RUU CIPTA KERJA – d/h RUU CIPTA LAPANGAN KERJA - DAN PENURUNAN HAK-HAK PEKERJA

RUU CIPTA KERJA – d/h RUU CIPTA LAPANGAN KERJA - DAN PENURUNAN HAK-HAK PEKERJA

Foto Dokumen ksbsi

RUU CIPTA KERJA – d/h RUU CIPTA LAPANGAN KERJA -DAN PENURUNAN HAK-HAK PEKERJA Disusun oleh KSBSI dan Indrasari Tjandraningsih

Baca juga:  KSBSI Menghadapi Sidang Ke-3 di Mahkamah Konstitusi,

 Disusun oleh KSBSI dan Indrasari Tjandraningsih

1.PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Omnibus law RUU Cipta Kerja sejak diketahui publik mengenai rumusannya melalui dokumen-dokumen yang beredar sejak akhir tahun 2019 dan sejak secara resmi diserahkan oleh presiden RI kepada DPR RI pada tanggal 12 Februari 2020, langsung mendapat kritik tajam dan penolakan terkait prosedur penyusunan RUU dan substansi RUUnya. Penolakan terbuka datang secara massif dari serikat pekerja, serikat tani, aktivis buruh, agraria dan lingkungan, aktivis dan koalisi masyarakat sipil serta akademisi dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi se Indonesia. 

Secara prosedur penyusunan RUU ini melanggar UU no 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan. Prosedurnya tidak transparan dan tidak terbuka sejak dari perencanaan dan penyusunannya.

Serikat pekerja adalah pihak yang paling keras menyuarakan penolakannya khususnya terhadap klaster ketenagakerjaan. Penolakan serikat pekerja terhadap klaster ketenagakerjaan didengungkan dan diperkuat oleh para akademisi dan aktivis masyarakat sipil serta mahasiswa. Secara substansi Inti penolakan terhadap klaster ketenagakerjaan adalah hilangnya perlindungan negara terhadap jaminan pekerjaan, jaminan penghasilan, jaminan sosial dan jaminan berserikat untuk seluruh pekerja. Secara prosedur inti penolakan adalah diabaikannya serikat pekerja sebagai institusi pemangku kepentingan utama ketenagakerjaan; pemerintah hanya melibatkan asosiasi pengusaha dalam proses penyusunan draf RUU Cipta Kerja.

Penolakan yang massif tersebut memaksa pemerintah mengubah nama RUU dari RUU Cipta Lapangan Kerja menjadi RUU Cipta Kerja karena nama awal RUU tersebut digaungkan dengan singkatan RUU CiLaKA yang amat popular di masyarakat luas, dan mulai mencoba  membuka saluran untuk mendengarkan suara serikat pekerja melalui undangan pertemuan yang dilakukan baik oleh kementerian koordinator perekonomian sebagai penanggungjawab utama dan pembuat naskah akademik dan draft RUU maupun kementerian Tenaga Kerja. Upaya itu gagal karena secara padu seluruh serikat pekerja yang diundang menolak untuk datang dan terlibat.

Meskipun dalam perkembangannya serikat pekerja tidak hanya menolak klaster ketenagakerjaan melainkan menolak keseluruhan RUU Cipta Kerja, laporan studi ini dibatasi hanya pada klaster ketenagakerjaan.    

TUJUAN

Studi ini dilakukan untuk 

1. menganalisis dampak RUU Cipta Kerja klaster Ketenagakerjaan terhadap hak pekerja dan aspek ekonomi pekerja 

2. menyusun rekomendasi  untuk serikat pekerja dalam melakukan advokasi regulasi perlindungan hak-hak pekerja

METODE STUDI

Laporan ini disusun berdasarkan data sekunder yang terdiri dari dokumen NA dan draft RUU Cipta Kerja, tulisan opini dan berita di media massa daring maupun luring, kertas kebijakan, kajian-kajian dan informasi dari diskusi dan seminar tentang RUU Cipta Kerja dan literatur referensi yang berkaitan. 

KERANGKA ANALISIS

Analisis dalam laporan ini menggunakan kerangka konseptual tentang perlindungan dan hak pekerja serta pasar kerja fleksibel (Labour Market Flexibility).

Dalam melakukan analisis mengenai RUU CIpta Kerja, landasan utama yang digunakan adalah hak untuk mendapatkan perlindungan pekerjaan dan penghidupan yang layak sebagaimana dijamin oleh undang-undang nasional dan konvensi internasional. Sejak konsep dan praktik pasar kerja fleksibel dikembangkan dan diterapkan, hak atas pekerjaan dan kehidupan yang layak menurun perlindungannya. RUU Cipta Kerja yang landasan dan nafas utamanya adalah efisiensi dan pengurangan biaya tenaga kerja melalui pelonggaran hak atas jaminan kepastian pekerjaan dan jaminan penghasilan yang adil lewat fleksibilisasi tenaga kerja, mengancam keterpenuhan hak-hak pekerja.

Secara sederhana kerangka analisis studi dapat dilihat di diagram berikut:  

DIAGRAM FLEKSIBILISASI TENAGA KERJA

2. PEMBABAKAN LAPORAN

Setelah bagian pendahuluan disajikan bagian-bagian berikut

-Konsep pasar kerja fleksibel 

-Substansi penolakan klaster ketenagakerjaan 

-Telaah dan analisis dokumen Naskah Akademik RUU Cipta Kerja dan   

 dokumen RUU klaster Ketenagakerjaan. 

-Kesimpulan

-Rekomendasi 

3.KERANGKA KONSEP

Naskah akademik RUU Cipta Kerja dalam bagian pembukaan menyatakan bahwa UU no 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ‘dirasakan sudah tidak sesuai dengan perkembangan kondisi dan kebutuhan pasar tenaga kerja yang ada’ dan oleh karena itu diperlukan perubahan regulasi besar-besaran. Tidak ada penjelasan dan argumentasi lebih lanjut untuk membuktikan apa yang dirasakan sudah tidak sesuai dari UU 13/2003.

Dalam kaitan dengan ketenagakerjaan, bagian kajian teoritis Naskah Akademik memuat bab tentang pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, teori hubungan industrial dan teori hubungan kerja.  Dalam sub bagian teori hubungan kerja fokus utama adalah pembahasan tentang hubungan kerja kontrak dan outsourcing. Hubungan kerja kontrak dan outsourcing ini yang sebenarnya menjadi nafas utama klaster ketenagakerjaan, amat tidak memadai pembahasan teoritisnya. 

Di dalam naskah akademik hanya disebutkan bahwa outsourcing sudah berkembang amat pesat dan merupakan praktik umum di berbagai negara dan dengan mengutip kajian akademis perguruan tinggi terhadap UU 13/2003 yang disusun pada tahun 2010, disampaikan 4 isu utama berkaitan dengan outsourcing: 1) pembatasan pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja/buruh, 2) penentuan pekerjaan yang termasuk kompetensi inti dan bukan inti, 3) perbedaan PKWT dan outsourcing pekerja dan 4) pengaturan hubungan kerja apakah antara buruh dengan perusahaan yang melakukan outsourcing atau antara buruh dengan penyedia jasa pekerja/penyalur tenaga kerja. Pembacaan terhadap klaster ketenagakerjaan dalam RUU memperlihatkan bahwa ke-4 isu outsourcing itulah yang dilonggarkan peraturannya dan difasilitasi penerapan fleksibilitas hubungan kerja dalam pasal mengenai outsourcing.

Laporan ini menggunakan teori pasar kerja fleksibel sebagai argumen dasar untuk melihat secara kritis arah, alasan dan tujuan keberadaan klaster ketenagakerjaan di dalam RUU Cipta Kerja.

Pasar kerja fleksibel adalah sebuah bangunan konsep yang dikembangkan menjadi rezim ketenagakerjaan yang mengutamakan kelenturan atau fleksibilitas pasar kerja. Konsep ini disusun untuk menggantikan konsep pasar kerja yang lama yang dianggap terlalu kaku  karena adanya regulasi perlindungan pekerja, perjanjian kerja bersama dan peraturan tentang pekerja tetap . Hal-hal tersebut dianggap menghambat keluwesan usaha untuk menyusun strategi menghadapi guncangan-guncangan ekonomi karena krisis, persaingan usaha yang semakin ketat dan pesatnya perkembangan teknologi. Pasar tenaga kerja yang lama oleh karena itu dianggap tidak efisien. 

Bagi pendukung konsep fleksibilitas pasar kerja diasumsikan bahwa pekerja dan pengusaha memiliki posisi tawar yang setara untuk menentukan terjadinya hubungan kerja. Di dalam sistem pasar kerja yang fleksibel, pemakai kerja atau pengusaha mendapat kemudahan untuk merekrut dan memberhentikan tenaga kerja sesuai dengan kebutuhannya.  Hambatan regulasi dan  campur  tangan  negara  untuk  merekrut  dan  melakukan  PHK  dikurangi  atau  bahkan ditiadakan.  Biaya  rekrutmen  dan  PHK  diperkecil.  Model  hubungan  kerja  berdasarkan  sistem kontrak dan outsourcing diterapkan dan diperluas cakupannya untuk memungkinkan fleksibilisasi tersebut. Jam  kerja  dan  besaran  upah  difleksibilisasikan  sesuai  dengan  siklus  bisnis  atau fluktuasi permintaan pasar akan barang atau jasa yang diproduksi. Fleksibilisasi seperti ini akan menciptakan efisiensi produksi dan maksimalisasi keuntungan modal. Pasar kerja yang kaku dianggap cenderung tertutup khususnya bagi penganggur dan kelompok pekerja ekonomi informal untuk masuk ke sektor formal. Hal ini karena pekerja­tetap selalu mempunyai kecenderungan untuk berusaha mempertahankan keamanan dan keuntungan kerja . Di tingkat produksi, kekakuan sistem pasar kerja (labour market rigidity) juga dianggap tidak memacu produktivitas kerja karena tingkat kompetisi di antara pekerja cenderung rendah akibat rasa aman dalam pekerjaannya). Pasar kerja yang kaku membuat biaya tenaga kerja menjadi tidak fleksibel karena jumlah dan jenis pekerja yang digunakan tidak dapat menyesuaikan fluktuasi tekanan persaingan dalam pasar komoditas . 

Dari sisi hubungan kerja, fleksibilitas pasar kerja  dapat  mengurangi  dominasi serikat buruh yang dianggap terlalu mempertahankan kepentingan aristokrasi pekerja tetap dengan mengorbankan kesempatan kerja bagi penganggur  (. Serikat buruh dengan kekuatan kolektifnya juga dianggap menghambat fleksibilitas modal dalam menghadapi naik turunnya atau fluktuasi tekanan pasar. Fleksibilitas biaya tenaga kerja dan  fleksibilitas  cara  produksi yang diperlukan oleh modal untuk melakukan efisiensi biaya produksi sering tidak dapat dengan mudah dilakukan karena mendapat tekanan serikat buruh. Untuk itu peran serikat buruh sebagai basis kekuatan kolektif mulai dikurangi atau setidaknya didorong ke arah  bentuk  yang lebih korporatis. 

Selain itu melalui bentuk hubungan kerja kontrak dan outsourcing, sistem kolektivisme dalam hubungan industrial mulai digeser ke arah individualisme. Individualisasi juga dilakukan terhadap sistem pengupahan dan penyelesaian perselisihan. Individualisasi hubungan­hubungan kerja tersebut dianggap sebagai kunci penting  untuk  mendorong produktivitas dan mengurangi kontrol kolektif serikat buruh terhadap kepentingan­kepentingan produksi dan ekspansi modal (Nugroho & Tjandraningsih 2004:6).

Selanjutnya fleksibilitas pasar kerja juga mempersyaratkan mundurnya peran negara dalam urusan hubungan bipartite antara pekerja dan pengusaha akan tetapi membutuhkan negara untuk menciptakan berbagai institusi yang menjamin bekerjanya pasar kerja fleksibel dengan optimal dan didorong untuk melegalkan sistem kontrak kerja seluas mungkin untuk menjamin keleluasaan gerak pekerja maupun  modal. Sejalan dengan prinisip pasar bebas, pengurangan campur tangan negara bukan hanya dilakukan terhadap pengaturan pasar kerja tapi juga pada sistem perlindungan sosial (ibid).

Prinsip kegiatan usaha yang serba fleksibel terutama yang menyangkut hubungan kerja dengan prinsip mudah merekrut dan mudah memecat sesuai dengan kebutuhan perusahaan dengan menerapkan hubungan kerja kontrak dan rekrutmen tenaga kerja outsourcing, membawa implikasi berkurangnya biaya produksi untuk komponen biaya tenaga kerja. Implikasi lanjutannya adalah hilangnya jaminan pekerjaan, jaminan kesejahteraan dan jaminan social tenaga kerja serta jaminan kebebasan berserikat.

Konsep dan syarat pasar kerja fleksibel tersebut menjadi kerangka utama menganalisis klaster ketenagakerjaan dan dampaknya terjadap hak dan kesejahteraan buruh. 

4. MENOLAK KLASTER KETENAGAKERJAAN

Klaster ketenagakerjaan ada di bab IV draft RUU Cipta Kerja yang terdiri dari 55 pasal yang memuat perubahan pengaturan penggunaan tenaga kerja asing, pekerja kontrak, outsourcing, jam kerja, pengupahan dan upah minimum, PHK, kecelakaan kerja (GSBI 2020. Aliansi Rakyat Bergerak 2020, Iqbal 2020, Anwar 2020, FH UGM 2020).

Memahami keberadaan klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja perlu diletakkan dalam dimensi sejarah.  Pasal-pasal pekerja kontrak dan outsourcing, pengupahan dan PHK adalah pasal-pasal yang sejak tahun 2006 diminta oleh pengusaha untuk dilonggarkan melalui revisi pasal-pasal UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Siaran pers YLBHI 4 April 2006 menyatakan: Inpres No 3/2006 mengamanatkan untuk membuat revisi hal-hal yang berkenaan dengan: (1) PHK, Pesangon dan Hak-Hak Pekerja; (2) Perjanjian Kerja Bersama; (3) Pengupahan; (4) Perjanjian Kerja Waktu Tertentu; (5) Outsourcing; (6) Izin Mempekerjakan TKA; dan (7) Istirahat Panjang.  Namun apabila mengacu pada Draft Revisi yang ada usulan revisi tidak hanya meliputi 7 hal di atas saja, melainkan meliputi pula hal-hal lain seperti antara lain, yaitu: kesejahteraan, Pemutusan Hubungan Kerja/PHK, Hak Mogok, Dana Pensiun 

Tahun 2011 LIPI diminta oleh pemerintah melakukan kajian UU Ketenagakerjaan khusus untuk pasal-pasal TKA, kontrak dan outsourcing, istirahat panjang, pengupahan, mogok kerja dan PHK . Rencana revisi berdasarkan kajian LIPI itu ditolak oleh DPR, pengusaha dan serikat pekerja.

Tahun 2019 rencana revisi kembali dilontarkan, dengan maksud untuk melonggarkan aturan-aturan mengenai pesangon,PHK, kontrak, outsourcing dan tenaga kerja asing ).

Lembaga Informasi Perburuhan Sedane (LIPS) menyusun secara rinci lintasan sejarah upaya merevisi UU Ketenagakerjaan dalam gambar di halaman berikut (http://majalahsedane.org/revisi-uuk-versi-2019/). 

Dari lintasan sejarah yang dibagi dalam tiga babak upaya merevisi UUK ini dalam kurun waktu 2006, 2010-2012, 2013-2019 pasal-pasal yang hendak direvisi tidak bergeser dari PHK, pesangon, kontrak dan outsourcing, cuti, pengupahan dan tenaga kerja asing. Persis pasal-paal itulah yang ada dalam klaster ketenagakerjaan dalam draft RUU Cipta Kerja.



Dimensi sejarah yang kedua berkaitan dengan rangkaian kebijakan dan regulasi untuk mengundang investasi asing dengan melonggarkan aturan-aturan yang dianggap menghambat investasi dan aturan ketenagakerjaan adalah faktor yang dimasukkan oleh pemerintah sebagai hambatan invetasi bersama persoalan birokrasi perizinan yang panjang dan koruptif.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo periode pertama berusaha mengundang investasi asing yang diyakini akan mendorong pertumbuhan ekonomi melalui 16 paket kebijakan dan salah satu paket kebijakan jilid IV mengatur soal kebijakan pengupahan yang adil, sederhana dan terproyeksi melalui penetapan upah minimum provinsi dengan sistem formula yang bertujuan untuk membuka lapangan kerja seluas-luasnya dan meningkatkan kesejahteraan pekerja  (Paket kebijakan ekonomi jilid IV ini kemudian diundangkan menjadi PP Pengupahan no 78 tahun 2015 yang menetapkan perhitungan kenaikan upah minimum menggunakan rumus dan menghilangkan mekanisme perundingan tripartite.

Pemerintah mengakui bahwa 16 paket kebijakan itu tidak optimal karena 

berbagai kendala yang menyangkut koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah dan tidak ada sinkronisasi peraturan-peraturan yang dibuat .

Dimensi sejarah yang ketiga berkaitan dengan omnibus law Cipta Lapangan Kerja. Bivitri Susanti, ahli hukum tata negara dalam sebuah acara televisi Satu Meja The Forum menyampaikan bahwa awalnya RUU ini berjudul RUU kemudahan berusaha tetapi tiba-tiba berubah nama jadi Cipta Lapangan Kerja. Tidak diketahui proses apa yang berjalan hingga terjadi perubahan nama tersebut.

Sejak draft RUU Cipta Lapangan Kerja beredar, penolakan serikat buruh dalam skala nasional terhadap klaster ketenagakerjaan amat kuat. Penolakan itu diwujudkan dalam berbagai aksi dan membuat argumentasi penolakan. Tidak hanya serikat buruh, serkat tani, akitivis lingkungan dan akademisi juga menolak RUU tersebut dengan argumentasi yang kuat. Penolakan itu menyangkut soal prosedur dan substansi. 

Inti penolakan terhadap substansi klaster ketenagakerjaan adalah dihilangkannya pembatasan fleksibilisasi tenaga kerja, pelonggaran upah minimum, pelonggaran prosedur dan syarat PHK dan pemberian pesangon dan pelonggaran syarat mempekerjakan tenaga kerja asing. Konfederasi dan aliansi serikat buruh melakukan telaah perbandingan klaster ketenaga kerjaan dan UU Ketenagakerjaan dan menyimpulkan bahwa klaster ketenagakerjaan dalam RUU menghilangkan kepastian kerja, meningkatkan kerentanan pekerja dalam hubungan kerja dan menurunkan kesejahteraan pekerja (Iqbal 2020, Anwar 2020, Fraksi Rakyat Indonesia 2020). Kesimpulan tersebut diperkuat oleh para akademisi dari universitas negeri dan swasta di seluruh Indonesia dan para pengamat ekonomi (YLBHI 2020, FH UGM 2020, Yudhistira 2020, Basri 2020).  

5. KLASTER KETENAGAKERJAAN dan PENURUNAN HAK dan KESEJAHTERAAN PEKERJA 

Pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan yang mengatur tentang penggunaan tenaga kerja asing (TKA), PKWT, outsourcing, waktu kerja, waktu istirahat dan cuti, pengupahan, PHK, sanksi pidana - jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan no 13 tahun 2003 - menunjukkan hal-hal sebagai berikut:

a. TKA – menghilangkan izin TKA untuk berbagai jenis pekerjaan, menghilangkan kualifikasi TKA, tidak harus melakukan alih teknologi dan pendamping pekerja local

b. PKWT – membebaskan semua jenis pekerjaan dengan status PKWT, status PKWT sepanjang masa kerja, mudah dilepas, menghilangkan konsekuensi hukum pelanggaran PKWT menjadi PKWTT. 

c. Outsourcing – membebaskan semua jenis pekerjaan untuk dikerjakan oleh pekerja outsourcing yaitu pekerja yang direkrut oleh pihak ketiga tanpa perjanjian tertulis, menghilangkan pemisahan pekerjaan inti dan pendukung semua  menghilangkan perlindungan dan syarat kerja bagi pekerja outsourcing yang setara dengan pekerja organik

d. Waktu kerja – dapat diperpanjang sesuai kebutuhan perusahaan

e. Waktu istirahat dan cuti – menghapus hak cuti panjang

f. Pengupahan – menghapus UMK dan ditetapkan di tingkat provinsi, kesepakatan bipartite menjadi dasar kewajiban membayar upah, upah berdasarkan satuan waktu dan satuan hasil, menghilangkan perundingan tripartit dalam penentuan kenaikan upah minimum, menetapkan UM padat karya yang dihitung berdasarkan formula tersendiri dan ditetapkan oleh Gubernur dan Gubernur akan dikenakan sanksi jika melanggar, menghapus larangan membayar upah di bawah UMK, menghapus kesepakatan untuk tidak membayar upah di bawah minimum, menghapus kewajiban pemerintah untuk menjamin penghasilan dan kebutuhan hidup layak, serta untuk perlindungan pengupahan 

g. PHK – mempermudah PHK oleh pengusaha, menghapus peran lembaga pengadilan hubungan industrial dalam proses PHK, mengurangi uang penghargaan dan menghilangkan uang penggantian hak, menghilangkan pemberian surat peringatan sebelum PHK, hilangnya hak pesangon pekerja jika PHK karena perusahaan tutup atau rugi atau bangkrut atau merjer, karena pekerja pensiun, karena cacat akibat kecelakaan kerja, karena mengundurkan diri, karena meninggal dunia

h. Sanksi pidana – menghilangkan sanksi pidana bagi perusahaan yang melanggar pasal-pasal yang menyangkut upah di bawah minimum, PHK, penempatan pekerja, penggunaan TKA

Secara keseluruhan pasal-pasal dalam klaster ketenagakerjaan tersebut menunjukkan wujud implementasi konsep fleksibilitas pasar kerja melalui 

1. Hubungan kerja kontrak dan outsourcing tanpa batasan dan bisa diterapkan untuk semua jenis pekerjaan

2. Fleksibilitas  jam kerja dan optimalisasi waktu kerja

3. Fleksibilitas upah 

4. Hilangnya peran dan perlindungan pemerintah terhadap pelanggaran hak pekerja dan sebagai penjamin kesempatan kerja yang layak

5. Berkurangnya peran serikat buruh dalam membela kepentingan pekerja 

Kelima hal di atas dengan jelas memperlihatkan adopsi konsepsi labour market flexibility dalam pasal-pasal RUU Cipta Kerja: memudahkan merekrut dan memecat (easy hiring and firing) melalui kontrak dan outsourcing, menekan biaya tenaga kerja melalui fleksibilitas jam kerja dan upah, menghilangkan peran perlindungan negara terhadap tenaga kerja dengan fleksibilisasi hubungan kerja dan upah yang semula dicantumkan dalam UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan menghilangnya peran serikat buruh sebagai imlipasi dari fleksibilisasi dan individualisasi hubungan kerja. 

Implementasi kelima aspek juga memperlihatkan bahwa konsep pasar kerja fleksible efektif meningkatkan kerentanan pekerja dengan hilangya instrument dan mekanisme perlindungan dari negara dan serikat buruh sekaligus. 

Berbagai penelitian dan pengalaman pekerja memperlihatkan bahwa fleksibilitas pasar kerja dan hubungan kerja menghilangkan kepastian kerja dan kepastian penghasilan, penurunan kesejahteraan dan berkurangnya perlindungan negara terhadap hak pekerja.

Penelitian mengenai praktek kerja kontrak dan outsourcing di sektor industry metal memperlihatkan bahwa untuk jenis pekerjaan dan jam kerja yang sama, rata-rata upah total pekerja kontrak 17% lebih rendah dari pekerja tetap dan rata-rata upah total pekerja outsourcing 26% lebih rendah dari pekerja tetap (Tjandraningsih dkk 2010). 

Penelitian lain memperlihatkan 50% pekerja formal dalam status PKWT berada dalam situasi yang rentan dengan kondisi kerja menyerupai pekerja informal. menerima tunjangan dan fasilitas lebih rendah daripada pekerja tetap, dan dari sisi stabilitas  dan jaminan kerja memiliki kerentanan yang samadengan pekerja informal (Herawati & Purwanto 2012). 

Berbagai fakta anekdotal yang dialami buruh di beberapa pusat industry memperlihatkan hubungan kerja yang semakin fleksibel dan diikuti dengan system pengupahan yang mengacu pada hubungan kerjanya. 

Praktek kerja kontrak di Bandung Raya memperlihatkan pekerjanya hanya mendapat upah pokok dan hari libur tidak dibayar  sementara di Tangerang, Banten pekerja kontrak dan outsourcing hanya mendapat upah minimum sebagian ada yang ditambah tunjangan kehadiran atau tunjangan produksi  sementara pekerja tetap mendapat upah plus uang premi hadir, upah sundulan/senioritas, tunjangan transport/makan, tunjangan jabatan, dan di Sukoharjo Jawa Tengah sudah diterapkan upah borongan. 

Di perusahaan garmen membuat dress dan underwear setiap orang buruh harus mengerjakan proses jahit dari awal sampai jadi  baju/celana, dan harga upah berbeda-beda. Untuk celana upahnya Rp.15,000-Rp.25,000 per potong. Dalam sehari bisa dihasilkan 3-4 potong untuk model yang tidak rumit. Itu artinya mendapat upah  Rp.60,000- Rp.70,000/hari atau sekitar Rp.1,200,000 sebulan dengan 20 hari kerja. Untuk produk yang lebih sulit biasanya hanya bisa menyelesaikan 1 atau 2 potong sehingga hanya mendapat Rp.30,000 – Rp.50,000 per hari. JIka tidak ada proses jahit, maka buruh jahit tidak mendapat upah .

Upah borongan yang diterapkan di perusahaan garmen di atas merupakan contoh yang amat jelas diadopsinya system upah yang biasa dilakukan di sektor informal/usaha kecil dan di sektor pertanian, pada usaha-usaha formal.Sebagai pembanding misalnya, buruh jahit jaket di usaha informal garmen di kampung Ciangir Tasikmalaya Jawa Barat mendapat upah Rp 5,000 per potong jaket dan memperoleh penghasilan Rp 50,000 perhari dari 10 jaket. Dalam sebulan, dia mampu menyelesaikan tiga ratus jaket dengan penghasilan Rp 1,6 juta 

Di Subang pekerja tetap dan kontrak upahnya tidak jauh beda semua mendapat upah pokok berdasarkan UMK, sedangkan pekerja outsourcing beda jauh karena UMK nya dipotong oleh pihak yayasan atau lembaga penyedia tenaga kerja 

Biaya upah diturunkan tidak saja melalui sistem pengupahan yang fleksibel, tetapi dalam klaster ketenagakerjaan juga dirancang hendak diturunkan melalui besaran upah minimum dengan mengikuti besaran upah minimum provinsi yang jumlahnya rata-rata hanya mencapai hingga 50?ri upah minimum kota/kabupaten. Sebagai ilustrasi dapat dilihat perbandingan upah minimum kota/kabupaten dan upah minimum provinsi tahun 2020 di tiga provinsi dan kota/kabupaten di Pulau Jawa  sebagai pusat terpenting kegiatan ekonomi dan industri nasional, dalam tabel berikut:

                                                                       Tabel 4. Perbandingan UMP dan UMK 2020 di Jawa

                                                                  Upah Minimum Provinsi (Rp)             Upah Minimum kota/Kabupaten (Rp)

Jawa Barat                                                                       1.810.350

Kab. Karawang                                                                                                      4.594.324

Kota Bogor                                                                                                            4.169.806

Jawa Tengah                                                                   1.742.015

Kab.Semarang                                                                                                      2.229.880

Kab.Kendal                                                                                                           2.261.775

Jawa Timur                                                                      1.768.777

Kota Sidoarjo                                                                                                        4.193.581

Kab.Pasuruan                                                                                                       4.190.133

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Kasus-kasus di atas dengan sangat gamblang memperlihatkan bahwa fleksibilisasi hubungan kerja dengan kontrak dan outsourcing memberi peluang bagi pengusaha untuk menekan biaya tenaga kerja dan akibatnya upah pekerja semakin rendah meskipun ada ketentuan upah minimum. Dampak ikutannya adalah turunnya tingkat kesejahteraan dan kemampuan ekonomi pekerja untuk membiayai diri dan keluarganya.

Penurunan pendapatan upah seperti digambarkan di atas pasti berdampak terhadap kesejahteraan karena daya beli buruh untuk kebutuhan hidup layak juga menurun. Kebutuhan hidup layak yang menjadi acuan penentuan kenaikan upah minimum mencakup jumlah dan harga beli kebutuhan makan-minum, pakaian, perumahan, pendidikan, kesehatan, transportasi dan tabungan. 

Penetapan nilai Kehidupan Hidup Layak atau KHL tahunan sebagai salah satu pertimbangan kenaikan upah minimum tahunan sejak 2015 resmi dihapus melalui PP 78 tahun 2015 tentang Pengupahan. PP ini menetapkan kenaikan KHL ditinjau setiap lima tahun dan kenaikan upah minimum ditentukan oleh inflasi dan pertumbuhan ekonomi. Selain itu, peninjauan KHL juga tidak lagi berdasarkan survei harga pasar oleh dewan pengupahan, tetapi berdasarkan data dan informasi dari lembaga yang berwenang di bidang statistik, yakni Badan Pusat Statistik (BPS) .

Sebagai ilustrasi KHL kabupaten  Bogor tahun 2020 di[erhitungkan sebesar Rp 2.250,000 . Seandainya upah minimum 2020 diubah menjadi upah minimum provinsi (UMP) maka besaran UMP Jawa Barat sebesar Rp.1,810,350 tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup layak buruh di kabupaten Bogor.

Ilustrasi di atas memperlihatkan dari aspek upah minimum daya beli upah buruh tidak mampu membiayai kebutuhan hidup layak dan hal itu menjadi indicator penurunan kesejahteraan buruh.

Meluasnya penggunaan tenaga kontrak dan outsourcing berdampak terhadap union density atau tingkat keanggotaan serikat buruh. Setidaknya ada dua penyebabnya. Pertama secara tidak langsung terjadi union busting dengan modus memberikan syarat kepada tenaga kontrak dan outsourcing untuk tidak bergabung dengan serikat pekerja jika ingin diterima bekerja atau jika ingin kontrak kerja diperpanjang (Tjandraningsih dkk 2010). Kedua, karena syarat tersebut maka minat berserikat rendah selain juga karena jumlah pekerja tetap semakin berkurang. Realita ini menunjukkan bahwa fleksibilitas pasar kerja berhasil mencapai tujuannya untuk menaklukkan serikat pekerja dalam rangka memudahkan pengambilan keputusan dan penentuan kebijakan perusahaan tanpa harus merundingkan dengan serikat pekerja.

Data jumlah anggota serikat pekerja selama 10 tahun terakhir memang menunjukkan penurunan jumlah yang amat drastis. Data Kemenaker menunjukkan jumlah serikat pekerja pada 2017 ada sekitar 7.000 serikat. Jumlah itu menurun dalam satu dekade, di mana pada 2007 silam Kemenaker mencatat serikat pekerja di seluruh Indonesia mencapai sekitar 14.000. Sementara jumlah anggota serikat pekerja/serikat buruh pada 2017 hanya sekitar 2,7 juta orang atau menurun dari 3,4 juta orang pada tahun 2007 . Jika dibandingkan dengan total jumlah pekerja di sektor formal di Indonesia sebesar 55 juta orang  dan maka keanggotaan serikat pekerja hanya 4,9%. Rendahnya keanggotaan serikat pekerja menunjukkan rendahnya representasi serikat pekerja untuk memperjuangkan kepentingan pekerja dan rendahnya pengaruh dalam proses-proses kebijakan ketenagakerjaan dan kebijakan publik lainnya. 

 6. KESIMPULAN & REKOMENDASI

Klaster ketenagakerjaan dalam RUU Cipta Kerja merupakan kemenangan   pengusaha yang sejak hampir 15 tahun yang lalu berusaha melakukan revisi pasal-pasal yang kini muncul dalam klaster ketenagakerjaan. Rangkaian kegagalan usaha merevisi beberapa pasal UUK karena penolakan dari serikat pekerja dan DPR, kini menemukan momentum keberhasilannya.

Dari lintasan sejarahnya usaha merevisi pasal-pasal dalam UUK 13 tahun 2003 sejak tahun 2006  hingga tahun 2019 terlihat konsistensi arah revisi yang bermaksud menekan biaya tenaga kerja melalui fleksibilisasi hubungan kerja dan mengurangi hak-hak pekerja. Arah ini memperlihatkan bahwa manajemen perusahaan di Indonesia masih atau hanya melihat sumber daya manusia sebagai salah satu faktor produksi dan menganggap pekerja adalah biaya yang harus terus diefisienkan.

Memasukkan klaster ketenagakerjaan dalam RUU CIpta Kerja yang tujuan awal dan sebagian besar isinya adalah penyederhanaan perizinan berusaha yang selama ini dianggap sebagai penghambat investasi, sama saja dengan bersetuju dengan pemerintah dan kalangan usaha yang melihat aturan-aturan hubungan kerja dan perlindungan tenaga kerja sebagai penghambat invetasi. Padahal berbagai survey kemudahan berusaha  menunjukkan bahwa hambatan investasi yang paling utama dalam menjalankan usaha di Indonesia adalah birokrasi perijinan yang korup dan lautan regulasi yang menjadi syarat perijinan berusaha yang menghabiskan dana dan masa yang bertentangan dengan prinsip dunia usaha: efisiensi. 

Klaster ketenagakerjaan juga memperlihatkan bagaimana negara mengundurkan diri dari peran dan kewajibannya melindungi warga negara pekerja dengan menyerahkan urusan-urusan hak dasar pekerja pada perundingan bipartit semata. Dalam hubungan industrial perundingan bipartite memang penting akan tetapi harus dilakukan dalam sebuah konteks peraturan/regulasi yang adil dan secara konsisten dijalankan. Tanpa konteks itu posisi pekerja pasti lemah. Tetapi di sisi lain negara tampil justru untuk menekan upah minimum dengan menetapkan upah minimum provinsi dan pemerintah pusat memaksa pemerintah daerah untuk penetapannya, dengan sanksi pelanggaran. Pemerintah juga menekan upah melalui peraturan upah per jam dan upah borongan.

Prinsip dan praktek fleksibilisasi pasar kerja dan hubungan kerja yang salah satu tujuannya adalah menghilangkan peran serikat pekerja, dilaksanakan secara sistematis, konsisten dan efektif melalui penggunaan pekerja kontrak. Prinsip kolektif serikat berhasil digerus melalui perjanjian kerja individual dan mekanisme perekrutan tenaga kerja secara outsourcing.

Untuk menghindarkan situasi terjun bebasnya kondisi kerja dan kesejahteraan pekerja, direkomendasikan kepada serikat pekerja hal-hal berikut:

1. Klaster ketenagakerjaan dikeluarkan dari RUU Cipta Kerja diganti dengan penyusunan RUU Perlindungan Pekerja. RUU Perlindungan Pekerja penting untuk menyeimbangkan peran negara di hadapan modal dan pekerja, terlebih ketika negara semakin terlihat keberpihakannya pada investasi sebagaimana tercermin dari keseluruhan pasal dalam RUU Cipta Kerja. Dalam kaitan ini maka perlu dibuat kajian dan telaah yang mendalam mengenai keberadaan dan legitimasi UU 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang sudah semakin tidak utuh secara substansi 

2. Mengajukan konsep perlindungan pekerja dalam fleksibilitas hubungan kerja – flexicurity. 

Karena fleksibilisasi pasar kerja tidak dapat dibendung, maka perlu diimbangi dengan konsep flexicurity untuk menyeimbangkan kemudahan berusaha dengan perlindungan pekerja. Flexicurity memadukan kemudahan usaha untuk merekrut dan melepas pekerja dan sekaligus menjamin penghasilan pekerja yang memadai dan menyediakan pilihan-pilihan pelatihan  jika pekerja kehilangan pekerjaan agar dapat mencari peluang kerja baru.

3. Merancang ulang strategi pengorganisasian dan manajemen serikat pekerja.

Fleksibilisasi pasar kerja telah mengubah tatanan hubungan kerja dan pengorganisasian kerja secara signifikan yang langsung berdampak terhadap eksistensi serikat pekerja. Perubahan tatanan ini memerlukan pemikiran ulang secara serius mengenai strategi pengorganisasian buruh untuk tetap menjaga dan meningkatkan relevansi eksistensi dan pengaruh organisasi buruh dalam memperjuangkan kepentingan pekerja. 

4. Mengadvokasi kesejahteraan pekerja sebagai penggerak dan pendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas nasional.

Perlu dilakukan advokasi dan kampanye kontra narasi yang efektif bahwa buruh bukanlah penghambat investasi melainkan merupakan penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Pekerja yang sejahtera akan meningkat produktivitasnya dan dengan demikian mendorong pertumbuhan ekonomi semakin tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak saja mampu menyediakan kesempatan kerja yang banyak tetapi juga layak. 

https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt5078c83ecf921/perubahan-isi-pasal-atau-isi-ayat-pada-uutk-no-13-thn-2003

https://economic-research.bnpparibas.com/Views/DisplayPublication.aspx?type=document&IdPdf=30102

                                                                                                              -AAA-

REFERENSI:

Aliansi Rakyat Bergerak, 2020, Gagalkan Omnibus Law: Masa Depan Kesejahteraan ada di Tangan Kita, 

Anwar, S, 2020. Sandingan draft RUU Cilaka Omnibus Law vs UU 13 tahun 2003 dan PP 78 tahun 2015 

Eyck, Van Kim, Flexibilizing Employment: An Overview, https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---ed_emp/---emp_ent/---ifp_seed/documents/publication/wcms_117689.pdf

FH UGM, 2020, Kertas Kebijakan: Catatan Kritis dan Rekomendasi terhadap RUU Cipta Kerja, Yogyakarta:FH UGM

GSBI, 2020, Alasan GSBI Menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Jakarta:Departemen Diklat Propaganda DPP GSBI

Herawati, R & Edy Purwanto, 2012, Hubungan Kerja PKWT dan Kontrak:DAmpaknya terhadap Upah dan Kondisi Kerja, paper tidak diterbitkan

Iqbal, S, 2020, RUU CIpta Kerja Klaster Ketenagakerjaan: Analisa Singkat Perbandingan dan Dampak bagi Pekerja – bahan presentasi 

Nugroho, H & Indrasari Tjandraningsih, 2007, “Negara dan Pasar Kerja Fleksibel”, Link URL: https://indoprogress.com/2007/09/negara-dan-pasarkerja-

World Bank, 1995, World Development Report 1995 : Workers in an Integrating World

Berita:

https://ylbhi.or.id/informasi/siaran-pers/sepatutnya-revisi-revisi-uu-ketenagakerjaan-kita-tolak/

https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4fa7ebcbed481/revisi-uu-ketenagakerjaan-penuh-polemik/

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4607578/soal-revisi-uu-ketenagakerjaan-menaker-perlu-perhatikan-hal-ini

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4731674/sederet-poin-revisi-uu-ketenagakerjaan-yang-bikin-buruh-was-was/3

http://majalahsedane.org/revisi-uuk-versi-2019/

http://ksp.go.id/paket-kebijakan-ekonomi-jilid-iv-tingkatkan-kesejahteraan-pekerja/

https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4926713/16-paket-kebijakan-ekonomi-jokowi-tidak-optimal-ini-penyebabnya

https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/pr-01302710/menengok-ciangir-kampung-penjahit-di-perbukitan-kota-tasikmalaya-432249?page=2


Komentar