KSBSI.ORG, Jakarta - Bank Dunia baru saja merilis laporan tentang peringkat klasifikasi Indonesia. Disampaikan, bahwa sebelumnya Negara Indonesia masuk ke dalam klasifikasi negara berpendapatan menengah ke atas. Tapi untuk tahun ini dinyatakan turun peringkat, menjadi status negara berpendapatan menengah ke bawah.
Baca juga: Sekjen KSBSI: Buruh Harus Siap Hadapi Transisi Revolusi Industri 4.0,
Alasan turunnya peringkat klasifikasi ini
didukung acuan Gross National Income (GNI) per kapita dalam dolar AS yang digunakan
Bank Dunia. Termasuk juga sangat dipengaruhi pandemi Covid-19 yang berdampak
pada lesunya roda perekonomian.
Dalam acuan baru, GNI untuk negara
berpendapatan menengah atas ditetapkan sebesar US$4.096 -12.695 dari sebelumnya
pada tahun lalu US$4.046-12.535. Nah, untuk negara berpendapatan menengah ke bawah
telah berubah menjadi US$1.046- 4.095 dari US$1.035 -4.045. Bagi negara-negara
yang berpendapatan tinggi ditetapkan sebesar lebih dari US$12.695 dari
sebelumnya di atas US$12.535.
Sementara GNI Indonesia sendiri ditetapkan
sebesar US$3.870 turun dari tahun sebelumnya sebesar US$4.050. Sehingga
mengalami turun peringkat bersama dengan Belize, Iran, Mauritius, Panama,
Romania dan Samoa.
Tepatnya, Indonesia, Mauritius, Samoa,
Rumania, sangat dekat ambang batas klasifikasi pada tahun 2019 dan semuanya
mengalami penurunan Atlas GNI per kapita terkait dampak pandemi. Hingga menyebabkan klasifikasi lebih rendah pada
tahun 2020.
Supardi Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat
Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Restoran Hotel dan Tembakau
afiliasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DPP FSB KAMIPARHO KSBSI) mengatakan
tak membantah jika dampak Covid-19 membuat sektor ketenagakerjaan terpuruk. Ada
3 juta lebih buruh/pekerja telah kehilangan pekerjaan dari tahun kemarin.
“Pemerintah sendiri belum menemukan solusi
lapangan kerja agar mereka bisa bekerja kembali,” ucapnya, saat diwawacarai
melalui seluler, Jakarta, Senin (12/7/21).
Ia menjelaskan buruh paling dilema dimasa
pandemi adalah sektor perhotelan, pariwisata, restoran dan hiburan. Jenis
bisnis ini dinilai rentan penyebaran virus Corona. Sehingga, pihak terkait
sangat ketat mengawasi usaha tersebut, bahkan terpaksa ada yang ditutup.
“Tapi dibalik pengawasan ketat ini, berdampak
pada pengusaha dan buruh. Anggota kami banyak kehilangan pekerjaan. Ada juga upah
dipotong separuh karena jam kerjanya dikurangi, sehingga pendapatan gaji dan daya
beli pun menurun jauh,” ungkap Supardi yang baru saja meraih gelar Magister
Hukum, disalah satu kampus swasta Jakarta.
Ia juga merasa khawatir dengan sudah
disahkannya Omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Menurutnya,
undang-undang ini juga bakal menjadi dilema bagi buruh. Alasannya, pengusaha
nakal akan memanfaatkannya untuk melakukan PHK semau aturannya saja.
“Sementara, serikat buruh menilai, lahirnya
UU Cipta Kerja memang terkesan dipaksakan dan berpotensi besar mendegradasi hak
buruh di dunia kerja,” tegasnya.
Lebih
Serius
Selain itu, dalam mengatasi Covid-19,
Supardi menilai pemerintah masih terkesan lamban mengatasi pandemi Covid-19.
Karena itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) bersama menterinya jangan setengah
hati membuat keputusan untuk menyelamatkan masyarakat. Contohnya, saat
menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat,
sebaiknya harus ada solusi bijak.
“Sebab sebagian dari masyarakat kita ini
kan ada yang bekerja harian. Kalau sehari tidak bekerja ya sudah pasti tak ada
gaji. Jadi, selama penerapan pemberlakuan PPKM, nasib ekonomi keluarga mereka
harus ada perhatian khusus,” tegasnya.
Supardi menilai, Jokowi secara pribadi
sudah bersikap serius mengatasi darurat Covid-19. Tapi yang menjadi kendala, ada
beberapa kementerian terkesan belum saling bersinergi. Atau juga belum ada satu
koordinasi, sehingga banyak pekerjaan tidak tepat sasaran dan tumpang tindih.
“Bahkan pada awal Indonesia dinyatakan
terdampak Covid-19, kementerian terkait urusan ketenagakerjaan minim melibatkan
serikat buruh berdialog mencari solusinya. Baru-baru ini saja kami diajak
diskusi tentang membangkitkan bisnis pariwisata agar lapangan kerja terbuka
kembali,” pungkasnya.
Intinya, Supardi menyampaikan situasi
pandemi Covid-19 serta lahirnya UU Cipta Kerja telah memperburuk kondisi
perburuhan. Masa depan buruh semakin terancam, akan banyak yang ter-PHK dan
status buruh kontrak justru lebih meningkat.
“Saya sadar, ditengah situasi sedih ini,
pemerintah jangan disalahkan 100 persen. Semua masyarakat harus evaluasi saja
dan tidak memperkeruh suasana,” pungkasnya.
Sebab, masih ada sekelompok masyarakat
menganggap virus Corona itu konspirasi dan tidak bahaya. Padahal lembaga
internasional Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui World Health
Organization (WHO) sudah menetapkan Indonesia negara zona penyebaran tertinggi
Covid-19. Dan sudah banyak korban terpapar, hingga merengut nyawa.
“Pemerintah sebaiknya lebih serius bekerja
menghentikan laju penyebaran Covid-19. Masyarakat harus disiplin mematuhi
protokol kesehatan. Kalau tidak dipatuhi, maka bisa berimbas pada jumlah korban
PHK yang semakin tinggi serta daya pendapatan ekonomi semakin anjlok,”
tutupnya. (A1)