KSBSI.ORG Berdasarkan data analisa media yang dilakukan Jaringan Buruh Migran (JBM) memperlihatkan tahun terjadi lonjakan kasus sangat besar terhadap Pekerja Migran Indonesia. Yakni sebanyak 61 persen bila dibandingkan pada 2019. Terutama kasus pemulangan secara deportasi dan repatriasi pekerja migran Indonesia (PMI), khususnya PMI yang tidak memiliki dokumen paspor.
Baca juga: Hari Ini MK-KSBSI Gelar Sidang Perdana Judicial Review UU Cipta Kerja, Launching Media Digital Network, KSBSI Siap Merebut Panggung Opini,
Lalu terdapat
kasus penahanan PMI sehingga menyebabkan trauma. Kemudian Pada masa pandemi berdasarkan
hasil survei, 35 responden survei menunjukkan kondisi PMI pada masa pandemi Covid-19
mengalami kerentanan kerja lebih buruk. Diantaranya beban kerja semakin berat,
pemotongan upah, tidak ada hari libur dan sulit untuk berkumpul terutama untuk
berorganisasi.
Yatini
Sulistyowati Departemen Buruh Migran Konfederasi Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (KSBSI) mengapresiasi bahwa disatu sisi memang ada kebijakan
pemerintah dalam perlindungan buruh migran. Seperti pengelolaan asuransi
keselamatan kerja dan kesehatan telah dikelola oleh negara. Melalui BPJS
Ketenagakerjaan yang sekarang menjadi BP Jamsostek.
“Pengelolaan
dana asuransi itu juga diambil alih negara sebelum disahkannya Undang-Undang
Nomor 18 Tahun 2017 disahkan lalu keluar turunannya Permen Nomor 7 Tahun 2017
untuk jaminan perlindungan Pekerja Migran Indonesia (PMI),” ucapnya, di
Jakarta, beberapa waktu lalu.
Namun,
Permen tersebut justru menjadi bermasalah karena pada tahun 2018 terbit pula
produk Permen yang tidak siginifikan perubahannya dalam melindungi kak PMI.
Diantaranya adalah sebenarnya BP Jamsostek itu memiliki 5 program. Seperti
jaminan hari tua, jaminan kematian, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pensiun
dan jaminan kehilangan pekerjaan dalam akses Undang-Undang Cipta Kerja.
“Namun
dalam hal program ini, buruh migran hanya diberikan akses jaminan akses
kecelakaan kerja dan jaminan kematian. Sedangkan jaminan hari tua hanya pilihan
saja,” ungkapnya.
Sehingga,
seorang pekerja migran ingin mengambil program jaminan yang lain, mereka harus membayar
premium. Sementara kalau pekerja lokal untuk mengikuti semua program jaminan
itu bisa ditanggung oleh perusahaan. Contohnya, masalah jaminan hari tua yang
seharusnya mendapatkan 5,7 persen premiumnya harus dibayar, justru pekerjanya
harus membayar 2 persen dan jaminan pensiun. Dan jaminan pensiun hanya 2
persen.
Tentunya
hal ini menjadi masalah bagi seorang PMI, karena mereka tidak mendapatkan
jaminan sosial yang seperti diharapkan. Kalau melihat Permen Nomor 1 Tahun
2018, justru manfaat perlindungan sosial itu menguntungkan pekerja lokal. Bukan
untuk PMI yang bekerja di luar negeri.
“Yang
jadi pertanyaan, bagaimana jadinya kalau seorang PMI sakit parah saat mereka
bekerja di luar negeri. Sementara jaminan sosial yang diberikan pemerintah
kurang melindungi mereka. Sementara mereka butuh akses pengobatan secepat
mungkin atau rawat inap,” pungkasnya.
Ia
menuturkan banyak pengakuan dari PMI yang bekerja di luar negeri mengatakan
minim mendapatkan akses kesehatan yang layak di negara mereka tempat bekerja.
Padahal mereka terdafat sebagai peserta BP Jamsostek. Bahkan mau tidak mau
terpaksa mengeluarkan biaya yang tinggi, seperti di Malaysia.
“Jadi
seorang PMI yang sakit keras di Malaysia harus mengeluarkan uang muka dulu di
rumah sakit, sebelum rawat inap,” bebernya.
Begitu
juga dengan kasus kecelakaankerja. Kalau di dalam negeri, seorang pekerja lokal
peserta BP Jamsostek mengalami kecelakaan kerja, maka pihak rumah sakit segera
melayaninya. Tapi kalau kasus kecelakaan kerja PMI di negara tujuan tidak
segampang itu langsung mendapatkan pelayanan.
“Mereka
harus mengeluarkan biaya sendiri dan tidak murah. Mirisnya, biaya yang
dikeluarkan oleh BP Jamsostek juga tidak setimpal, hanya diberikan biaya
transportasi kepada PMI yang mengalami kecelakaan,” ungkapnya.
Menurutnya
kebijakan tersebut sangat diskriminatif. Contohnya, salah satu persyaratan
klaim BP Jamsostek adalah 7 hari kerja ketika musibah terjadi. Dan harus
membutuhkan nota dari perwakilan negara.
“Sementara
untuk mendapatkan nota dari perwakilan pemerintah sangat sulit sekali,”
ujarnya.
Ditengah
pandemi Covid-19, status PMI pun mengalami diskriminasi. Contohnya, saat
beberapa waktu lalu Negara Malaysia sedang menerapkan loock down, karena
tingginya penyebaran virus Corona, justru pekerja migran asal Indonesia
mengalami kesusahan. Sebab, kesulitan mendapatkan akses informasi dan alat
pelindung diri (APD) untuk menghindari virus mematikan itu.
“Bahkan
ketika PMI itu pulang ke kampung halamannya dari Malaysia, justru salah satu
pihak pemerintah kabupaten(Pemkab) terkesan mengabaikan. Mereka dianggap pulag
ke Indonesia membawa virus Covid-19,” ungkapnya.
Selain
iktu, kepulangan PMI ini dinilai juga memberatkan pemerintah karena harus
mengeluarkan biaya untuk karantina. Dan mirisnya lagi, justru dibeberapa
wilayah, pemerintah daerahnya justru lebih mementingkan agenda Pilkada dari
pada kepulangan PMI.
Tahun
2020 ini adalah tahun untuk semua masyarakat dunia. Termasuk kepada PMI. Sebab,
ditengah pandemi ini banyak diantara mereka yang tidak diperhatikan negara. Dia
menghimbau, negara harus hadir memperhatikan nasib PMI.
“Bukan
menjadikan PMI sebagai komoditas ekonomi, namun harus lebih memanusiakan
manusia,” tutupnya. (A1)