Ini Catatan Kritis KSBSI Tentang Program JKP untuk Buruh

Ini Catatan Kritis KSBSI Tentang Program JKP untuk Buruh

Ir.Markus S Sidauruk,MM,.:Deputy Presiden Bidang Program KSBSI

KSBSI.org, Markus Sidauruk Deputi Bidang Program Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 37 Tentang Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) niatnya baik untuk buruh/pekerja formal. Dimana, PP ini untuk melindungi pekerja formal yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Baca juga:  ITUC Sampaikan Rasa Prihatin Terkait Dibubarkannya Serikat Buruh HKCTU ,

“Jadi bukan untuk melindungi buruh yang pensiun, meninggal dunia, terkena musibah kecelakaan kerja dan habis kontrak. Tapi bagi ter-PHK, kemudian pemerintah akan memberikan jaminan pekerjaan,” ucapnya saat diwawancarai, di Cipinang Muara, Jakarta Timur, beberapa waktu lalu.

Ada 3 manfaat JKP bagi buruh yang ter-PHK. Pertama, mendapatkan uang tunai maksimum selama 6 bulan, kedua diberikan konseling, karir dan ketiga diberikan informasi ketenagakerjaan yang terintegrasi online dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker). Serta menawarkan pelatihan kerja berbasiskan kompetensi, baik secara online atau offline.


“Tepatnya, program tersebut berjalan maksimum selama 6 bulan bagi peserta JKP. Untuk bantuan subsidi bulanan diberikan oleh BPJS Ketenagakerjaan, kalau pelatihan dan informasi lowongan kerja difasilitasi Kemnaker,” terangnya.

JKP merupakan salah satu turunan 4 PP Undang-Undang (UU) No.20 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja. Namun dia menyoalkan, karena skemanya ada kaitan dengan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Dimana, bagi buruh yang sudah mengikuti 2 program ini bukan hanya pekerja Penerima Upah (PU).

“Tapi ada juga Pekerja Migran Indonesia (PMI) bukan penerima upah dan jasa kontruksi. Nah, yang disoalkan serikat buruh kenapa progam JKP diterbitkan pemerintah hanya untuk pekerja penerima upah. Padahal pekerja diluar itu juga memerlukannya kalau tiba-tiba mereka kehilangan pekerjaan,” katanya.

Ia menyarankan seharusnya JKP juga mengikutsertakan program lainnya. Misalnya, dalam jaminan kesehatan nasional, jaminan hari tua dan pensiun dan harus ada pembagian yang adil antara pemberi kerja dan pekerja. Kemudian, Markus juga memprediksi, kedepannya program JKP akan menimbulkan masalah baru.

“Karena jumlah buruh formal  di Indonesia tiap tahun menurun, tapi pekerja informal semakin  bertambah. Apalagi kehadiran UU Cipta Kerja dalam urusan sistem kerja kontrak (outsourching) diperusahaan semakin liberal,”ungkapnya.

Artinya, sistem outsourching yang berlaku diperusahaan sekarang ini sudah tidak terbatas lagi waktunya. Jadi, kalau ada seorang buruh masa kerja kontraknya habis, maka dia tak berhak mendapatkan JKP.

“Jadi sama saja, program ini tidak tepat sasaran. Karena pekerja yang sudah habis batas kontrak di perusahaan sebenarnya berhak mendapatkan JKP, khususnya dalam bentuk pelatihan dan informasi lowongan kerja,” jelasnya.

Rentan Diskriminasi

Markus menjelaskan program JKP bisa direvisi pemerintah. Tapi harus setelah 2 tahun dahulu berjalan. Setelah itu dilakukan evaluasi, apakah memang layak menjawab kebutuhan masyarakat atau tidak. Tapi, secara pribadi dia menilai, terbitnya PP Nomor 37 Tentang JKP terindikasi menjadi menjadi masalah untuk kedepannya.

“Ide JKP awalnya bagus, tapi sulit terwujud saat disosialisasikan, karena terlalu banyak syarat yang harus dipenuhi,” pungkasnya.

Sementara ini, KSBSI belum terlalu bereaksi menyikapi program JKP, karena sedang fokus melakukan uji formil dan materil UU Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi (MK). Kalau misalnya nanti memenangkan persidangan, maka empat PP, salah satunya JKP bakal digugurkan.  Karena itulah, sebaiknya pemerintah membuat khusus tentang undang-undang ketenagakerjaan.

“Nggak usah digabunglah dalam UU Cipta Kerja, karena berpotensi menimbulkan masalah baru lagi,” ucapnya.

Ada beberapa indikasi masalah dari JKP, seperti terjadi diskriminasi kepesertaan. Sebab program jaminan sosial itu tidak boleh memandang status pekerja. Selain itu, fakta yang terjadi masih banyak perusahan besar dan menengah yang tidak semua mengikutsertakan pekerjanya dalam program jaminan sosial. Makanya ada istilah pendaftaran sebagian (PDS) program, upah dan peserta.

Contohnya, saat ada perusahaan jumlah pekerjanya 1000 orang, maka pendaftaran PDS nya tidak semua buruhnya dilibatkan dalam program jaminan sosial. Ada yang cuma diikutsertakan program JKM, separuhnya lagi JHT dan JP. Artinya sama saja tidak komplit. Kalau pun didafarkan dalam PDS upah, tidak semua buruhnya sesuai yang didaftarkan di BPJS Ketenagakerjaan.

“Misalnya seorang pekerja, upahnya Rp. 5000.000, tapi perusahaan mendaftarkannya hanya Rp.3500.000. Nah, ketika terjadi kekurangan, maka perusahan harus membayar selisihnya,” kata Markus.

Menurutnya, pemerintah dalam merumuskan PP JKP tidak melalui kajian mendalam. Sehingga hasilnya berpotens tidak tepat sasaran untuk memberikan jaminan perlindungan sosial menyeluruh kepada pekerja. Padahal, dalam standar minimum ILO dalam jaminan sosial, salah satunya membahas soal pengangguran secara menyeluruh.

“Jadi bukan pekerja sektor formal yang terkena PHK saja mendapatkan JKP yang informal pun berhak,” terangnya.

Terakhir, Markus menyampaikan kalau pemerintah membuat kebijakan seharusnya mengetahui kondisi lapangan. Sehingga buruh tidak kesulitan menjadi peserta JKP. Karena mayoritas buruh Indonesia hari ini adalah ‘tenaga kerja kontrak’ dalam status Perjanjian Kerja Waktu Terbatas (PKWT). Lalu ada juga sebagian, status pekerja diangkat melalui lisan atau direkrut bekerja secara tidak tertulis dalam kontrak kontrak kerja.

“Kalau pun ada pada umumnya perjanjian kerja itu dipegang pengusahanya. Jadi, ketika ada pekerja yang ter-PHK, mereka kesulitan menjadi peserta JKP. Sebab, sejak awal bekerja mereka tidak memiliki bukti dokumen perjanjian bekerja, jadi susah menunjukan bukti PHK,” ungkapnya.

Kemudian kalau buruh yang ter-PHK ingin menjadi peserta JKP harus ada kesepakatan atau perjanjian bersama yang didaftarkan di Pengadilan Negeri serta pekerja menerima putusan PHK nya. Dan terakhir harus ada putusan bukti di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). (A1)     

Komentar