Catatan Kritis KSBSI Terkait Masuknya Pasal Perlindungan Migran ke UU Cipta Kerja

Catatan Kritis KSBSI Terkait Masuknya Pasal Perlindungan Migran ke UU Cipta Kerja

KSBSI.ORG:Yatini Sulistyowati Departemen Buruh Migran Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan masuknya beberapa pasal perlindungan pekerja migran ke Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dinilainya pemerintah tidak konsisten terhadap konstitusi. Pasalnya, setelah 2 tahun disahkannya Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran, pemerintah belum membuat Peraturan Pemerintah (PP) untuk menguatkan legalitasnya.

Baca juga:  Terkait Upah, Aktivis Buruh Dukung Kebijakan Ganjar Pranowo , Aktivis Buruh Banten Menyesalkan Gubernur Banten Mengikuti SE Penundaan UMP 2021, , Penelitian ILO: Industri Garmen Dikawasan Asia Pasifik Terpuruk ,

“Seharusnya selama 2 tahun setelah disahkannya UU Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran, PP nya sudah selesai. Tapi ini kan belum ada dibuat, bahkan sudah mau masuk 3 tahun,” ucapnya, saat diwawancarai, di Cipinang Muara, Jakarta Timur, Rabu (25/11/20).

Yatini menjelaskan, bahwa dengan masuknya beberapa pasal perlindungan pekerja migran ke Undang-Undang Cipta Kerja, secara otomatis undang-undang yang lama tidak gugur. Tapi, yang disoalkan KSBSI adalah 5 pasal yang ada di Undang-Undang Cipta Kerja memang sangat krusial dampaknya terhadap perlindungan pekerja migran.

Tegasnya, dia mengatakan beberapa pasal krusial itu juga  bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945, tentang nilai-nilai Hak Asasi Manusia (HAM). Sebagai contoh, dalam  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran, dijelaskan bahwa Sistem Informasi Pekerja Migran Indonesia (SIPMI) berlaku 5 tahun, kemudian harus diperbaharui oleh si pekerja migran.

“Namun dalam Undang-Undang Cipta Kerja, SIPMI ini justru dicabut. Jadi sudah tidak ada lagi batasan waktunya. Nah masalahnya, bagaimana nanti kalau seorang Pekerja Migran Indonesia (PMI) ditempatkan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) lalu terjadi eksploitasi. Tentu saja ini sangat menyedihkan, karena sanksi administrasinya sudah dihapus,” jelasnya.

Artinya dengan dimasukkannya pasal-pasal krusial tersebut, dia mengkhawatirkan P3MI nantinya bisa semena-mena. Karena ada beberapa sanksi terhadap perlindungan terhadap PMI sudah dihapus. Yatini juga tak setuju, kalau izin pendirian P3MI melalui Undang-Undang Cipta Kerja, dengan alasan untuk memangkas aturan birokrasi.

Dia beralasan, kalau izin perusahaan sejenis manufaktur melalui mekanisme Undang-Undang Cipta Kerja tak ada masalah. Tapi yang jadi masalah, P3MI bukan sekadar bisnis yang mencari keuntungan semata. Sebab P3MI adalah perusahaan jasa yang berbicara tentang hal perlindungan dan HAM seorang pekerja migran.      

“Jadi pemerintah salah kaprah dalam persoalan ini, dan wajar KSBSI melakukan judicial review di Mahkamah Konstitusi,” lugasnya.

Intinya,  mengatakan selama pembahasan pasal sampai disahkannya UU Cipta Kerja, pemerintah dan DPR sama sekali tak ada melibatkan aktivis pekerja migran. Setelah dipelajari, ada 3 pasal yang dirubah dalam UU Cipta Kerja. Sehingga bisa merubah isi dari UU Perlindungan PMI No.18 Tahun 2017.

Pertama, yang dirubah adalah pasal pertama yang mengatur ketentuan umum ayat 9 dan 16 terkait tentang izin perusahaan penempatan PMI tidak lagi dikeluarkan Kementerian Ketenagakerjaan. Nah, dengan disahkannya UU Cipta Kerja, maka izin langsung diberikan oleh pemerintah pusat.

Menurut Yatini, kalau izin perusahaan penempatan PMI dibawah kendali presiden, maka sudah sangat tidak relevan. Sebab, tugas presiden dan wakil presiden sendiri sudah banyak. Seharusnya tugas itu dipegang oleh Kemnaker. Lalu, ada juga perubahan pada pasal 51 dalam UU No.18 Tahun 2017 Perlindungan PMI.

Kemudian, dalam undang-undang lama, juga perubahan pada pasal 53. Mengenai prosedur bahwa Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) sudah bisa membuka kantor cabang diberbagai daerah. Termasuk, proses perekrutan, pelatihan sampai pemberangkatan PMI tidak lagi dibawah tanggung jawab pemerintah melalui Layanan Terpadu Satu Atap (LTSA).

“Melainkan semuanya akan kembali diserahkan kepada pihak P3MI. Saya nilai, perubahan kebijakan ini sangat berpotensi kembali ke masa lalu, akan banyak masyarakat kita yang bisa menjadi korban perdagangan orang dan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan perusahaan nakal,” ujarnya.

Dimasukannya beberapa pasal perlindungan PMI ke UU Cipta Kerja, dia menilai undang-undang yang baru disahkan DPR RI, jauh lebih buruk dari produk yang dikeluarkan UU No.18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran. Apalagi mandat turunannya dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) masih banyak belum dibuat pemerintah selama 2 tahun.

“Jadi sama saja Indonesia kembali akan melihat banyak kejadian praktik perbudakan manusia secara transparan yang dikirim ke luar negeri kedepannya,” katanya.

Dengan adanya penambahan pasal selundupan yang dimasukan UU Cipta Kerja, Yatini menegaskan negara telah mengembalikan praktik-praktik buruh yang lama. Karena lembaga negara dalam masalah izin, pengawasan dan penindakan terhadap perusahaan P3MI yang melakukan pelanggaran semakin lemah. (A1)

Komentar