Bagaimana Perlindungan Buruh Perempuan di Tahun 2021?

Bagaimana Perlindungan Buruh Perempuan di Tahun 2021?

KSBSI.ORG Pada awal pademi Covid-19 terjadi pada 2020, hampir seluruh negara-negara di dunia ini langsung mengalami krisis global. Setiap hari, terdengar kabar banyak pengusaha terpaksa menutup perusahaannya, karena pandemi yang terjadi ikut merontokkan perputaran roda bisnis mereka. Bahkan, salah satunya Indonesia terancam resesi ekonomi.

Baca juga:  Upah Buruh Akhir 2020 Secara Global Menurun , Dampak Covid-19, Penghargaan HAM Terhadap Buruh Terabaikan, Catatan Kritis KSBSI: PMI Bukan Komoditas Ekonomi ,

Jutaan buruh terpaksa menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), dirumahkan,  pengurangan jam kerja akibat penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hasil riset International Labor Organization (ILO) terkait Upah Global 2020/2021 membeberkan pandemi sangat berdampak pada buruh perempuan. Dari 28 di negara Eropa ditemukan hak upah mereka kehilangan 8,1 persen. Pada kuartal kedua tahun 2020, kehilangan pendapatan 5,4 persen dibandingkan pekerja laki-laki.

Begitu juga, hasil aporan ADB-UN Womens High Level Roundtable 2020, merilis sebanyak 54 persen dari 75 juta pekerja di sektor restoran dan industri akomodasi adalah perempuan. Dampak wabah Corona,  membuat porsi bekerja perempuan berkurang sampai 50 persen  di sektor informal dikawasan Asia. Untuk pekerja laki-laki berkurang 35 persen jam kerja.

Nah, kalau di tingkat global, terdapat 60 persen dari 740 juta pekerja perempuan di sektor informal juga berkurang pendapatannya pada bulan pertama pandemi. Lalu ada 40 persen buruh perempuan di seluruh dunia bekerja di sektor yang paling terdampak.

Ida Fauziyah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) mengungkapkan hasil data dari pemerintah, sampai akhir 2020 terdapat 623.407 buruh perempuan tidak bekerja lagi. Diantaranya, status mereka dirumahkan dan terkena PHK

“Jumlah tersebut lebih rendah dari pria yang mencapai 1.552.521 orang. Tapi beban yang dipikul perempuan saat pandemi ini lebih berat dibandingkan pria,” ucapnya dalam Webinar Perempuan Berdaya Indonesia Maju: Refleksi Awal Tahun 2021, Quo Vadis Perempuan Indonesia, Senin kemarin (4/1).

Ada empat beban tambahan yang dirasakan perempuan dimasa pandemi. Pertama, perempuan mengalami penurunan pendapatan. Dampak pandemi, beban mereka semakin bertambah karena mengurus rumah tangga akibat bekerja dari rumah (work from home/WFH). Ketiga, perempuan harus mengawal proses pembelajaran anak yang belajar dari rumah (school from home).

“Terakhir, terjadi peningkatan kekerasan rumah tangga terhadap perempuan. Saya mendapatkan data,  kasus kekerasan terhadap perempuan secara global naik 25 sampai 33 persen,” ungkapnya.

Karena itu, pemerintah berupaya memberikan jaminan perlindungan terhadap perempuan. Diantaranya membuat kebijakan protektif,. Dengan cara memberi perlindungan bagi buruh perempuan terkait fungsi reproduksi. Kemudian membuat kebijakan larangan melakukan PHK bagi pekerja perempuan karena menikah, hamil atau melahirkan.

 

Ketiga, kebijakan non diskriminatif. Yaitu memberi perlindungan bagi pekerja perempuan terhadap praktik diskriminasi dan ketidakadilan gender dalam semua aspek di tempat kerja Selama tahun 2020. Sementara dalam hal pencapaian, pihaknya telah melaksanakan kegiatan pembinaan pengawasan norma kerja perempuan di perusahaan dan melakukan fungsi pemberian bantuan teknis baik kepada pelaku usaha maupun pekerja di 96 perusahaan.

 

Butuh Kepastian

Emma Liliefna Ketua Komisi Kesetaraan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (K2 KSBSI)  pada 2020 kemarin merilis hasil riset tentang ‘Dampak dan Kepastian Kerja Buruh Perempuan Pasca Pandemi Covid-19’. Dimana hasil riset ini memaparkan ada beberapa poin wawancara yang disampaikan. Diantaranya masalah hak terkait hak cuti hamil dan melahirkan sebanyak 444 orang hanya menjawab  65,9 persen. Masalah hak mendapatkan tunjangan melahirkan 222 orang menjawab hanya  32,9 persen.

“Untuk hak cuti menstruasi 141 orang menjawab hanya 20,9 persen, tidak mendapatkan hak apapun 101 orang menjawab hanya 15 persen dan hak hak menyusui bayi, 83 orang menjawab hanya 12,3 persen,” ucapnya.

Sebagai status buruh perempuan, apakah sudah ada hak jaminan perlindungan dan kesehatan semasa masa kerja? untuk jaminan keamanan dan kesusilaan dari 347 orang yang diwawancara hasilnya hanya 51,5 persen. Jaminan tidak ada PHK dari perusahaan 159 orang menjawab hanya 23,6 persen. Bagi yang berusia 18 tahun  97 orang  menjawab hanya 14,4 persen.

Hak mendapatkan fasilitas antar-jemput kerja, 72 orang menjawab hanya 10,7 persen. Terakhir mendapatkan asupan makanan-minuman, dari 72 orang ditanya jawabannya hanya 10,7 persen. Waktu ditanya, apakah bantuan program bantuan sosial yang diberikan pemerintah untuk buruh sudah tepat sasaran? 363 orang menjawab mungkin. Lalu 212 orang menjawab tidak dan 99 orang menjawab sudah tepat sasaran.

Termasuk hasil survei, sebanyak 59,3 persen buruh perempuan merasa terbebani dengan kebijakan pemerintah dengan meliburkan sekolah akibat Covid-19. Selain itu, dampak Covid-19 juga memiliki dampak terhadap  ketidakadilan berbasis gender. Dari hasil Hasil survei yang dilakukan, diantaranya mengalami beban ganda sebesar 57,7 persen. Posisi peran perempuan menjadi lebih rendah sebanyak 9,9 persen. Penelantaran ekonomi sebesar 21,2 persen.

Kekerasan fisik sebesar 1,8 persen, kekerasan seksual mencapai 1,6 persen, kekerasan psikis 2,1 persen. Komisi Kesetaraan KSBSI juga mendapatkan rekomendasi dari kuisioner, bahwa 57 responden berharap dapat pendampingan advokasi atas masalah yang sedang dihadapi. 107 responden ingin mendapatkan pelatihan  isu-isu krusial termasuk gender dan 27 orang menginginkan mendapat pekerjaan kembali. Saat dipertegas apa yang paling diinginkan buruh perempuan saat pandemi Covid-19 nanti berakhir? Pada umumnya buruh perempuan sebanyak 52,2 persen menjawab butuh kepastian bekerja kembali setelah pandemi berakhir. (A1) 

Komentar