Permenaker No. 2 Tahun 2021 Tentang Upah Padat Karya Tertentu, Disikapi Kritis Oleh APBGATI

Permenaker No. 2 Tahun 2021 Tentang Upah Padat Karya Tertentu, Disikapi Kritis Oleh APBGATI

KSBSi.ORG, Aliansi Pekerja Buruh Garmen Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) bersama Better Work kembali melakukan agenda konsolidasi dalam menyikapi kebijakan pemerintah terkait dunia industrial. Bertempat di Park Hotel Cawang Jakarta Timur. Untuk pertemuan ini, APBGATI mengadakan diskusi mengenai terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No. 2 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Pengupahan Pada Industri Padat Karya Tertentu Dalam Masa Pandemi Covid-19.

Baca juga:  Salah Satunya, Indonesia Dinilai Gagal Menangani Krisis Pekerjaan,

Acara diskusi dipandu Trisnur Priyanto Sekjen Federasi Serikat Buruh Garmen, Kerajinan, Tekstil, Kulit dan Sentra Industri Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DPC FSB GARTEKS-KSBSI). Sementara Ristadi Presidium APBGATI didapuk nara sumber dalam diskusi ini mengatakan bahwa terbitnya Permenaker ini membuat kondisi buruh di sektor padat karya semakin terpuruk di masa pandemi Covid-19. Ditambah lagi, industri padat karya selama ini merupakan perusahaan yang banyak menyerap tenaga kerja. Namun upah buruhnya juga dikenal paling murah dibanding sektor lainnya.

 

“Padahal keuntungan pengusaha di sektor padat karya menurut saya terbilang tinggi setiap tahunnya. Dan sudah beberapa kali saya dan teman-teman serikat pekerja/buruh lainnya sudah menyampaikan masalah ini ke pemerintah dan pengusaha, tapi belum ada jawaban yang transparan dari mereka,” ucap Ristadi yang juga Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN), Senin (15/3/21).

 

Intinya, dia mendesak agar pengusaha industri garmen, tekstil, sepatu dan alas kaki (TGSL) seharusnya bersikap transparan untuk memenuhi kebutuhan hidup layak kepada buruh. Menurut Ristadi, bahwa  (Permenaker) No. 2 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Pengupahan Pada Industri Padat Karya Tertentu Dalam Masa Pandemi Covid-19 sangat bertentangan dengan dengan semangat Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

 

Dimana dalam undang-undang ini terdapat Pasal 10 (1) Pengusaha dilarang membayar upah dibawah minimum serta Pasal 90 (2) Pengusaha yang tidak mampu membayar upah minimum dapat dilakukan penangguhan. Namun dua pasal itu sudah dihapus dan diganti oleh Undang-Undang No. 11 Tahun 2021 Tentang Cipta Kerja dalam pasal 81 diktum No. 27

 

Namun Pasal 90 (1) No. 13 Tahun 2003 dihidupkan lagi oleh UU No 11 tahun 2021 tentang Cipta Kerja dalam pasal 81 Diktum No. 25 diantara pasal 88 dan 89 disisipkan pasal 88E (2). Dimana isinya menegaskan bahwa Pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum” dalam PP 36 /2021 Tentang Pengupahan dipertegas lagi dalam pasal 23 (3). Sedangkan pasal penangguhan upah minimum tetap dicabut atau dihilangkan.

 

Nah, kalau mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) No. 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan pada pasal 5 (2), bahwa  kebijakan pengupahan dijelaskan:  tentang upah minimum, struktur skala upah, upah kerja lembur, upah tidak masuk kerja, bentuk dan cara pembayaran upah, hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah serta upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

 

“Jadi sudah jelas bahwa dalam PP No. 36 Tahun 2021 juga tidak ada mempertegas tentang upah padat karya. Kecuali dalam PP tersebut upah minimum untuk usaha kecil mikro dan kecil,” jelasnya.

 

Intinya, Ristadi menilai bahwa produk Permenaker No. 2 Tahun 2021 hanya sebuah tafsiran dari sekelompok orang yang berpotensi merusak tatanan hukum yang sudah ada. Dia juga mengkhawatirkan, kedepannya bisa jadi akan ada lagi produk peraturan merugikan pekerja/buruh.

Postur umum Permenaker 2/2021:

sasaran:

A. Industri Yang Minimal Jumlah Pekerjannya Lebih Dari 250 Orang Dan Biaya Tenaga Kerja (Labor Costs) Minimal 15% Dari Cost Product Meliputi Industri ; Makanan Minuman, Tekstil, Garment, Kulit, Alas Kaki, Mainan Dan Furnitur terdampak Pandemi Covid-19. ( Pasal 3 dan 4)

B. Perusahaan Yang Terdampak adalah Yang Melakukan Pembatasan Kegiatan Usaha Akibat Kebijakan Pemerintah Dengan Upaya Pencegahan Dan Penanggulangan Pandemic Covid-19 Yang Berakibat Sebagian Atau Seluruh Pekerja Tidak Masuk Kerja (Pasal 5)

C. Kebijakan Pengupahan Berupa Penyesuaian Besaran Upah Dan Cara Pembayaran Berdasarkan Kesepakatan Pengusaha Dan Pekerja Atau Buruh

D. Jangka Waktu Penyesuaian Upah Paling Lama 31 Desember 2021 (Pasal 7 Ayat 2 C Dan Pasal 9)

 

Kesimpulan:

 

A. Permenaker 2/2021 Tidak Mempunyai Dasar Hukum hanya berdasarkan Tafsiran Situasi.

B. Maksud Penyesuaian Upah adalah besarnya dibawah Upah Minimum yang Berlaku di daerah setempat.

C. Yang dilibatkan dalam Musyawarah Kesepakatan adalah Pekerja atau Buruh bukan Serikat Pekerja / Serikat Buruh.

D. Cara Pembuatan UU / Aturan tanpa Dasar Hukum hanya berdasar Tafsiran Situasi akan Merusak Tatanan Hukum dan berbahaya karena Potensi munculnya Aturan Teknis yang semau Pemerintah.

E. Bagaimana dengan Industri Padat Karya Pekerjanya paling banyak 200 Orang ?

 

Tegasnya dalam diskusi itu Ristadi mengatatakan bahwa Permenaker No. 2 Tahun 2021 tidak mempunyai dasar hukum hanya berdasarkan tafsiran situasi. Kemudian maksud penyesuaian upah adalah besarnya dibawah upah minimum yang berlaku di daerah setempat.

 

Selanjutmya, yang dilibatkan dalam musyawarah kesepakatan adalah pekerja/buruh bukan serikat pekerja/serikat buruh. Dan terakhir cara Pembuatan Undang-undang atau aturan tanpa dasar hukum hanya berdasar tafsiran situasi akan merusak tatanan hukum. Serta berbahaya karena potensi munculnya aturan teknis yang semau pemerintah. (A1)

Komentar