KSBSI.org, Jakarta - Hari ini, tanggal 7 Oktober aktivis buruh/pekerja memperingati ‘ World Days for Decent Work (DCWP)’ atau dikenal hari Kerja Layak Internasional. Pekerjaan layak adalah hal utama dalam upaya pengentasan kemiskinan. Dan merupakan cara untuk mencapai pembangunan yang setara, inklusif dan berkelanjutan.
Baca juga: Beberapa Poin Tuntutan KSBSI Pada Peringatan International World Days for Decent Work,
Pekerjaan layak juga melibatkan
kesempatan atas kerja yang produktif dan memberikan pendapatan yang adil. Lalu
memberikan keamanan ditempat kerja dan perlindungan sosial bagi pekerja dan
keluarganya. Serta memberikan masyarakat kebebasan dalam menyatakan
kekhawatiran mereka, berorganisasi dan terlibat dalam keputusan-keputusan yang
mempengaruhi kehidupan mereka.
Yatini
Sulistyowati Koordinator INSP!R
Indonesia menjelaskan ada 4 pilar kerja layak (Decent Work). Pertama, penghargaan atas hak-hak dasar ditempat
kerja, kedua kesempatan Kerja, ketiga,
Sosial Dialog dan ke empat Perlindungan Sosial. Dia menjelaskan komitmen
Indonesia mewujudkan kerja layak telah didengungan sejak puluhan tahun lalu.
Sebenarnya
Indonesia telah membuat kesepakatan bersama dalam Tripartit dan didukung Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas) dengan meluncurkan ‘Decent Work
Country Program (DWCP)’. Tentunya,
ini menjadi harapan buruh/pekerja
menikmati masa depan yang cerah dengan terjaminnya hak-hak dasar. Memiliki kepastian dalam bekerja ditopang
dengan kebebasan berserikat dengan bersosial dialog.
“Keluarganya
ikut terlindungi dengan adanya perlindungan sosial. Tidak lagi memikirkan anak
dan keluarganya ketika mengalami sakit atau membutuhkan perawatan, sehingga
dapat bekerja dengan baik dan meningkatkan produktifitas,” ucapnya dalam
keterangan tertulis, Jakarta, Kamis (7/10/2021).
Lanjutnya, ada banyak agenda yang
harus diwujudkan setelah disepakatinya DWCP dengan menciptakan kesejahteraan
bagi masyaraka. Baik buruh yang bekerja di sektor formal maupun informal, buruh
migran juga disabilitas, dengan tidak adanya ketimpangan gender dalam merancang
program dan kebijakan.
Ia menyayangkan, bahwa komitmen
Indonesia melaksanakan Sustainable Development Goals (SDGs) pada tujuan ke-8
Pembangunan berkelanjutan, seharusnya disikapi dengan program yang menyejukan. Tapi pemerintah justru mengkianati
kesepakatan dengan mengeluarkan Undang-Undang Cipta Kerja (Ciker) yang
memporak-porandakan program kerja layak yang telah disepakati.
“Hak-hak buruh menjadi banyak
terpangkas, kepastian kerja mereka menjadi mengkhawatirkan atas nama kemudahan
berusaha dan investasi,” ungkap Yatini Sulistyowati.
Dampak pandemi Covid-19
berkepanjangan juga justru menjadikan alasan pemberi kerja melanggar hak buruh.
Sehingga banyak diantara mereka menjadi korban Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
tanpa pesangon. Kalau pun diberi sangat kecil. Sebagian lagi dirumahkan dengan
waktu tidak ditentukan. Bahkan upahnya tidak dibayar. Termasuk saat buruh yang
dirumahkan ini bekerja ditempat lain justru dianggap sudah mengundurkan diri.
“Termasuk kebebasan mengeluarkan
pendapat dikebiri dengan alasan Prokes dan tidak ada tindakan tegas pemerintah
terhadap pelaku usaha,” jelasnya.
Tak jauh beda, nasib buruh migran dan
pekerja rumah tangga (PRT) semakin tereksploitasi dengan beban kerja berlebihan,
tanpa ada upah lembur. Ada juga yang tidak digaji tapi tetap disuruh bekerja
dan tidak sedikit dari mereka yang diputus kontrak kerja.
Insp!r Indonesia menyayangkan
rendahnya pengawasan yang dilakukan pemerintah dalam pelaksanaan Bantuan
Subsidi Upah (BSU). Sebab bantuan ini hanya bagi mereka yang terdaftar di BPJS
Ketenagakerjaan, masih aktif dibayar sampai bulan Juni 2021 dengan gaji dibawah
5 juta.
Sementara banyak dari peserta BPJS
karena iuran mereka tidak dibayarkan oleh pemberi kerja, jadi hak mereka
tercerabut. Termasuk buruh migran sama sekali tidak terdaftar peserta bantuan
subsidi yang sama. Padahal selama ini buruh migran selama ini dikenal sebagai
‘Pahlawan Devisa’,” tutupnya. (A1)