KSBSI.org, Jakarta - Berdasarkan data Kementerian Pertanian pada 2019, jumlah petani yang terlibat di perkebunan kelapa sawit sebanyak 2,67 juta orang serta jumlah tenaga kerja sebanyak 4,42 juta pekerja. Jumlah tersebut terdiri atas 4,0 juta atau 90,68 persen pekerja di perkebunan sawit besar swasta nasional, 321.000 atau 7,26 persen pekerja perkebunan sawit besar negara, dan 91.000 atau 2,07 persen pekerja perkebunan sawit besar swasta asing.
Baca juga: Peringati Hari Pekerjaan Layak, KSBSI kirim Petisi ke Kemnaker,
Walau industri kelapa sawit berperan dalam
perekonomian negara, tapi nasib buruh/pekerjanya banyak terabaikan. Indah
Anggoro Putri Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan
Sosial Tenaga Kerja (PHI-Jamsos) Kemnaker Indah Anggoro Putri mengatakan
hubungan kerja buruh sektor perkebunan sawit sebagian besar dilakukan Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT).
“Termasuk didalamnya buruh harian lepas. Tentu saja
masalah ini berdampak pada perlindungan dan syarat kerjanya tentang Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja, Waktu Istirahat dan
Pemutusan Hubungan Kerja," ujarnya saat acara diskusi virtual dengan tema
’Undang-Undang Cipta Kerja Klaster Ketenagakerjaan Bidang Persyaratan Kerja
Pada Sektor Sawit di Jakarta, Selasa (14/9/2021).
Kemnaker akan mengupayakan hubungan industrial yang
harmonis dan berkeadilan di sektor kelapa sawit dalam meningkatkan
kesejahteraan pekerja. Sebab sektor kelapa sawit identik menyerap banyak tenaga
kerja dengan tingkat mayoritas pendidikan rendah. Jadi, pemerintah harus
memberikan perhatian khusus.
Sulistri Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat
Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Restoran Hotel dan Tembakau
(DPP FSB KAMIPARHO) mengatakan nasib buruh di sektor industri pengolahan dan
perkebunan kelapa sawit masih banyak belum tersentuh dalam hak-hak normatifnya.
Termasuk dalam perlindungan jaminan sosial BPJS Ketenagakerjaan.
Tapi tidak semua pengusaha kelapa sawit mengabaikan
hak buruh. Sudah ada sebagian yang memperhatikannya. Salah satunya, Pengurus
Komisariat (PK) PT. SIP (KPN Group) Banyuasin Sumatera Selatan dan PK PT.
Wilmar Group (Bitung) berhasil membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB) dengan
perusahaan.
“Tahun ini kami sedang menegosiasikan perpanjangan PKB
di beberapa perusahaan. Banyak pengusaha menginginkan isi PKB merujuk pada
Undang-Undang (UU) No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Untuk PKB yang belum
berakhir, sebaiknya tidak dipaksa dibuat, karena kami sedang uji formil UU
Cipta Kerja di Mahkamah Konstitusi,” kata Sulistri, beberapa waktu lalu di
Cipinang Muara, Jakarta Timur.
Ia membeberkan bahwa buruh perkebunan kelapa sawit
sedikit diangkat menjadi pekerja formal. Justru rata-rata yang bekerja 3 tahun
ke atas masih status ‘buruh harian lepas’. Sebagian dari mereka juga tidak
diberikan jaminan sosial dalam progam
kecelakaan kerja dan kematian.
“Kalau saya lihat masih banyak perusahaan perkebunan
kelapa sawit belum patuh aturan undang-undang ketenagakerjaan,” jelasnya.
Sosial
Dialog
Pihaknya sendiri ikut memfasilitasi terbentuknya
Jaringan Pekerja Buruh Sawit Indonesia (Japbusi) bersama serikat buruh/pekerja
lainnya. Dimana fokus membahas persoalan hak buruh kelapa sawit. Serta rutin
sosial dialog dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) dan
pemerintah.
Walau rutin berdialog, namun tidak semua desakan
didengarkan pengusaha kelapa sawit. Misalnya, dalam tuntutan perbaikan upah,
masih banyak pengusaha belum memenuhinya. “Kalau pun dibuat kesepakatan, sejauh
ini sebatas tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
“Untuk komitmen mensejahterakan buruh masih jauh dari
harapan. Karena belum semua pengusaha yang bergabung di GAPKI mematuhi aturan
ketenagakerjaan,” ungkapnya.
Tapi untunglah, saat dialog, beberapa pengurus pusat
GAPKI saat ini terbilang peduli memikirkan nasib buruh kelapa sawit. Dan tak
bisa dipungkiri, masih banyak juga bersikap arogan serta anti serikat buruh.
“Misalnya, kalau serikat buruh kami hadir di
lingkungan perusahaan langsung diberangus. Sudah banyak pengurus dan anggota
kami di intimidasi dan dipecat. Walau tidak semua perusahaan kelapa sawit
bertindak seperti itu,” terangnya.
Lanjutnya, kalau perusahaan kelapa sawit bagian
pengolahan biasanya buruh sudah menerima upahnya sesuai Upah Minimum
Kabupaten/Kota (UMK). Tapi untuk buruh bekerja di perkebunan masih mendominasi
menerima upah harian.
“Padahal jumlah buruh kelapa sawit yang bekerja di
perkebunan lebih banyak. Pelanggaran ketenagakerjaan menumpuk dan jarang
terpublikasi,” pungkasnya.
Hal senada juga disampaikan Murliana. Sebelumnya dia
pernah bekerja buruh perkebunan kelapa sawit di HPI Agro PT. Borneo Muria
Plantation (BMP) anak Perusahan Djarum Grup di Kabupaten Landak Kalimantan
Barat. Dan dia aktif sebagai pengurus komisariat bidang kesetaraan gender FSB
KAMIPARHO dilingkungan perusahaan.
Namun ia menduga, pihak perusahaan tidak suka dengan
kehadiran serikat buruh. Banyak pengurus dan anggota sering dibuat tidak betah
bekerja. Dan dibuat peraturan yang selalu berubah-ubah, sehingga membuat mereka
sering bingung.
Setelah bekerja 5 tahun, akhirnya perusahaan melakukan
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada Murliana. Dia menceritakan latar belakang
alasannya PHK karena sempat sakit selama 1 bulan. Kemudian memberikan surat
keterangan ijin istrahat dan berobat dari dokter ke perusahaan.
“Tapi tetap saja saya di PHK, karena perusahaan beralasan
saya tidak membuat absen kehadiran bekerja selama 1 bulan, padahal kondisi saya
sedang sakit,” ucapnya.
Murliana juga menyampaikan setelah bertahun-tahun
bekerja, status pekerjaannya tetap buruh harian lepas. Pernah juga mereka
melakukan dialog sosial dengan pihak perusahaan untuk memperbaiki tingkat
kesejahteraan buruh juga tidak direspon dengan baik.
“Termasuk untuk membuat PKB dengan perusahaan sama sekali belum ada,”
ucapnya.
Mereka juga pernah melaporkan masalah ini ke Dinas
Tenaga Kerja tingkat provinsi, tapi tak membuahkan hasil. Sebab pihak
perusahaan menolak hadir untuk proses mediasi. Termasuk pengawas
ketenagakerjaan dari Kalimantan Barat tidak maksimal bekerja melihat kondisi
buruh di lapangan. Karena wilayah ini sangat luas dan jauh menuju lokasi
perkebunan kelapa sawit.
“Bahkan Bupati Kabupaten Landak pernah memanggil
langsung untuk berdialog menyelesaikan masalah kami, perusahaan juga tak mau
hadir,” tutupnya. (A1)