KSBSI.ORG,, JAKARTA – Elly Rosita Silaban, Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI) angkat bicara merespon dipublishnya aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Baca juga: Presiden KSBSI: Kami Mengecam Penangkapan Aktivis Yang Menolak Kudeta Myanmar,
Dari
4 Peraturan Pemerintah (klaster Ketenagakerjaan) yang dipublish disitus
https://jdih.setneg.go.id/Terbaru, KSBSI menyoroti PP nomor 35 tentang
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu
Istirahat dan Pemutusan Hubungan Kerja.
“Setelah
kita telusuri, satuan ini ternyata jauh lebih buruk dari pada yang kita
bayangkan. Misalnya kami menyoroti berkurangnya banyak kompensasi. Misalnya ada
pembayaran 0,5 persen, ada pembayaran 0,75 persen, lalu misalnya yang dikatakan
di Undang undang sebelumnya bahwa ada 25 kali pesangon, 25 bulan gaji, ternyata
di peraturan pemerintah (no 35) tidak ada,” terang Presiden KSBSI, Elly Rosita
Silaban dalam keterangan resminya, seusai rapat internal bersama 10 federasi
dan 3 Komite perburuhan, Selasa (23/2/2021).
Selain
itu, dalam ketentuan PP tersebut, Elly menyatakan sudah tidak ada lagi peran
mediator. Biasanya jika terdapat perselisihan perindustrial selalu ada peran
mediator untuk menyelesaikan berbagai masalah. Namun dalam PP 35 ini disebutnya
sudah tidak ada.
Demikian
juga dengan nilai besaran pesangon yang diatur dalam PP 35 ini. Jika
diperaturan sebelumnya besaran pesangon diatur dalam 1 atau 2 kali ketentuan,
menurutnya, aturan itu juga sudah dihilangkan.
“(di
PP 35 ini) semuanya sudah diatur dengan jelas dan (ketentuan besaran) pesangon
itu bisa diturunkan ketika keuangan perusahaan sudah tidak sehat. Siapa yang
mengetahui itu (sehat atau tidaknya perusahaan) kan kita tidak mengetahui itu,
begitu,” terangnya.
Misalnya
soal PKWT, ia menjelaskan, dalam aturan sebelumnya dulu PKWT diatur selama 3
tahun, tetapi di PP 35 ini PKWT bisa mencapai 5 tahun. Kalau pekerjaan itu
tidak selesai bisa disambung lagi, namun tidak ada ketentuan yang mengatur soal
itu.
Yang
lebih kontradiksi adalah buruh yang bekerja (sebagai) harian lepas dan sudah
bekerja lebih dari 3 bulan, diatur bahwa buruh akan menjadi PKWTT (pekerja
tetap). Elly mempertanyakan, bagaimana mungkin itu bisa menjadi PKWTT sementara
buruh yang kontrak (PKWT) 5 tahun saja tetap akan menjadi buruh kontrak setelah
itu?
Siap Melakukan Gugatan
Ia
menyatakan, sejauh ini, KSBSI masih belum dapat menyimpulkan ke-4 peraturan
pemerintah tersebut. Namun dari hasil analisa isi dari PP nomor 35 itu,
kemungkinan besar KSBSI akan kembali melakukan gugatan judicial review dan aksi
unjuk rasa.
“Jadi kita sekarang ini masih belum ada konklusif (Kesimpulan) tapi melihat ini kemungkinan besar kita akan melakukan gugatan dan juga akan melakukan aksi (demonstrasi),” tegasnya.
Kesimpulan
akan dibuat setelah pembahasan ke-4 peraturan pelaksanaan itu selesai dibahas
di rapat internal KSBSI. Elly meminta kalangan buruh, terutama anggota KSBSI
bersabar.
“Sabar
kawan-kawan buruh di Indonesia, terutama anggota KSBSI bahwa ini sangat jelimet,
kita harus baca satu persatu, kata perkata karena ada pelecehan kata-kata
misalnya, dan atau, pengurangan hak-hak serikat buruh dan pesangon dan soal
kontrak alih daya dan segala macam.” terangnya.
“Kalau
kita tidak telaah atau tidak teliti pelan-pelan, kita bisa mengatakan bahwa ini
tidak ada apa-apa, ternyata memang sangat banyak masalah,” tandas Elly.
Pertempuran
‘Hukum’ Belum Selesai
Menurutnya,
peraturan pelaksaan UU Cipta Kerja ini belum pantas untuk dibahas lebih lanjut
sebab belum ada putusan MK soal gugatan judicial review UU Cipta Kerja.
“Terlepas
dari itu, saya mohon maaf atas nama Presiden KSBSI, untuk semua anda yang
mendengar, terutama anggota KSBSI bahwa sebenarnya ini tidak pantas (dibahas)
karena kita masih menggugat judicial review. Kalau kita masih menggugat
judicial review dan belum ada kepastian dari sana (MK), ini sebenarnya belum
bisa berlaku.” kata Elly.
Namun
karena sudah beredar saat ini, maka menjadi wajib untuk dibaca. Sehingga,
menurut dia, eksistensi serikat buruh sebagai Pejuang Perburuhan atau aktivis
buruh, harus mengetahui apa yang ada di dalam aturan turunan ini.
“Karena
tidak ada yang menjamin (gugatan) kita menang atau kalah. Dengan melihat
masalah-masalah ini, ada lagi upah padat karya, berarti serikat buruh akan dihadapkan
pada persoalan-persoalan yang lain.” tegas Elly.
“Berarti
Konsentrasi kita terpecah, tadinya kita menolak (omnibus Law UU Cipta Kerja)
dan membawa ke judicial review. Ada lagi ini, berarti kita akan bertempur dan
pertempuran belum selesai kawan-kawan. Tetap semangat,” tandasnya.
Diketahui,
pemerintah secara resmi telah menerbitkan 51 peraturan Pelaksanaan dari UU
Cipta Kerja. Untuk klaster ketenagakerjaan, pemerintah menerbitkan 4 aturan
pelaksanaan, yaitu:
1.
Peraturan Pemerintah nomor 34 tahun 2021 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing
(TKA);
2.
Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu
Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, serta Pemutusan
Hubungan Kerja;
3.
Peraturan Pemerintah nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan;
4.
Peraturan Pemerintah nomor 37 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program
Jaminan Kehilangan Pekerjaan.
(RedKBB/KSBSI.org)