Blak-Blakan, Eduard F LOMENIK Bicara UU Ciptaker dan Aturan Turunannya: Patut Ditolak!

Blak-Blakan, Eduard F LOMENIK Bicara UU Ciptaker dan Aturan Turunannya: Patut Ditolak!

KSBSI.ORG, JAKARTA – Eduard Parsaulian Marpaung, Deputi Presiden Dewan Pengurus Pusat Federasi Logam, Metal dan Elektronik (DPP F LOMENIK) menanggapi langsung terbitnya 4 aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang menuai polemik.

Baca juga:  Pekerja Jurnalis Terancam Saat Peliputan Aksi Menolak Demo Kudeta Myanmar,

Blak-blakan, Pria yang khusus menangani program-program sosial dialog di Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan, seharusnya undang undang ketenagakerjaan itu dibuat untuk kesejahteraan buruh menjadi lebih baik, bukan malah sebaliknya, justru untuk melegalisasi ketidaksejahteraan.

“Menurut saya, kan kita harus kembali dulu ke dasar dari pola pikir melakukan reformasi UU Ketenagakerjaan. Reform, itu artinya adalah perbaikan, melakukan perbaikan UU Ketenagakerjaan agar lebih baik dan lebih bermanfaat, dalam rangka untuk pelaksanaan UUD 1945 pasal 28, dimana setiap warga negara berhak untuk memperoleh penghidupan dan pekerjaan yang layak, termasuk pengupahan dan pekerjaannya.” kata Eduard saat ditemui di Kantor Pusat F Lomenik, Senin lalu (1/3/2021).Turunannya: Patut Ditolak!

Melegalisasi Ketidaksejahteraan

Menurutnya, Omnibus law, dibeberapa negara sengaja dibikin untuk melakukan sinkronisasi dari banyak undang-undang, namun khusus di Indonesia, Omnibus law Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan dianggap bermasalah.

Eduard menguraikan, untuk capaian hidup layak bagi buruh lajang itu rata-rata dibayar sekitar Rp 3 jutaan. Angka itu merujuk pada dari hasil penelitian dari berbagai lembaga. Kemudian untuk buruh yang sudah berkeluarga tapi belum punya anak, digaji sekitar Rp 4 juta. Untuk yang punya anak 1 atau 2 orang digaji Rp 5 jutaan.

Namun sayangnya, menurut Eduard, kondisi pasar kerja sekarang ini, yang terjadi adalah gaji buruh rata-rata di Indonesia masih banyak yang berpenghasilan Rp 3 juta ke bawah. “Nah seharusnya, negara sebagai pengambil kebijakan harus melindunginya.” kata Eduard.

Namun sangat disayangkan, kondisi di omnibus law yang terjadi adalah sebaliknya. “UU itu malah melegalisasi ketidaksejahteraan. Karena kenyataannya kan memang tidak sejahtera. Banyak orang walau pun bekerja, tapi tidak sejahtera. Harusnya jika buruh bekerja, seharusnya ya sejahtera.” terangnya.

“Nah kita lihat sendiri, kondisi kita sekitar 60 persen itu masih (buruh) informal ekonomi, 40 persennya formal yang sebagian besar pekerja formal itu ada di Industri pertambangan, kimia, energi kemudian elektronik, permesinan, manufaktur, garmen, dll, dan itu banyak dari (investasi) global (Luar negeri).” kata Eduard.

“Nah investasi global ini, mereka minta supaya jangan banyak intervensi dari pemerintah dalam hubungan industri. Tapi kan seharusnya kita tidak boleh dong membiarkan warga negara kita hidup dalam kondisi tidak sejahtera. Dan itulah gunanya pemerintah ikut campur.” imbuhnya.

Upah Diserahkan ke Mekanisme ‘Pasar’

Dikupas lebih jauh, di undang-undang ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003, ada perlindungan upah, upah standar untuk mencapai hidup layak. Ada perlindungan pekerjaan tetap supaya tidak terlalu banyak pekerjaan yang di outsourching atau buruh kontrak. Selain itu ada perlindungan hubungan kerja, Supaya tidak terjadi pHK yang semena-mena.

Berbeda dengan aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan yang dinilai Eduard justru diliberalkan.

“Ini adalah 3 hal yang diatur dalam peraturan presiden, turunannya yang justru menurut saya, di-liberalkan. Diserahkan ke pasar. Upah tidak lagi perlu mekanisme tawar menawar dalam rangka kehidupan yang layak, penghitungannya cukup diberi ke BPS (Badan Pusat Statistik) misalnya.” kata Eduard.

 “Kemudian upah per-jam misalnya, tadinya kan sudah ada 1 per 173 itu hitungannya kan dalam rangka untuk lembur. Nah sekarang dirubah. Itung-itungan sendiri dengan mekanisme sendiri, padahal itu sudah dihitung berdasarkan pengupahan standar.” terangnya.

Blak-blakan Eduard mengupas soal perbedaan aturan UU ketenagakerjaan nomor 13 dengan UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan beserta aturan turunannya. Masalah-masalah berkenaan dengan PHK misalnya. Di omnibus law, Eduard menyebut ada beberapa jenis PHK yang tidak perlu lagi dirundingkan. Kemudian keanggotaan di tingkat ‘grass road‘, akan terjadi ekspansi masif dari pekerjaan kontrak, outsourching dll.

Pesangon juga dikurangi dengan alasan bahwa akan ada jaminan kehilangan pekerjaan. Menurut Eduard, seharusnya pemerintah membuat struktur baru seperti asuransi jaminan kehilangan pekerjaan, dimana kompensasi itu sebenarnya penting bagi buruh.

Nah, menurut Eduard, bukannya membuat struktur baru, justru mekanisme penentuan upah dan pesangon seolah-olah diserahkan pemerintah ke pasar. “Udahlah, upah ditentuin aja yang paling rendah ditentuin oleh statistik (BPS), sisanya negosiasi,” katanya. Demikian juga dengan upah minimum, yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara, justru diserahkan ke pasar.

“Padahal upah minimum ini kan menjadi tanggung jawab negara. Nggak bisa diserahkan ke pasar.. (seolah-olah) Ya udah negosiasi aja gitu, upah minimum. Nah nanti range paling rendah diserahkan ke statistik.” kata Eduard. Padahal menurutnya, statistik itu pola-nya hanya untuk kebutuhan fisik, sehingga dikhawatirkan angkanya bisa sangat minim.

Balik ke Zaman Orde Baru

walhasil, dalam pandangannya, aturan baru ini seolah kembali ke zaman orde baru dengan aturan kebutuhan fisik minimum atau disebutnya KFM. “Artinya ini pelan-pelan kita digiring ke orde baru, dimana orde baru menyerahkan ke (sistem) pasar, tapi bukan pasar sebetulnya, karena pasar (yang sebetulnya) itu kan (menggunakan) mekanisme negoisasi.” katanya.

“Sama seperti orde baru pola-nya. Yang dilakukan itu adalah mekanisme pengusaha dibantu oleh pemerintah…KKN, gitu. Jadi pengusaha yang menentukan semua, seolah-olah gitu nih… Ya kan.. Karena apa.. Upah.. ya udah pengusaha saja (yang tentukan).” kata Eduard.

Menurut dia, seharusnya di undang undang itu ada pola dimana perjanjian kerja bersama dilakukan di tingkat nasional. Sementara di Omnibus law, perjanjian kerja bersama dilakukan di tingkat perusahaan.

“Lemah sekali.” kata Eduard. “Padahal, serikat buruh kan me-nasional nih. Ada serikat buruh tingkat regional gabungan, ada federasi ada konfederasi.” tandasnya.

Tanpa Sosial Dialog, Berpotensi Didemo

Menurut dia, kalau mau diserahkan ke pasar, seharusnya ada tingkat negosiasi upah atau syarat-syarat kerja di tingkat nasional. Itu baru benar, karena adanya sosial dialog. Sebab, menurutnya, kalau pasar kan menggunakan mekanisme dialog. sehingga kalau menggunakan mekanisme pasar tetapi tanpa sosial dialog, maka yang ada adalah konflik.

“itu yang (seharusnya) diserahkan. Kalau nggak (ada sosial dialog), mekanisme apa yang ada? Yang ada itu nanti mekanisme konflik, karena tidak ada mekanisme dialog sosialnya.” terangnya.

Eduard pun berpandangan seandainya tidak ada covid, bisa diprediksi aturan turunan ini berpotensi mengundang demo besar-besaran, karena potensi konflik yang ditimbulkan semakin tinggi, sebabnya, menurut Eduard karena mekanisme Omnibus law tidak cocok dibuat di Indonesia.

“Karena mekanisme kita nggak cocok, gitu. Kalo Eropa iya, diserahkan ke pasar mekanismenya. Tapi ada mekanisme perjanjian kerja bersama mereka di tingkat nasional. Upah itu ditentukan oleh negosiasi, bipartit antara asosiasi pengusaha dan asosiasi-asosiasi serikat buruh bersatu untuk menegosiasikan nih berapa upah.” urainya.

“Upah minimum berapa? ya nego. Tapi pemerintah mau nggak kalau itu fight?” kata Eduard.

Tidak ada Hak Intervensi Serikat Buruh

Itulah kenapa di Indonesia dulu, di UU Ketenagakerjaan nomor 13, mekanisme diserahkan ke negara. Penghitungannya adalah inflasi pertumbuhan ekonomi, kemudian komponen kebutuhan hidup layak (KHL). Dimana komponen KHL itu diserahkan ke negara dan ada mekanisme tripartit yang mengusulkan KHL tersebut.

“Kalau sekarang nggak, OK gw kasih elo, pengusaha nentuin. jadi gitu kan. Ada nggak hak intervensi dari serikat? Nggak ada. Karena apa? mekanisme perjanjian kerja bersama nggak ada di tingkat nasional. Seharusnya kalau dia mau niru Eropa, mekanisme harus ada perjanjian kerja bersama di tingkat nasional. Sektoralnya juga ada, (Misal) perjanjian kerja bersama oto untuk buruh-buruh otomotif. Perjanjian kerja bersama nasional untuk Industri Kimia. Nanti mereka disitu negosiasi, upah, syarat kerja kemudian mengenai K3, dll, yang dasar-dasar semua ada.” jelasnya.

“Nah disini kan nggak ada, dia persis mengembalikan kondisi ini ke orde baru. Upah ditentukan komponennya (berdasarkan) kebutuhan fisik minimum.” tandas Eduard.

Akibatnya, dari mulai draft hingga terbitnya omnibus law UU Cipta Kerja banyak penolakan yang terjadi di masyarakat. Demikian juga dengan munculnya aturan pelaksanaan UU Cipta Kerja yang diterbitkan pemerintah sejak 2 Februari lalu. Berpotensi menuai kecaman dan demo besar-besaran.

“Wah ini sebenarnya kalau nggak covid, ini didemo besar-besaran. Tahun 1990, karena KFM itu di Medan didemo besar-besaran, kemudian pak Soeharto (saat itu) naikin itu seratus persen upah. Nah ini akan terjadi lagi. ini akan mengulang sejarah. Karena apa? tidak ada mekanisme sosial dialognya.

Patut Ditolak

Oleh sebab itu, dengan tegas, Eduard mengatakan, UU omnibus law ini patut ditolak! Karena menurut dia, undang undang ini seratus persen kembali ke masa orde baru.

“Nggak tau saya otaknya siapa. Tapi ini merupakan suatu ‘side back‘ (kembali ke belakang) karena saya melihat ternyata PP-nya itu adalah KFM, komponen kebutuhan fisik minimum. Tidak kebutuhan hidup layak. Karena itu bertentangan,” ungkapnya. Eduard pun berharap, majelis Hakim di Mahkamah Konstitusi independen dan dapat membuat putusan sesuai dengan UUD 1945.

“Mudah-mudahan Mahkamah Kontitusi nanti hakimnya independen. Memutus itu sesuai dengan UUD 1945, karena (omnibus law UU Cipta Kerja) itu tidak layak, gitu, karena itu bertentangan dengan UUD 45.” tandasnya.

Private Capitalism

Dalam pandangannya, Eduard ingin menilik lebih jauh ke pola pikir (rancang bangun) omnibus law. “Jadi saya mau masuk ke pola pikirnya. Kita ini mau membangun sebuah dialog sosial yang baik atau private capitalism? Jadi capital bertindak sewenang-wenang, sesuka hati. Jadi membiarkan capital bertindak sewenang-wenang dan sesuka hati? Atau kita mengedepankan dialog sosial dengan negara sebagai wasit.” tanya dia.

Menurutnya, sistem dalam UU Ketenagakerjaan harus dipilih dengan tepat bukan dengan membuat sistem yang diserahkan ke pasar yang tidak menggunakan mekanisme dialog sosial.

“Jadi kita harus pilih sistemnya. Karena omnibus law ini sistem. Penawaran sistem…harus dilihat disitu..disistemnya. Jadi disistemnya tadi..saya bilang tidak ada di dalam sistem itu yang memungkinkan untuk dialog sosial. Dia menyerahkan ke pasar..tapi pasar yang tanpa dialog. Menurut saya, ini satu keniscayaan.” tegasnya.

Reformasi UU Ketenagakerjaan

“Kita berharap supaya (dialog sosial) harus ada. Jadi serikat buruh, berposisi di dua kesempatan, karena undang-undang ini kan sudah ada, Kepres-nya kan sudah ada. Kalau sudah ada harus kita minta ada reformasi di undang-undang perburuhan yang baru. Reformasinya apa? Untuk hadirnya sebuah undang-undang tenaga kerja yang memungkinkan dialog.” kata dia.

“Karena apa, negara kita kan ikut menentukan SDGs, Sustainable Development Goals, dimana SDGs 8 menyebutkan adanya satu design work dan economy growth, pertumbuhan ekonomi dengan (konsep) pekerjaan layak. Dan pekerjaan layak itu konsepnya di undang-undang dasar kita, pendiri-pendiri bangsa ini sejak awal itu. Dan kita nggak kurangi itu tentang hidup layak, dan konsep kita itu dibawa ke global dan di terima. Adanya design work, perlindungan jaminan sosial, perlindungan ketenagakerjaan kebebasan berserikat dan adanya sosial dialog.” terangnya.

Bagi Eduard, kalau tidak ada sosial dialog, tidak ada upah layak di dalam undang undang yang baru, artinya negara sendiri berarti tidak konsisten dengan apa yang dikomitmenkan untuk dibawa ke global. Oleh karena itu perlu satu komitmen berbangsa.

“Jadi perlu satu kesamaan pola pikir semua orang, harus duduk bersama, bagaimana supaya digodok ulang lagi dalam bentuk reformasi undang undang perburuhan yang baru, merubah semua desain undang-undang. (jangan) sedikit-sedikit dicomot kemudian ditukang-tukangin untuk kepentingan kelompok tertentu. Tetapi secara keseluruhan reformasi UU ketenagakerjaan, karena UU ketenagakerjaan ini nggak cuma untuk covid, atau konsumsi covid. Ini untuk masa depan yang panjang.” katanya.

Terlebih, menurutnya, Eropa telah meminta perubahan dalam UU Ketenagakerjaan karena tidak mengedepankan dialog sosial. Dan mereka itu, SDGs Guideline (Pedoman SDgs) telah mengedepankan SDGs delapan itu sebagai sebuah ketetapan untuk berinvestasi.

“Apa mau tuh nanti mereka menunda investasi kesini karena dianggap Undang undang kita itu tidak ramah terhadap dialog. Tidak ramah terhadap SDgs delapan. Itu komitmen yang sudah diambil untuk berbangsa dan berglobal. Menurut saya itu adalah satu komitmen bersama yang harus dijalani bersama. Kalau pun undang undang itu, peraturan sudah jadi, tadi saya bilang serikat buruh harus bersama-sama semua untuk membuat suatu konsep reform secara menyeluruh untuk membuat undang undang ketenagakerjaan (yang baru).” katanya.

Dibuat Menjadi Lebih baik

Diakuinya, memang ada poin-poin undang undang ketenagakerjaan yang sudah kadaluarsa yang harus dirubah. Namun perubahan itu ditegaskan Eduard, tidak dalam rangka untuk membuat yang lebih buruk, tetapi harus menjadikannya lebih baik.

“Karena reformasi sesungguhnya adalah bagaimana membuat lebih baik. Kita harusnya membuat undang undang supaya ada visi untuk mencapai suatu kehidupan bernegara yang lebih baik.” Demikian Eduard Parsaulian Marpaung.(Red/KBB)

Komentar