KSBSI.ORG:Dalam konsep internasional Upah Minimum (UM) adalah salah satu bentuk perlindungan yang diberikan negara ke pekerja sebagai jaring pengaman sosial, agar upah pekerja tidak jatuh ke mekanisme pasar bebas. Mengapa negara campur tangan? Karena ada sekelompok pekerja yang diasumsikan tidak bisa melindungi dirinya, seperti pekerja berpendidikan rendah; tanpa keahlian; pekerja kontrak; masa kerja di bawah satu tahun. Dengan demikian seharusnya tidak boleh ada pekerja yang dibayar di bawah UM, karena konsep perlindungan negara menjadi tidak relevan.
Baca juga: Kemnaker Cairkan Lagi Pembayaran Termin Kedua BSU, Berkomitmen Meningkatkan Kualitas SDM, FPE KSBSI Gelar Training di Morowali , APBGATI Gelar Agenda Konsolidasi, Ini Yang Dibahas ,
Sayangnya konsep upah minimum di
Indonesia diimplementasikan dengan cara
yang rumit, sehingga dalam perjalanannya terjadi banyak masalah, sulit dipatuhi
dan rawan penyimpangan. Dalam banyak praktik internasional UM umumnya dibuat
dengan dua konsep sederhana, cukup dengan UM Propinsi atau UM sektoral. Tapi
Indonesia memperkenalkan 3 bentuk: Ada UM Propinsi, UM kabupaten/Kota dan UM
Sektoral, dengan besaran upah yang berbeda. Setelah itu, UM diberi peluang
tidak dijalankan dengan adanya mekanisme penundaan upah minimum, sekalipun
dengan persyaratan yang surat disertai bukti. Tapi praktek penundaan ini
menciptakan ambigiutas terhadap kepastian sistem Akibat kerumitan inilah
terjadi banyak komplik yang menimbulkan
demo buruh, perkara hukum perburuhan, dan praktek korupsi.
Keberpihakan
yang bias
Keberpihakan pemerintah yang tinggi
ke pekerja formal berakibat fatal. Tiga konsep UM tadi sulit dilakukan dalam
kondisi riil ketenagakerjaan kita yang menghadapi dualisme pasar kerja. Marilah kita lihat fakta berikut, sesuai Data
BPS Pebruari 2020, jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 131,03 juta orang.
Sebanyak 74,04 juta orang (56,50%) bekerja pada kegiatan informal; hampir 70%
hanya tamatan SLTP. Data Sensus Ekonomi 2016 menyebutkan ada 26,7 juta badan
usaha pemberi kerja, namun hanya 447,000 (2%) badan usaha skala menengah dan
besar, dengan 16,6 juta pekerja. Kebijakan pemerintah biasanya selalu fokus
mengatur kelompok 2% ini, kemungkinan karena pada skala usaha inilah pemerintah
mendapat pajak yang besar. Namun ada 26,2 juta kelompok Usaha Kecil dan
Mikro dengan 53,7 juta pekerja yang
kurang mendapat perhatian, namun dipaksa harus mengikuti aturan upah minimum
yang seyogiaya hanya relevan mengatur kelompok
2% badan usaha. Bagaimana mungkin kedua kelompok ini diharuskan membayar
kewajiban yang sama sementara kemampuannya berbeda? Bagaimana mengharapkan ada
kepatuhan pembayaran UM yang sama antara pemilik hotel melati dengan hotel
bintang lima. Atau kepatuhan usaha warung dengan restoran mewah, antara warung
kelontong dengan toko Indomart? Ini juga dilema yang dihadapi oleh Pengawas
Ketenagakerjaan bagaimana melakukan penegakan hukum kepada pelaku usaha kecil,
mikro tersebut. Sebab hampir 99% kelompok usaha ini tidak mampu membayar
kewajiban UM ditambah dengan kewajiban iuran jaminan sosial Jamsostek dan
Kesehatan. Bila dilakukan pendekatan “low enforcement” maka jutaan pelaku usaha
kecil dan mikro terancam dipidanakan.
Maka pertanyaan yang mendasar adalah,
siapakah yang sesungguhnya menikmati kebijakan UM ini? Jawabanya adalah,
kelompok pekerja pada usaha menengah dan besar. Namun tidak seluruhnya! Sebab
penelitian Asian Development Bank
menyebutkan tingkat kepatuhan pembayaran upah minimum hanya terjadi pada
47,2 % perusahaan. Kepatuhan tertinggi ada pada sektor gartmen dan tekstil
itupun akibat advokasi dari serikat buruh yang kebetulan eksistensinya tinggi
di sektor ini. Konvensi ILO nomor 131 tentang “Fixing Minimum Wages”
menyatakan, penepatan UM harus memenuhi
empat syarat: Cakupannya harus luas; didasarkan perundingan tripartit,
mempertimbangkan kebutuhan keluarga dan faktor ekonomi, dan yang terakhir
merekomendasikan agar perumusannya “keep it as simple as possible”.
Formula Upah
Berkeadilan
Formula penetapan UM Indonesia selalu
berubah sesuai kebutuhan bisnis jangka pendek. Pada masa Orde Baru UM
ditetapkan dengan konsep Upah Minimum Regional (UMR), dengan dasar komponen kebutuhan hidup buruh, setelah
Reformasi 1998 dirubah lagi dengan menambah komponen, dan ada tambahan UM
kabupaten/Kota dan UM Sektoral melalui UU 13 tahun 2003. Tahun 2015 rumusan UM
kembalI dirubah dengan PP 78 (mengganti PP Nomor 8 Tahun 1981), terakhir diubah
tahun 2020 dengan UU Cipta Kerja. Kenapa Indonesia suka berubah kebijakan UM?
Jawaban lugasnya karena kurangnyq kapasitas perencanaan Departemen
Ketenagakerjaan membuat sistem pengupahan yang sederhana, dengan kepatuhan dan
cakupan yang lebih luas. Ini juga bertalian dengan keberadaan Menteri Tenaga
Kerja yang selama ini tidak dianggap penting, karena penunjukannya bukan karena
keahlian, tapi jatah untuk partai
pendukung. Pola ini harus segera dihentikan, karena masalah ketenagakerjaan
akan semakin rumit di masa selanjutnya.
Sebenarnya kalau mau disederhanakan,
sistem upah yang cocok untuk Indonesia bisa dilakukan dengan dua model, yaitu
Upah Minimum Propinsi (UMP) dan Upah Hidup Layak (UHL). Karena UM hanya untuk
pekerja lajang dengan masa kerja di bawah satu tahun, UMP seharusnya hanya
berlaku untuk badan usaha skala kecil dan mikro. Kenapa UMP bukan UM
Kabupaten/Kota? Karena di setiap Propinsi sudah ada Dewan pengupahan Tripartit,
sementara di kabupaten dan Kota di Indonesia belum semua memiliki Dewan
Pengupahan Tripartit. Untuk perusahaan
skala menengah dan besar, pengupahan tidak lagi dengan UM, tapi dengan UHL
yang besarannya harus di atas UMP.
Mekanisme penetapan UHL tidak lagi melalui Dewan Pengupahan Tripartit, tapi
melalui perundingan Bipartit di masing-masing perusahaan. Sehingga besaran
UHL yang diterima pekerja akan sesuai
dengan tingkat produktivitas perusahaan masing-masing. Upah dasar pekerja Hotel
bintang lima pasti akan lebih tinggi dengan pekerja hotel bintang melati.
Perundingan upah model ini akan lebih adil dan menjamin keharmonisan hubungan
industrial.
Filosofi dasar UM dibuat sebagai alat
negara melindungi pekerja rentan (non-standard employement) agar terhindar dari
eksploitasi. Negara tidak perlu hadir mengurusi upah minimum pekerja
profesional di kelompok usaha menengah dan besar. Aturan yang mereka perlukan
bukan lagi UM, tapi ada soal lainnya, seperti; diskriminasi kerja, peningkatan
produktivitas, kemudahan berbisnis, pajak, dan sebagainya. Sekarang marilah
berbenah serius, agar kita tidak jatuh dalam adigium lama, gagal karena perkembangan kompleksitas sering
mengalahkan kita akibat kemampuan beradaptasi yang lamban/
(Sebelumnya tulisan opini ini juga
ditayangkan koran harian cetak Kompas, pada Jumat 13 November 2020)
Penulis: Rekson
Silaban, direktur Indonesia Labor Institute