KSBSI.ORG, Jakarta - Rasmina Pakpahan Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI) mengatakan aktivis serikat buruh sebaiknya harus mampu mengedepankan sosial dialog waktu menyelesaikan perselisihan hubungan industrial. Kalau hanya melakukan aksi demo, menurutnya belum tentu ada solusi, namun bisa jadi masalah tersebut jadi bertambah.
Baca juga: JAPBUSI Bersama Dirjen PHI-JSK Kemnaker Bahas Hubungan Industrial Di Sektor Buruh Sawit ,
“Misalnya,
kalau ada persoalan antara pekerja dengan perusahaan mengenai hak normativ,
sebaiknya perwakilan serikat buruh mengedepankan dialog dahulu dengan pihak
manajemen dalam bentuk Bipartit. Kalau tidak ada titik temu, baru lakukan
langkah advokasi selanjutnya,” kata Rasmina, saat diwawancarai, di Cipinang
Muara, Jakarta Timur, Rabu (23/6/21).
Lanjut,
Rasmina menerangkan gagasan sosial dialog ini dipelopori KSBSI pasca reformasi.
Namun, dimasa pemerintahan otoriter Orde Baru (Orba), serikat buruhnya memang
tidak menerapkannya. Karena rezim militerisme pada masa itu tidak merestui
kehadiran KSBSI yang dianggap oposisi terhadap Presiden Soeharto. Serta membungkam
hak kebebasan berserikat dan memberangus demokrasi.
Setelah
reformasi bergulir dan KSBSI ikut menumbangkan kekuasaan Orba, akhirnya
dilakukan evaluasi gerakan. Lalu memutuskan dialog sosial jalan utama
menyelesaikan masalah antara pengusaha dan buruh. Harus diakui, dulu KSBSI
dikenal serikat buruh yang frontal melakukan perlawanan, karena sering
mendapatkan tekanan mental dan fisik dari penguasa.
“Tapi
kami sudah meninggalkan budaya itu. Sekarang kami lebih mengutamakan gerakan
sosial dialog untuk mencari solusi. Aksi demo hanya jalan terakhir, kalau upaya
komuniasi tidak ada titik temu lagi,” tegasnya.
KSBSI
melalui federasi yang berafiliasinya rutin melakukan pelatihan kepada pengurus
cabang dan diberbagai daerah.
Tujuannya untuk meningkatkan kemampuan
komunikasi dan negoisasi saat berdialog dengan perwakilan perusahaan. Dan hasil
program pendidikan yang rutin dilakukan ini, Rasmina mengatakan hasilnya sangat
memuaskan.
Sekarang
ini, pengurus cabang di daerah lebih memilih menyelesaikan perselisihan
hubungan industrial tidak lagi langsung demo dan mogok kerja. Tapi lebih
memilih jalur sosial dialog. Mereka sudah berani berargumentasi sesuai
undang-undang ketenagakerjaan dengan manajemen perusahaan.
“Dari
hasil dialog dan negoisasi itu pun manajemen perusahaan akhirnya bisa lebih
mengerti. Misalnya, dari 10 tuntutan yang dilakukan Pengurus Komisariat (PK) KSBSI di perusahaan,
akhirnya bisa 8 poin dikabulkan dalam memperbaiki kesejahteraan buruh,” ungkapnya.
Proses
penyelesaian secara sosial dialog memang tidak bisa dilakukan hanya sekali saat
melakukan Bipartit. Harus perlu kesabaran dan argumentasi yang kuat waktu
melakukan negoisasi. Sehingga akhirnya, tuntutan tersebut bisa memiliki posisi
tawar.
“Telah
banyak pencapaian saat menjalankan agenda sosial dialog dengan perusahaan.
Salah satunya, tuntutan hak upah yang disuarakan akhirnya masuk dalam
kesepakatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB),” pungkasnya.
Dia
menegaskan, sosial dialog bukanlah gerakan kompromi kepada perusahaan dan
pemerintah. Namun sebagai alat perjuangan intelektual serikat buruh untuk
mempengaruhi waktu bernegoisasi. KSBSI menilai, kalau di era demokrasi ini
buruh lebih mengedepankan aksi demo, belum tentu membawa dampak positif.
“Dengan
cara dialog kita bisa menyampaikan segala bentuk aspirasi. Termasuk stigma
serikat buruh yang dianggap tidak bersahabat pun akan hilang. Karena
pemerintah, pengusaha dan aktivis buruh bisa duduk bersama untuk mencari
solusi,” jelasnya.
Dia
memberikan contoh, KSBSI sampai hari ini masih menolak beberapa pasal dalam
Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang disahkan tahun lalu. Padahal, sebelum
diketok palu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Parlemen Senayan,
pihaknya telah berupaya melakukan audiensi kepada pemerintah dan wakil rakyat
untuk memberikan saran dan masukan.
Sebab
ada beberapa pasal dalam undang-undang ini berpotensi mendegradasi hak buruh
kalau disahkan, walau akhirnya pemerintah dan DPR tetap ngotot mengesahkannya.
Namun dibalik pengesahan itu, bukan berarti harus selamanya memusuhi pemerintah
dan pengusaha.
“KSBSI
tetap bersikap dewasa dan terus berdialog dengan pemerintah untuk mencari
solusi ketenagakerjaan terkait dampak pandemi Covid-19. Termasuk tim kuasa
hukum kami masih melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK), secara
formil dan materil. Untuk menggugurkan beberapa pasal-pasal dari UU Cipta Kerja
yang kami nilai merugikan masa depan buruh,” tutupnya. (A1)