Kuasa KSBSI: Keterangan Ahli Presiden Tidak Mendukung Dalil-Dalil Pemerintah

Kuasa KSBSI: Keterangan Ahli Presiden Tidak Mendukung Dalil-Dalil Pemerintah

Hakim Kontitusi Wahidudin Adams saat mengambil sumpah 3 Ahli Kuasa Presiden Jokowi. (Foto: Capture Sidang MK).

“Kan nggak mungkin pembentukan undang undang itu berdasarkan sebuah tradisi, kan ada undang undang, yaitu UU 12 tahun 2011. Itu akhirnya disadarilah.. Oohh ternyata mereka lalai disitu. Artinya tidak memenuhi syarat legalitas itu,”

Baca juga:  Pemerintah Mulai Pikirkan Solusi Problem Kurir E-commerce,

KSBSI.org, JAKARTA – Harris Manalu SH, Kuasa Hukum Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menanggapi kritis keterangan Ahli Kuasa Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam sidang lanjutan judicial review UU nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Kuasa Pemerintah selaku pihak Termohon menghadirkan 3 ahli untuk masing-masing perkara judicial review Omnibus Law UU Cipta Kerja.

Ahli Untuk perkara nomor 91, kuasa Presiden menghadirkan Dr. Satya Arinanto SH MH, Guru Besar dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Ahli untuk perkara nomor 105 kuasa Presiden Jokowi menghadirkan Maruarar Siahaan eks Hakim Mahkamah Konstitusi.

Kemudian Ahli untuk perkara nomor 107 dihadirkan Dr. Lita Tyesta ALW SH M.Hum, Dosen Ahli Hukum Tata Negara – Fakultas Hukum UNDIP.

“Saya berpendapat, keterangan tiga ahli yang dihadirkan pemerintah itu, samar-samar menyampaikan pendapatnya. Tidak konkrit. Seolah-olah ada ganjalan di hati mereka mau mengungkapkan ‘a’ tapi di-desain menjadi abu-abu, begitu,” kata Harris Manalu saat dikonfirmasi Kantor Berita Buruh di Kantor Pusat LBH KSBSI usai sidang, Kamis (2/9/2021).

“Saya agak bingung ini, kenapa mereka (Ahli) tidak konkrit menjawab.. misalnya, apakah RUU dan naskah akademik itu wajib dalam pembuatan sebuah undang-undang? Dijawab.. wajib tapi semua berpulang pada Mahkamah Konstitusi. Wah.. mana yang terbaik,” kata Harris. Menurutnya pendapat Ahli mengambang.

“Saya melihat, bukan dari hati nurani mereka untuk sesungguhnya menjadi ahli ini. Karena memang bertolak belakang dengan Ilmu Hukum Tata Negara yang pernah mereka pelajari. Karena dari keterangan dari enam ahli (Pemohon) pada Minggu lalu, menyatakan ini memang cacat formil. Tidak ada misalnya kesesuaian antara omnibus Law ini dengan UU nomor 12/11 (UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan) yang merupakan turunan dari pasal 22a UUD 45,” terangnya.

“Jadi sesungguhnya.. menurut Kami apa yang disampaikan Ahli tadi tidaklah mendukung dalil-dalil atau keterangan yang disampaikan oleh pemerintah,” tandas Eks Hakim Adhoc pada Pengadilan Hubungan Industrial ini.

Saat ditanya, apakah ada bantahan dari Ahli bahwa pembentukan RUU Omnibus Law tidak sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 12 Tahun 2011?

Harris menjawab, tidak ada keterangan ahli yang membantah soal itu. “Tidak ada dikatakan ahli seperti itu. Tapi justru Ahli Satya menyatakan.. ini kebiasaan. Jadi dasar landasan teoritisnya, menurut dia adalah kebiasaan, karena yang dibahas dia mulai dari penjajahan Belanda, dari kolonial Belanda itu.” tandasnya.

“Itulah yang ditanggapi oleh Hakim Wahidudin Adams tadi (waktu persidangan).” beber Harris.

“Apa dia (Wahidudin Adams) bilang? Kita kan harus membiasakan yang benar..Jangan membenarkan yang biasa,” tandasnya, mengungkap tanggapan Hakim Wahidudin Adams.

Apakah artinya, kesaksian ahli Termohon tadi tidak bisa membantah kesaksian ahli yang sebelumnya dihadirkan Pemohon?

“Nggak bisa membantah. Kalau dipertemukan semua keterangan-keterangan itu, tidak ketemu. Karena memang yang dijelaskan ahli tadi tidak menjelaskan secara konkrit apakah omnibus law ini diatur sesuai dengan UU 12/11? Itu tidak terjawab dengan konkrit. Semua berdasarkan kebiasaan. Itu yang kutangkap.” tandas Harris.

Parulian Sianturi SH, salah satu anggota Tim Kuasa KSBSI, menambahkan, ada yang menarik dari pesidangan tadi, ternyata di UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan ada celah yang mendelegasikan sebenarnya dasar hukum yang menjadi pembentukan metode Omnibus Law ini, yaitu dengan Perpres (Peraturan Presiden).

“Ternyata (perpres dimaksud) tidak dikeluarkan oleh pemerintah. Sebenarnya untuk mengantisipasi (gugatan) terkait dengan metode omnibus law ini salah satunya, yaitu perpres. Nah itu tanggapan dari Hakim, kenapa itu nggak dilakukan dulu.. baru kita tidak mempersoalkan dengan sistem omnibus law ini. Itu yang tadi akhirnya terungkap,” terang Parulian.

Itulah, kata Parulian, mereka (ahli Kuasa Presiden) mengatakan, yaa karena sudah disepakatin antara Pemerintah dan DPR, Ahli pikir itu sudah diperhitungkanlah bahwa ini UU omnibus law ini adalah merupakan salah satu cara untuk bisa merubah atau menambah beberapa ketentuan yang (diklaim) tumpang tindih.

“Tapi sebenarnya dasar hukumnya yang tidak jelas, itu yang kita gugat itu,” tandas Parulian.

“Apa dasar hukumnya? Ternyata di UU 12/11 itu ada celahnya, dan itu pemerintah tidak lakukan. Nah itu artinya lemah. Kenapa itu tidak dilakukan? Kita kan tidak akan berdebat seperti ini. Karena sekarang ini kan persoalannya pembentukan undang undang itu harus ada realitasnya,” terang Parulian mengutip pernyataan Hakim.

“Kan nggak mungkin pembentukan undang undang itu berdasarkan sebuah tradisi, kan ada undang undang, yaitu UU 12/11. Itu akhirnya disadarilah.. Oohh ternyata mereka lalai disitu. Artinya tidak memenuhi syarat legalitas itu,” tandas Parulian yang disepakati Harris Manalu dan Anggota Tim Kuasa KSBSI lainnya.

Apakah dalam hal ini dapat diartikan bahwa gugatan permohonan uji formil para pemohon dapat dikabulkan Majelis Hakim?

“Dikabulkan…? Iya,” tegas Harris Manalu yang disepakati para Anggota Tim Kuasa KSBSI pada gugatan Uji Formil dan Materill UU Cipta Kerja ini.

“Jadi memang ada kelalaian, Staf-staf ahli pemerintah kenapa tidak diterbitkan dulu perpres itu. Ini belum diterbitkan perpres seperti yang disampaikan Hakim tadi, sudah dibahas (Omnibus Law UU Cipta Kerja) sehingga cacat (formil),” demikian pendapat Tim Kuasa KSBSI. [REDKBB]

Komentar