KSBSI.ORG, Media KSBSI - Sidang judicial review UU nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja kembali berlanjut. Dalam persidangan Mahkamah Konstitusi (MK) hari ini, Tim Kuasa Hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) selaku pemohon perkara nomor 103/PUU-XVIII/2020 angkat bicara.
Baca juga: Ahli: UU Cipta Kerja Cacat Formil, KSBSI: Harus Dibatalkan!,
“Setelah kita melihat persidangan, terlihat
sekali ketidaksiapan baik dari DPR RI maupun pemerintah terkait dengan beberapa
dokumen yang sebenarnya harus disampaikan ke Majelis.” kata Parulian Sianturi
SH dari Tim Kuasa Hukum KSBSI usai sidang yang digelar KSBSI di Kantor Pusat,
Cipinang Muara, Jakarta (12/8/2021).
Dokumen-dokumen itu adalah dokumen pendukung
dari DPR RI dan Pemerintah yang dapat menjelaskan proses pada saat mengajukan,
membuat dan membentuk rancangan undang undang Cipta Kerja menjadi Undang Undang
Cipta Kerja yang diminta Majelis Hakim MK.
Tim Kuasa Hukum KSBSI menyimpulkan, dari
persidangan yang lalu, keterangan Ahli dari Pemohon perkara 91, 103 dan 105,
memberikan pendapat bahwa proses pembentukan UU Cipta Kerja tidak memenuhi
syarat.
"Pendapat mereka bahwa rancangan
undang-undang Cipta Kerja tidak memenuhi syarat sebagai undang undang, karena
dari sisi keterlibatan ada partisipan, kemudian ada rancangan naskah
akademiknya yang tidak sesuai dengan prosedur; Sesuai undang undang nomor 12
tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," terang
Parulian.
"Jadi
ada yang 'miss' disitu," tegasnya.
Parulian mengatakan, dari informasi yang ia
dapat, sedikitnya ada 78 sampai 80 undang undang yang dirubah atau diganti
dalam omnibus Law Cipta Kerja ini, berarti setidaknya ada 78 stake holder yang
harus dilibatkan.
"Saya pikir dalam proses pembuatan
rancangan undang undang cipta kerja menjadi undang-undang Cipta Kerja memang
itu tidak pernah melibatkan ahli atau partisipan dari sekitar minimal tadi 78
itu," kata dia.
Jadi yang diundang itu, urai Parulian, hanya
sebatas diskusi-diskusi, hanya sebatas mendengar, mengajukan secara formal, ada
absensi, ada daftar hadir dan ada undangan.
Dan yang lebih parah lagi, kata Parulian,
dalam sebuah kesepakatan yang sudah disepakati di rapat tripartit antara
Serikat buruh/Serikat pekerja dengan DPR dan Pemerintah dihilangkan.
"Nah artinya ada yang dihilangkan dari
sisi proses pembahasan-pembahasan itu. Jadi itu yang kita lihat. Ada
ketimpangan dari proses atau prosedur dari pembentukan undang undang (Cipta
Kerja) itu," tandasnya.
Lebih lanjut dipaparkan, dari keterangan Ahli
pemohon perkara nomor 107, nomor 4 dan nomor 6, ketiga Doktor itu tegas dan
lugas menyampaikan bahwa proses pembentukan RUU Cipta Kerja menjadi UU Cipta
Kerja itu sarat dengan ketidakpenuhan terhadap aturan perundang-undangan.
"Sarat ketidakpatuhan terhadap aturan
perundang-undangan, yaitu UU nomor 12 tahun 2011. Nah salah satunya adalah soal
naskah akademiknya. Kalau menurut undang undang itu (no 12/2011) sebenarnya di
awal itu sudah harus disampaikan. Dan itu terbuka!. Nah justru, ini kan
terungkap bahwa masyarakat itu tidak mendapatkan itu. Nah jadi ada yang
tersembunyi." kata Parulian.
Menurutnya ada sesuatu yang dipaksa.
"Jadi kalau memang ini harapan dari pemerintah, seharusnya jangan ada
sesuatu yang disembunyikan. karena ini kepentingan bangsa. Jangan main-main.
Saya lihat ada kepentingan-kepentingan." urainya.
"Berdasarkan pendapat para Ahli dari
pengalaman-pengalaman Ahli menyatakan bahwa rancangan undang undang Cipta Kerja
cacat formil. Itulah pertimbangan mereka, dari 6 pendapat Ahli dari persidangan
minggu lalu dan hari ini, menekankan bahwa rancangan undang undang cipta kerja
itu syarat dengan kepentingan dan tidak memenuhi syarat prosedur formal."
tandasnya.
Sementara itu Anggota Majelis Pertimbangan
Organisasi (MPO) KSBSI yang menjadi anggota Tim Kuasa Hukum KSBSI, Sani
Abdullah menekankan dari fakta persidangan, terlihat seolah-olah menang ada
yang ingin disembunyikan pemerintah dalam proses pembentukan RUU Cipta kerja
menjadi UU Cipta Kerja.
"Syarat-syarat pembuatan undang-undang
itu (Cipta Kerja) tidak terpenuhi. Itu saja kuncinya," kata dia.
Menurut Sani, proses pembuatan undang undang
itu, bakunya adalah Undang Undang dasar kemudian menuju ke UU no 12 tahun 2011.
Tetapi dalam proses pembentukan dan pembuatan RUU Cipta Kerja tidak ada naskah
akademik.
“Nah itu tidak dilakukan, tidak ada naskah
akademik.” kata Aktivis Senior KSBSI ini.
Dipaparkan, dalam persidangan, para Ahli itu
sempat menjabarkan dalam bahasa kiasan hukum Sholat bagi Muslim.
“Saya seorang Muslim, kalau saya hendak
sholat, jika ambil air wudhunya saja sudah tidak benar, maka sholatnya tidak
sah dan tidak mendapatkan pahala dan sebagainya,” kata Sani menguraikan kiasan
Ahli.
Sani menegaskan, bahasa kiasan Ahli itu sudah
mengena di hati Majelis. “Nah itu sudah klop itu. Bahasa kiasan itu sudah
mengena hati majelis. Kalau dari pandangan sementara, saya berpikiran
persentasenya lebih tinggi, UU Cipta Kerja ini akan dibatalkan,” tandas dia.
Jika pendapat para Ahli mengacu pada cacat
formil dan tidak memenuhi syarat formal dalam proses pembentukan rancangan UU
Cipta Kerja menjadi UU Cipta Kerja, maka sebaiknya UU ini dibatalkan.
“Kalau sudah cacat formil, undang undang Cipta
Kerja ya harus dibatalkan,” pungkasnya.
Sebelumnya, Harris Manalu SH, Ketua Tim Kuasa
Hukum KSBSI sekaligus mantan Hakim Adhoc pada Pengadilan Hubungan Industrial ini
menyoroti 14 hal besar dan penting yang dilontarkan Hakim Konstitusi Saldi Isra
di persidangan yang menguak Rahasia Dibalik Proses Pembentukan UU Cipta Kerja.
Opini hukum yang menarik dari Bang Harris
Manalu ini membuat KSBSI paham, jika berlaku keadilan yang hakiki, maka KSBSI
akan menang pada "gugatan" uji formil dan Materiil UU Cipta Kerja.
Simak selengkapnya:
Hakim Konstitusi Saldi Isra Luar Biasa Kritis
Membongkar Rahasia Dibalik Proses Pembentukan UU Cipta Kerja
Mahkamah Konstitusi telah melaksanakan sidang
lanjutan pemeriksaan terhadap 6 perkara atau permohonan uji formil
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada Kamis, 17 Juni 2021.
Perkara itu antara lain perkara Nomor 103/PUU-XVIII/2020 yang diajukan KSBSI.
Sidang ini mendengar keterangan DPR dan Presiden/Pemerintah. Keterangan
tertulis dan lisan DPR diwakili kuasanya Arteria Dahlan. Keterangan Presiden
dibacakan Menko Perekonomian Airlangga Hartarto mewakili kuasa Presiden 11
Menteri.
Setelah DPR dan Presiden/Pemerintah
menyampaikan keterangannya, beberapa Hakim Mahkamah Konstitusi seperti Saldi
Isra, Wahiduddin Adams, Suhartoyo, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic Pancastaki
Foekh, Arief Hidayat mengajukan pertanyaan kritis dan maha penting. Hakim itu
ingin membongkar segala rahasia dibalik proses pembentukan UU Cipta Kerja mulai
dari proses persiapan naskah akademik sampai dengan pasca pengesahan
persetujuan bersama Presiden dan DPR dalam sidang Paripurna DPR tanggal 5
Oktober 2020.
Hakim Mahkamah Konstitusi Prof. Dr. Saldi Isra
SH MPA, meminta kepada Presiden/Pemerintah dan DPR untuk memberi penjelasan
yang konkrit dan bukti sebanyak 14 hal besar dan penting.
Dia meminta, Pertama, supaya Pemerintah
menjelaskan dan membuktikan bahwa pembentukan UU Cipta melalui metode omnibus
law sesuai dengan hukum positif yang berlaku sekarang ini, yaitu UU No. 12/2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana yang telah diubah
dengan UU No. 15/2019.
Dia mengatakan, dalam naskah akademik yang
disampaikan kepada Mahkamah tidak ada penjelasan yang mengaitkan kesesuaian
metode omnibus law dengan Undang-Undang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Pertanyaan ini membuktikan bahwa, (pertama)
menurut Prof. Saldi Isra dan beberapa Hakim Mahkamah lainnya, metode omnibus
law tidak dapat diterapkan membentuk peraturan perundang-undangan, dalam hal
ini UU Cipta Kerja. Metode omnibus law dapat diterapkan jika DPR dan Pemerintah
terlebih dahulu mengubah atau mengamandemen hukum positip yang berlaku saat
ini, yaitu UU No. 12/2011 sebagaimana yang telah diubah dengan UU No. 15/2019.
Kedua, dia juga meminta supaya Pemerintah
menjelaskan dan membuktikan, selain Pemerintah, siapa saja stake holder yang
diundang Pemerintah dalam mempersiapkan naskah akademik RUU Cipta Kerja.
Dari pertanyaan ini dapatlah kita duga bahwa
dari bukti-bukti yang telah diajukan Pemerintah kepada Mahkamah, tidak ada
bukti bahwa Pemerintah melibatkan akademisi hukum melakukan kajian akademik
terhadap naskah akademik RUU Cipta Kerja.
Ketiga, diminta juga supaya Pemerintah
menjelaskan dan membuktikan dimana dalam naskah akademik yang menjelaskan
berapa banyak pendelegasian kepada peraturan yang lebih rendah. Menurut dia, jangan-jangan UU ini sederhana,
tapi pendelegasiannya atau peraturan turunannya, seperti Peraturan Pemerintah
menjadi tidak sederhana.
Pertanyaan dan permintaan ini sangat berat
bagi Pemerintah untuk menjelaskan dan
membuktikannya. Kita yakin, Prof. Saldi Isra telah membaca secara cermat
naskah akademik RUU Cipta Kerja, tapi dia tidak menemukan adanya penjelasan
tentang berapa peraturan perundangan-undangan, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden dalam naskah akademik. Logika hukum Saldi Isra pastilah
berkesimpulan UU Cipta Kerja ini tidak terbukti menyederhanakan regulasi tapi
justru menjadi rumit.
Banyak dilansir media online, Pemerintah harus
membentuk Peraturan Pemerintah sekitar 493, Peraturan Presiden sekitar 19, dan
beberapa Perda sebagai turunan UU Cipta Kerja.
Keempat, Prof. Saldi Isra juga meminta
penjelasan yang elaboratif terkait adanya 5 versi naskah RUU Cipta Kerja. Dia
menyatakan ada naskah versi 905 halaman yang disetujui dalam Sidang Paripurna
tanggal 5 Oktober 2020, ada naskah versi 1.028 halaman yang diunggah di laman
DPR, ada naskah versi 1.035 halaman tanggal 12 Oktober 2020 siang, ada naskah
versi 812 halaman tanggal 12 Oktober 2020 malam, ada naskah versi 1.187 halaman
tanggal 21 Oktober 2020.
Pertanyaan ini sangat kritis dan kontekstual.
Mengapa terjadi perubahan halaman sampai 5 kali? Perubahan jumlah halaman pun
sangat tidak masuk akal.
Tanggal 12 Oktober 2020 malam masih berjumlah
812 halaman. Lalu 9 hari kemudian tanggal 21 Oktober 2020 menjadi 1.187
halaman. Terjadi penambahan 375 halaman. Karenanya, apapun argumentasi
Pemerintah dan DPR tidak masuk akal 375 halaman itu hanya perubahan teknis atau
perubahan font atau spasi tulisan.
Kuat dugaan selama 9 hari inilah dilakukan
penambahan pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja. Penambahan itu seperti Pasal 13,
Pasal 14, Pasal 37 Bagian Kedua Bab IV UU Cipta Kerja dan Pasal 1, Pasal 51,
Pasal 53, Pasal 57, Pasal 89A Bagian Kelima Bab IV UU Cipta Kerja. Padahal 8
pasal tersebut tidak ada dalam naskah akademik dan naskah RUU Cipta Kerja dan
tidak pernah dibahas Tim Tripartit tanggal 10-23 Juli 2020. Inilah barangkali
yang disebut pasal siluman?
Kelima, kepada DPR Prof. Saldi Isra meminta
penjelasan dan bukti, bagaimana DPR mempersiapkan Daftar Inventarisasi Masalah
dalam kurun waktu singkat terhadap sekitar 79 atau lebih undang-undang yang di
omnibus law. Keenam, bagaimana cara klasterisasi persiapan Daftar Inventarisasi
Masalah itu dilakukan oleh DPR?
Belum lagi membuat, membahas dan
memperdebatkan DIM (Daftar Inventaris Masalah) sebanyak 6.752 sebagaimana
diunggah di laman DPR. Bahkan dilansir Kompas.com, 6/10/2020, sebanyak 7,197
DIM. Namun DPR dan Presiden/Pemerintah telah melakukan persetujuan bersama
tanggal 5 Oktober 2020 dalam Sidang Paripurna DPR. Padahal selama ini
pembahasan RUU selalu memakan waktu bertahun-tahun.
Prof. Saldi Isra juga mengajukan pertanyaan
dan meminta bukti kepada DPR terkait dengan peran DPD membahas RUU Cipta Kerja.
Ketujuh, bagaimana DPR melibatkan DPD membahas
UU ini. Karena diantara 79 UU yang di-omnibuslaw-kan ada sebagian yang menjadi
kewenangan DPD. Kedelapan, buktikan penyampaian draf dari DPR ke DPD. Kesembilan,
sampaikan bukti penyampaian pengantar musyawarah dari DPD kepada DPR yang
diterima DPR.
Kesepuluh, sampaikan bukti daftar
inventarisasi masalah terkait dengan UU Ciptaker yang dibuat oleh DPD untuk
dijadikan bagian yang akan dibahas ketika pembahasan bersama di DPR. Kesebelas,
buktikan adanya penyampaian pendapat mini DPD sebelum dilakukan persetujuan
bersama.
Keduabelas, buktikan risalah kehadiran DPD
ikut dalam pembahasan UU yang menjadi kewenangan DPD.
Pertanyaan Ketujuh s/d Keduabelas ini kita tunggu
penjelasan DPD yang akan dipanggil Mahkamah menyampaikan keterangan. Namun
dapat dipastikan DPR takkan mampu menyajikan bukti-bukti yang diminta.
Ketigabelas, Prof. Saldi Isra juga menyatakan,
bertanya dan meminta bukti kepada DPR bahwa menjelang tahap persetujuan ada
fraksi yang WO (Walk Out). Di peraturan tatib DPR mengatur, kalau masih ada
yang tidak sependapat, dilakukan
musyawarah. Kalau musyawarah tidak tercapai, pimpinan DPR bisa menentukan
bagaimana orang yang tidak setuju itu. Nah, berikan gambaran apakah musyawarah
dengan yang tidak sepakat itu dilakukan? Dan apa hasilnya?
Untuk terangnya pertanyaan Ketigabelas ini
Mahkamah haruslah memangil pihak yang
WO, yaitu Fraksi Demokrat dan Fraksi PKS untuk didengar keterangannya.
Berikutnya Keempatbelas, Prof. Saldi Isra
menyatakan, bertanya dan meminta bukti kepada DPR bahwa ada pengakuan Sekjen
DPR bahwa ada beberapa koreksi yang dilakukan setelah persetujuan bersama
terhadap draf yang dipersetujui bersama yang ketika itu dihadiri oleh Wakil Pemerintah
Menko Perekonomian. Beri bukti, apa draf yang sudah disetujui bersama itu dan
perubahan-perubahan teknis apa saja yang dilakukan? Apakah teknis atau
substansi.
Pertanyaan Keempatbelas ini sangat terkait
dengan pertanyaan Keempat kepada Pemerintah. Kuat dugaan bahwa yang dikoreksi
adalah terkait substansi, bukan sekadar teknis. Hal itu dapat disimpulkan dari
fakta jumlah halaman naskah RUU Cipta Kerja berubah-ubah sampai 5 versi. Ada
905 halaman, ada 1.028 halaman, ada 1.035 halaman, ada 812 halaman, ada 1.187 halaman.
Bahkan jumlah naskah terakhir bertambah
sebanyak 375 halaman. Sehingga kuat dugaan perubahan itu bukan sekadar
perubahan teknis semata, bukan perubahan ukuran kertas, dan bukan perubahan
ukuran font, melainkan perubahan substansi dengan memasukkan pasal-pasal yang
tidak ada dalam naskah akademik, RUU Cipta Kerja, dan tidak pernah dibahas baik
oleh Tim Tripartit, internal Pemerintah, internal DPR maupun Pemerindan bersama
DPR.
“Lex rejicit superflua, pugnantia, incongrua –
Hukum menolak hal yang bertentangan dan tidak layak”. [REDKBB]