Perusahaan Diwajibkan Lapor Kesejahteraan Buruh, Hory: Faktanya Kesejahteraan Hampir Punah!

Perusahaan Diwajibkan Lapor Kesejahteraan Buruh, Hory: Faktanya Kesejahteraan Hampir Punah!

M Hory, Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Korwil KSBSI)

Namun sayangnya, implementasi perda ini masih tergolong lemah. Penegakan hukumnya masih terseok-terseok dengan berbagai persoalan seperti kurangnya petugas sampai latar belakang petugas yang bisa dianggap salah alamat.

Baca juga:  Konvensi ILO 190 Dan Sebab Mangkraknya Kekerasan Pelecehan Seksual Di Tempat Kerja,

KSBSI.org,  JAKARTA – M Hory, Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (Korwil KSBSI) Provinsi DKI Jakarta menyoroti perda DKI nomor 6 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan yang mengupas bagaimana kewajiban perusahaan untuk mensejahteraan buruhnya.

Namun saat ini, banyak perusahaan yang justru tidak memperhatikan kesejahteraan buruh. Ia menegaskan, kesejahteraan buruh dan keluarganya sudah hampir punah. Yang susah makin susah dan yang kaya, meskipun terlihat senang, juga semakin susah.

“Karena apa? Karena dampak covid. Jadi covid ini selalu dijadikan alasan untuk mencari kesalahan, mencari persoalan dan mencari kelemahan. Pada akhirnya buruh tidak diberikan fasilitas kesejahteraan.” kata Hory kepada puluhan buruh saat reses August Hamonangan, anggota DPRD DKI Jakarta di Cakung, Jakarta Timur, Selasa kemarin (7/9/2021).

Menurut dia, di perda nomor 6 tahun 2004 tentang Ketenagakerjaan sudah diatur Kewajiban Perusahaan Menyediakan dan Melaporkan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja atau Buruh.

“Ternyata banyak perusahaan yang tidak mau peduli tentang kesejahteraan pekerjanya. Apalagi kalau diatur di perdana ini kan, dia (perusahaan) punya kewajiban melaporkan, wajib hukumnya, harus dilaksanakan.” imbuhnya.

Namun faktanya, ini yang disayangkan, perusahaan tidak pernah melaporkan kesejahtaraan pekerjanya kepada pemerintah, khususnya di DKI Jakarta.

Ia pun meminta kepada August Hamonangan untuk dapat mengkroscek apakah ada laporan dari perusahaan ke pemerintah tentang fasilitas untuk kesejahteraan buruhnya sebagaimana perintah perda nomor 6 tahun 2004?

Hory yakin, laporan itu tidak ada. “Padahal, pada Pasal 100 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga sudah disebutkan, Untuk meningkatkan kesejahteraan bagi pekerja atau buruh dan keluarganya, pengusaha wajib menyediakan fasilitas kesejahteraan.” kata Hory.


“Kewajiban penyediaan fasilitas juga sudah diatur dalam Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 4 Tahun 2018 tentang Penyediaan Fasilitas Kesejahteraan Pekerja/Buruh di Perusahaan.” tambahnya.

Kasus Hubungan Industrial Berjalan Tahunan

Menurut Hory, instruksi ini jelas, pengusaha wajib memberikan fasilitas dan kesejahteraan untuk buruh. Bukan hanya di tempat kerja, tetapi di luar tempat kerja pun, kesejahteraan harus didapatkan.

“Sebab kesejahteraan bukan hanya untuk pekerja dan buruh saja, tapi juga wajib didapatkan keluarganya.” kata Hory.

Bukan tanpa alasan jika Ia menyatakan bahwa kesejahteraan buruh sudah hampir punah. Sebab sebagai Korwil KSBSI DKI Jakarta, ia punya catatan beberapa kasus buruh yang di PHK sepihak tanpa pesangon, gaji yang tertunggak, buruh dirumahkan dengan gaji 10 persen, perusahaan yang justru melanggar peraturan perundang-undangan, perusahaan yang berkali-kali melanggar perjanjian kerja bersama, dan perusahaan yang merubah sistem kerja atau pengalihan dari pekerja tetap ke pekerja kontrak.

Kasus demi kasus bukan berjalan satu atau dua bulan, kata Hory, sejumlah kasus itu sudah berjalan tahunan.

Pertama yang dikupas Hory adalah nasib 170 buruh PT Dian Rakyat di Kawasan Industri Pulogadung yang hingga kini masih berjuang menuntut gaji dan pesangon. Buruh Dian Rakyat adalah buruh yang tergabung di FSB Nikeuba afiliasi dari KSBSI yang juga menjadi tanggung jawab Hory.

170 buruh ini sudah menang di pengadilan Hubungan Industrial, berkekuatan hukum tetap, nyatanya sudah 4 tahun 6 bulan berjuang mendirikan tenda di depan perusahaan namun si Pengusaha tetap keukeh tak patuh terhadap UU Ketenagakerjaan dan perintah pengadilan.

Kedua adalah nasib sekitar 300 buruh anggota Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Restoran Hotel dan Tembakau (FSB KAMIPARHO) Pengurus Komisariat (PK) PT Duta Megah Matra Keramik afiliasi dari KSBSI.

Ratusan buruh PT Duta Megah Matra Keramik dirumahkan sejak April 2020 dan tidak menerima gaji hingga saat ini. Perusahaan menghentikan operasinya dan nasib buruh menjadi terkatung-katung tanpa kejelasan apakah status mereka hanya dirumahkan atau sudah di PHK.

Kemudian nasib sekitar 100 buruh PT Kemang Food Industries juga dari serikat buruh Kamiparho yang dirumahkan dengan gaji hanya 10 persen. Perusahaan pun disebut-sebut sudah beberapa kali melanggar perjanjian kerja bersama yang sudah disepakati dengan buruh, namun nasib buruh kian susah. Dugaan union busting juga terindikasi di perusahaan ini.

Lemahnya implementasi

Selain melaporkan kesejahteraan pekerja dan buruhnya, dalam perda DKI nomor 6 tahun 2004 juga mengatur dalam Pasal 48 disebutkan, (1) Setiap Perusahaan wajib menyelenggarakan atau menyediakan fasilitas kesejahteraan pekerja/buruh; (2) Untuk menyelenggarakan fasilitas kesejahteraan pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perusahaan wajib menyediakan sebagai berikut: pelayanan keluarga berencana; tempat penitipan bayi; perumahan pekerja/buruh; fasilitas beribadah; fasilitas olah raga; fasilitas kantin; fasilitas kesehatan; fasilitas rekreasi; fasilitas istirahat; koperasi dan angkutan.

Namun sayangnya, implementasi perda ini masih tergolong lemah. Penegakan hukumnya masih terseok-terseok dengan berbagai persoalan seperti kurangnya petugas sampai latar belakang petugas yang bisa dianggap salah alamat.

Menurut Hory, yang dibutuhkan buruh adalah implementasi dan realisasi dari perda ketenagakerjaan ini. Namun lagi-lagi masih terbentur dengan kurangnya petugas Pengawasan Ketenagakerjaan.

“Kadang-kadang persoalan normatif (hak-hak pekerja) selalu kita laporkan ke Dinas Tenaga Kerja. (tapi) kadang-kadang (petugas) pengawasan ini suka bingung, karena saking banyaknya persoalan dan kurangnya SDM di Pengawas Ketenagakerjaan, ini juga menjadi kendala bagi buruh ketika ada persoalan. Pada akhirnya kurang efektif,” terangnya.

Selain kurangnya SDM, Pengawas Ketenagakerjaan juga kerap tidak tepat menunjuk petugasnya. Ia pernah menemukan, salah satu petugas Pengawasan Ketenagakerjaan malah punya latar belakang pendidikan sebagai Ahli Media Gizi.

“Disuruh menangani penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Nah kita kan bingung ini, ketika kita tanya, dia nggak ngerti. Ketika kita tanyakan backgroundnya (latar belakang pendidikan), Ahli Media Gizi.” tandas Hory. [REDHuge/KBB]

Komentar