KSBSI.org, Perjuangan pengemudi taksi/online atau dikenal ojol di Negara Belanda akhirnya mendapat kabar gembira. Pasalnya, baru-baru ini Pengadilan Amsterdam memutuskan pengemudi ojol Uber menjadi bagian pekerja. Profesi mereka sama dengan profesi taksi konvensional, sesuai dengan undang-undang ketenagakerjaan yang berlaku serta mendapatkan perlindungan dan hak jaminan sosial.
Baca juga: Elly Rosita: Pemimpin Tidak Akan Berhasil Jika Dia Single Fighter,
Pihak pengadilan juga menjelaskan bahwa hubungan kerja
antara Uber dan pengemudinya harus sejalan dengan segala karakteristik kontrak
kerja. Kabar ini pun disambut gembira oleh Federasi Serikat Buruh Belanda
(FNV). Mereka mengatakan, bahwa keputusan tersebut merupakan sejarah baru bagi
pengemudi Uber.
"Putusan pengadilan telah membuktikan apa yang
perjuangkan selama bertahun-tahun. Bahwa pihak Uber adalah pemberi kerja dan
pengemudi sebagai pekerja. Kami meminta agar Uber mematuhi keputusan yang
berlaku,” ucap Zakaria Boufangacha Wakil
Ketua FNV.
Terkait keputusan itu, Maurits Schoenfeld Manajer Umum
Uber bagian Eropa Utara menyatakan kecewa dengan keputusan itu dan akan
melakukan banding. Dia mengatakan Uber memiliki sekitar 4.000 pengemudi di
Amsterdam. Dan menilai putusan ini hantaman bagi terhadap ekonomi gig.
"Kami menyatakan kecewa dengan keputusan
Pengadilan Amsterdam. Karena pada umumnya pengemudi Uber menginginkan
independen dan bebas menentukan waktunya bekerja," ucapnya.
Nah bagaimana dengan pengemudi ojol, khususnya di kota
besar seperti Kota Jakarta, Bandung dan daerah lainnya? Sampai hari ini, nasib
mereka masih status mitra kerja oleh pihak perusahaan pengelola jasa transport.
Bahkan, jaminan sosial seperti BPJS Ketenagakerjaan dan Kesehatan pun tidak
ditanggung. Termasuk sangat rentan kehilangan status putus mitra kerja.
Sebelumnya Rekson Silaban Majelis Pembina Organisasi
(MPO) Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) dalam acara workshop mengatakan bahwa ojol salah satu
jenis pekerjaan baru yang hadir dari
teknologi digital di era industri 4.0. Status mereka masih sebatas mitra
kerja, tak ada jaminan perlindungan kerja dalam undang-undang ketenagakerjaan.
“Sehingga pekerja ojol ini tidak mendapatkan upah
seperti layaknya seperti pekerja formal dan jaminan sosial,” terangnya.
Dia memaparkan, kalau melihat dibeberapa negara, ojol sudah telah
mendapatkan jaminan perlindungan dan undang-undang ketenagakerjaan dari
pemerintahnya. Tapi pemberian ini prosesnya sangat panjang mereka dapatkan dan
tidak gampang seperti membalikan telapak tangan.
“Tapi serikat buruhnya dahulu yang melakukan
inisiatif,” ungkapnya.
Rekson menjelaskan, kalau Indonesia membuat
undang-undang mungkin jalannya sangat panjang. Dimana harus ada keterlibatan
partisipasi publik mendorong pemerintah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU)
untuk pekerja digital.
“Kemudian harus disetujui dulu dalam agenda Program
Legislasi Nasional (Prolegnas) lalu dibahas di DPR. Menurut saya membuat
undang-undangnya menghabiskan banyak waktu, sementara jumlah korban pekerja
digital ini banyak dan harus cepat dibantu,” terangnya.
Jadi ada 3 cara memberikan perlindungan pekerja
digital. Pertama harus ada campur tangan pemerintah. Kedua serikat buruh harus
melakukan gugatan di Pengadilan Negeri sampai ke Konstitusi (MK). Sehingga nanti lahir acuan semua perkara bagi
pekerja digital. Ketiga harus ada dilakukan agenda sosial dialog antara serikat
buruh dengan perusahaan.
“Supaya pengusaha sadar bahwa pekerja digital memang
wajib dilindungi dalam Perjanjian Kerja Bersama (PKB),” terangnya.
Rekson mengatakan langkah yang harus dilakukan membela
pekerja digital adalah melalui jalur hukum. Hal ini telah berhasil seperti di
negara Inggiris, Korea, Malaysia. Serikat buruh harus bisa memilih kasus yang
berpotensi untuk bahan gugatan di pengadilan. Sehingga, ketika menang bisa
memperoleh yurisprudensi dari Mahkamah Agung.
Ia juga optimis, melakukan sosial dialog dengan
perusahaan bisa merubah pola pikir pengusaha. Bahwa pekerja digital seperti
Ojol itu bukan sebatas mitra kerja. “Tapi mereka ini juga harus mendapatka
pengakuan dari perusahaan dan mendapatkan hak jaminan sosial,” tutupnya. (A1)