KSBSi.ORG, Jakarta - Ida Fauziyah Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) telah menghimbau dimasa penerapan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat Khusus mulai 3-20 Juli 2021 di Pulau Jawa dan Bali, tidak terjadi kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada buruh. Hal ini didukung dengan terbitnya Surat Edaran (SE) Nomor M/9/HK.04/VII/2021.
Baca juga: Butir-butir MoU Program 1 Juta Sarjana Buruh KSBSI, Butir-butir MoU Program 1 Juta Sarjana Buruh KSBSI,
Dimana
dalam SE itu, Menaker meminta kepada para gubernur agar mengimbau setiap pelaku
usaha di wilayahnya untuk menjalankan penerapan protokol kesehatan (Prokes)
ditempat kerja dan mematuhi aturan PPKM Darurat Khusus. Artinya, kepada semua
pihak agar PPKM Darurat Khusus tidak dimanfaatkan dan menambah masalah
ketenagakerjaan.
Ida
Fauziyah memahami kondisi pandemi Covid-19, sedang tidak menguntungkan bagi
buruh/pekerja dan pengusaha. Karena itulah, solusi yang terbaik adalah tetap
mengedepankan dialog bipartit antara pengusaha dengan buruh untuk mencari jalan
tengah.
Trisnur
Priyanto Sekretaris Jenderal (Sekjen) Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat
Buruh Garmen dan Tekstil dan Sentra Industri -Konfederasi Serikat Buruh Seluruh
Indonesia (DPP FSB GARTEKS KSBSI) menilai pernyataan Menaker tidak ada jaminan
pasti. Pasalnya, sudah banyak regulasi yang dibuat dimasa pandemi Covid-19,
tapi tak memihak buruh. Bahkan, pengusaha banyak melanggar aturan pemerintah
terkait aturan perlindungan buruh sekarang ini.
“Saya
nilai, setiap pernyataan Menaker masih sebatas pencitraan politik saja. Belum
ada kebijakan tegas memihak buruh, tapi cenderung pada kepentingan pengusaha,”
ucapnya, saat diwawancarai melalui seluler, Kamis (8/7/21).
Kata
Trisnur, PPKM Darurat Khusus yang sedang dijalankan bisa membawa dampak tidak
baik pada ketenagakerjaan. Sebab, kebijakan ini dianggapnya memperlambat
perekonomian ditengah masyarakat. Karena segala aktivitas manusia sedang
dibatasi. Termasuk buruh yang bekerja di perusahaan.
“Kalau
tujuan PPKM Darurat Khusus untuk menghentikan penyebaran Covid-19, saya dukung.
Tapi DPP FSB GARTEKS KSBSI meminta kepada pemerintah, kebijakan ini jangan
sampai membawa dampak buruh terhadap perekonomian buruh,” tegasnya.
Dia
beralasan, pada kasus gelombang pertama Covid-19, tahun kemarin mengakibatkan
jutaan buruh korban PHK. Nah, ditambah situasi hari ini, daya beli buruh pun
semakin terpuruk. “Saya khawatir, berakhirnya PPKM Darurat Khusus justru
terjadi lagi ledakan PHK besar-besaran,” jelasnya.
Pandemi
yang mendekati 2 tahun ini, Trisnur juga menilai pemerintah belum memberikan
solusi kongkrit untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi buruh yang ter-PHK.
Sebab penanganannya masih sebatas bantuan sosial (Bansos) dalam bentuk sembako
dan subsidi upah.
“Bansos
yang diberikan masih banyak tidak tepat sasaran kepada buruh korban dampak
pandemi. Jadi sangat perlu dievaluasi, karena pemerintah tidak melihat kondisi
dilapangan. Saya berharap pemerintah harus segera mengatasinya. Kalau tidak,
kesenjangan sosial dan tingkat kriminalitas bakal meningkat tajam,” lugasnya.
Selain
itu, penerapan PPKM Darurat Khusus terkesan tidak becus dijalankan. Contohnya,
di Kota Jakarta, Anies Baswedan Gubernur DKI hanya menegur perusahaan diwilayah
perkantoran saja. Tapi tidak mau melihat perusahaan sektor industri padat
karya, dimana jumlah buruhnya sampai ribuan orang waktu bekerja.
“Padahal
Kota Jakarta sedang status zona hitam, seharusnya beliau juga melihat kondisi
ribuan buruh bekerja di pabrik, dimana potensi penyebaran Covid-19 tinggi
sekali. Kami minta Gubernur DKI harus adil dong menerapkan PPKM Darurat Khusus,
jangan tebang pilih,” tegasnya.
Artinya,
pelaksanaan PPKM Darurat Khusus tidak efektif dan pemerintah setengah hati
menjalankannya. Sebab, pemerintah belum memberikan jaminan perlindungan bagi
buruh, paska berakhirnya kebijakan ini tidak ada PHK besar-besaran.
“Sementara
kita melihat, selama PPKM Darurat Khusus diberlakukan, banyak jalan-jalan utama
yang disekat. Sehingga buruh sulit bekerja dan berdampak pada perekonomian yang
melambat,” tutupnya. (A1)