jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua)
tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama
1 (satu) tahun.
4.
Ayat (5): Pengusaha yang bermaksud memperpanjang
perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 (tujuh) hari sebelum
perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara
tertulis kepada pekerja/buruh yang bersangkutan.
5.
Ayat (6): Pembaruan perjanjian kerja waktu tertentu
hanya dapat diadakan setelah melebihi masa tenggang waktu 30 (tiga puluh) hari
berakhirnya perjanjian kerja waktu tertentu yang lama, pembaruan perjanjian
kerja waktu tertentu ini hanya boleh dilakukan 1 (satu) kali dan paling lama 2
(dua) tahun.
Maka:
1.
Secara
yuridis PKWT/Kontrak dapat diberlakukan seumur kerja selama 32 (tiga puluh dua)
tahun dan menandatangani PKWT sebanyak 32 (tiga puluh dua) kali (setiap tahun).
2.
Pengusaha
tidak akan menggunakan pola hubungan kerja PKWTT karena biaya membayar pesangon.
3. Buruh tidak akan pernah lagi mendapat pesangon walaupun telah bekerja dan mengabdi selama 32 tahun pada satu perusahaan.