KSBSI.ORG: Ida Fauziyah Menteri Tenaga Kerja (Menaker) telah menerbitkan Surat Edaran (SE) Edaran Nomor M/11/HK.04/2020, mengatur tentang Penetapan Upah Minimum (UMP) Tahun 2021 pada Masa Pandemi Covid-19 yang ditujukan kepada gubernur se-Indonesia. Dalam penjelasannya, Menaker SE ini bertujuan untuk memberikan perlindungan dan keberlangsungan bekerja bagi buruh/pekerja. Serta menjaga kelangsungan iklim usaha dalam menyesuaikan terhadap penetapan upah minimum untuk pemulihan dampak Covid-19.
Baca juga: Hendak Demo ke Istana Negara, Buruh di Banten Diblokade Aparat Kepolisian, Dibeberapa Wilayah, KSBSI Masih Aksi Menolak UU Cipta Kerja,
Tepatnya, ditengah Indonesia menghadapi dampak krisis
Covid-19, Ida Fauziyah mengajak kerjasama dengan semua elemen untuk
mengatasinya. Salah satunya meminta kepada semua gubernur supaya bisa melakukan
penyesuaian penetapan UMP pada 2021 nanti dengan nilai UMP 2020. SE ini segera
ditandatangani Menaker pada 26 Oktober 2020. Kemudian upah minimum 2021 secara
resmi akan diumumkan ke seluruh pemerintah daerah akhir Oktober 2020.
Menyikapi keputusan itu, Konfederasi Serikat Buruh
Seluruh Indonesia (KSBSI) menyesalkan keluarnya Surat Edaran Edaran Nomor
M/11/HK.04/2020. Sebab, KSBSI menilai kebijakan ini tidak tepat dimasa pandemi
Covid-19 dan terkesan memihak kepentingan pengusaha. Bahkan KSBSI mensinyalir
keluarnya SE tersebut, Presiden Joko Widodo tidak mengetahuinya.
KSBSI menyarankan, seharusnya Menaker sebelum
mengeluarkan kebijakan SE UMP 2021, sebaiknya mengkaji dahulu secara mendalam
persoalan ketenagakerjaan. Supaya kebijakan yang diputuskan, tidak menjadi
polemik ditengah masyarakat. Sebab, masalah upah, tidak semua sektor usaha
berdampak pada buruh/pekerja ditengah pandemi Covid-19.
Berdasarkan data dari beberapa artikel, ada 11 sektor
jenis usaha tidak terkena dampak dimasa Covid-19. Diantaranya, seperti usaha
sektor kesehatan, otomotif, pertambangan, eletronik. Tapi ada juga yang
benar-benar berdampak, seperti usaha di sektor parwisata, perhotelan dan travel
memang sedang mengalami keterpurukan dan banyak buruh menjadi korban pemutusan
hubungan kerja (PHK) dan dirumahkan, termasuk upahnya dipotong tiap bulan.
Oleh sebab itu, KSBSI menegaskan KSBSI menolak tegas
kalau masalah upah dalam Surat Edaran (SE) Edaran Nomor M/11/HK.04/2020
disamaratakan ke semua sektor usaha. Tapi, kenaikan UMP sebaiknya harus tetap
berlaku setiap tahun kepada buruh/pekerja yang sektor usahanya tidak terdampak
Covid-19.
Selain itu, KSBSI menegaskan SE diterbitkan Menaker
sebenarnya hanya dalam bentuk anjuran. Dimana, sifatnya bisa dijalankan atau
tidak. Namun KSBSI mengkuatirkan, SE Edaran Nomor M/11/HK.04/2020, bisa
ditafsirkan menjadi keputusan setiap gubernur dalam menentukan upah. Karena
itu, KSBSI mendesak setiap kepala daerah tidak menjadikan SE No
M/11/HK.04/2020, Tentang Penetapan Upah Minimum (UMP) Tahun 2021 sebagai acuan
UMP 2021. Dan mengintruksikan kepada pengurus KSBSI, baik di tingkat provinsi
kabupaten/kota seluruh Indonesia untuk mempengaruhi Gubernur supaya tidak
menjalankan SE tersebut.
Jadi, kalau nantinya semua gubernur menetapkan UMP
2021 mengacu pada SE yang baru dikeluarkan Menaker, maka KSBSI bersama 10
federasi yang berfiliasi akan melakukan aksi perlawanan turun ke jalan
diseluruh Indonesia, bersamaan terhadap penolakan UU Cipta Kerja.
Kemudian, dalam mengatasi persoalan UMP
ditengah pandemi Covid-19, sebenarnya setiap pemerintah provinsi (Pemprov) bisa
membantu solusinya. Dengan cara memberikan bantuan, melalui subsidi Anggaran
Pendapatan Perbelanjaan Daerah (APBD) kepada buruh/pekerja.
Artinya kalau tahun depan UMP tidak dinaikan, maka
perekonomian sangat sulit tumbuh. Karena tidak ada daya beli dari masyarakat.
Sementara, perputaran ekonomi negara selama ini bergerak dari konsumsi
masyarakat sebesar 55-65 persen.
Intinya, KSBSI merekomendasikan agar pemerintah pusat
bisa mendorong semua perusahaan bersikap transparan mengenai kondisi
keuangannya. Kalau ada pengusaha sekarang ini terpuruk, imbas Covid-19,
pemerintah harus membantu kelangsungan usahanya. Kalau ada pengusaha yang tidak
mampu membayarkan upah, bisa dilakukan penangguhan dan mengupayakan berunding
dengan serikat buruh/pekerja.
Tapi kalau ada perusahaan yang masih sanggup
memberikan gaji kepada buruhnya, mereka tidak boleh berbohong. Namun harus
berani bersikap transparan. Karena sekarang ini banyak pengusaha nakal sengaja
memanfaat situasi pandemi Covid-19, menutup usahanya dengan alasan bangkrut,
lalu tidak memberikan hak normativ buruh sesuai peraturan yang berlaku. Demikian
siaran pers ini kami sampaikan, Jakarta, Rabu 28 Oktober 2020, Terima Kasih.