Beredar Wacana, Upah Buruh Sektor TGSL Sebaiknya Skala Nasional

Beredar Wacana, Upah Buruh Sektor TGSL Sebaiknya Skala Nasional

.

KSBSI.org, Serikat pekerja/buruh menilai terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor.36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan akan menjadi masalah kedepannya. Salah satu alasannya, upah Upah Minimum Provinsi (UMP) menjadi patokan upah buruh tingkat kabupaten/kota. Jadi, jika ada daerah menetapkan upah minimum harus memenuhi variabel paritas daya beli. Lalu tingkat penyerapan tenaga kerja, median upah dihitung berdasarkan rata-rata 3 tahun terakhir.

Baca juga:  Alasan Pengusaha Relokasi Perusahaan Karena Ada Faktor Upah ,

Menyikapi terbitnya PP Nomor 36 Tahun 2021 ini, Aliansi Pekerja Buruh Garment, Alas Kaki dan Tekstil Indonesia (APBGATI) beberapa waktu lalu mengadakan kegiatan workshop Dampak Relokasi Perusahaan dan Pemberlakuan PP. Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan’, di Puncak, Bogor Jawa Barat.  Workshop ini mengundang nara sumber dari perwakilan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Asosiasi Persepatuan Indonesia (APRISINDO), AFWA, Better Work dan AFWA.

APBGATI juga menilai PP Nomor.36 Tahun 2021 ikut mengancam upah buruh di sektor padat karya. Terlebih lagi, perusahaan tekstil, garmen, sepatu dan kulit (TGSL) sejak beberapa tahun ini banyak merelokasi perusahaannya yang ada Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Dan sebagian lagi dibeberapa daerah Jawa Barat relokasi ke Jawa Tengah, diantaranya di Kabupaten Pemalang, Boyolali, Jepara, Purbalinga dan Semarang.

Oleh sebab itulah, APBGATI rutin melakukan sosial dialog kepada pengusaha dan kepala daerah, supaya upah buruh untuk tahun depan bisa naik dan tidak mengacu pada PP Nomor.36. Karena pada umumnya relokasi perusahaan ke daerah industri baru ini pengusaha  bertujuan mencari upah kompetitif. APBGATI juga menawarkan gagasan ‘Protokol Upah’ antara  perwakilan APBGATI dan pengusaha TGSL.

Thomas Aquino dari perwakilan APBGATI menjelaskan gagasan ini untuk merumuskan kesejahteraan layak pada buruh. Sehingga tidak terjadi upah rendah yang mengacu pada PP. Nomor 36. APBGATI juga sedang rutin  mendiskusikan wacana protokol upah dengan akademisi, LSM yang bergerak dibidang perburuhan, organisasi pengusaha dan pihak brand.   

APBGATI juga menyarankan bagi perusahaan TGSL yang merelokasi perusahaannya ke beberapa daerah di Jawa Tengah sebaiknya harus ada join komitmen dengan APBGATI. Agar kedepannya persoalan perselisihan hubungan industrial bisa diatasi dengan jalan sosial dialog. Artinya, setiap masalah yang diselesaikan sama-sama tidak ada yang dirugikan.

Selain itu, dia mengatakan relokasi perusahaan dari daerah lama ke daerah baru ada dampak positif dan negatifnya. Misalnya, buruh yang lama bekerja di perusahaan ini banyak kehilangan pekerjaan karena relokasi. Sementara, bagi masyarakat lokal di daerah industri baru, banyak masyarakat lokal banyak mendapat pekerjaan.

Walau relokasi perusahaan ini memberi keuntungan pada masyarakat sekitar, namun Thomas menilai upah yang diberikan kepada mereka masih jauh dari hal yang layak. Karena itu, APBGATI menyarankan agar pengusaha yang mendapatkan keuntungan besar harus memperhatikan kesejahteraan buruh. Agar tidak terjadi konflik perselisihan industrial yang tajam kedepannya.

APBGATI sendiri juga sedang mewacanakan agar upah buruh TGSL itu secara nasional. Sebab, upah  secara nasional ini sangat masuk akal, walau untuk memperjuangkannya pasti butuh proses panjang. Dan perlu satu persamaan persepsi dengan organisasi pengusaha APINDO, API, APRISINDO. Sebab,  terbitnya PP.36 memang tidak memihak pada pekerja/buruh.

Karena itulah dia berharap ruang sosial dialog dengan pemerintah dan pengusaha harus tetap dilakukan, agar bisa tercipta kesepakatan bersama tentang upah yang layak bagi buruh TGSL. “Agenda sosial dialog sudah sering kami lakukan, walau upaya ini masih belum memuaskan. Karena masih banyak pengusaha yang menaruh curiga pada gerakan serikat buruh untuk menyepakati upah layak,” jelasnya.

Hal senada juga disampaikan Edi Kustandi Badan Pengurus Harian APBGATI. Dia mengatakan salah satu dampak PP Nomor 36 adalah kemungkinan upah bagi buruh dibeberapa daerah yang terbilang tinggi akan mengalami penurunan atau tidak naik. Seperti di Kabupaten Karawang Jawa Barat sekarang ini upah buruhnya tertinggi di Indonesia namun kemungkinan bisa tidak naik.

“Kami akan mencoba mengikutinya aturannya dahulu. Tapi disisi lain, APBGATI akan melakukan strategi lobi-lobi agar jangan upah buruh harus menunggu tersusul oleh UMP, sehingga baru naik,” ujarnya.

Sebab, secara teori kebutuhan buruh tidak bisa lagi disamakan antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Apalagi, ketika terjadi kebijakan disalah satu daerah upahnya tidak naik tahun depan, maka pertumbuhan ekonomi pun akan melambat. Sebab menurut survei, pertumbuhan ekonomi tahun 2020 itu kontribusi besarnya dari daya beli masyarakat, sebesar 40 persen.

“Sementara, sebagian besar masyarakat kita itu buruh. Kalau upah tahun depan tidak naik berdasarkan PP 36, maka daya beli masyarakat bakal menurun dan pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat. Artinya, setelah PP 78 tahun 2015 tentang masalah kenaikan upah dicabut pemerintah, maka buruh saat ini sedang dihadapkan masalah yang dilematis,” ungkapnya.

Walau beberapa serikat pekerja/buruh sedang melakukan uji materi di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) Undang-Undang No.11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja, tapi pihaknya tetap melakukan lobi-lobi ke kepala daerah, dari gubernur, bupati dan walikota agar upah buruh tetap naik dengan tidak mengacu PP Nomor 36.        

Intinya, perusahaan di daerah upah buruhnya yang tinggi sudah banyak melakukan relokasi ke daerah baru yang upahnya masih kompetitif seperti di Jawa Tengah. Karena itulah, APBGATI berharap kepada pemerintah dan pengusaha, agar upah buruh harus layak dimasa pandemi Covid-19.

APBGATI merupakan aliansi serikat pekerja/buruh yang fokus pada isu sektor TGSL. Diantaranya dari FSB GARTEKS KSBSI, Federasi KSPN, SBSI 92, FSP TSK KSPSI, Federasi SARBUMUSI,  F SP TSK – SPSI, FSBPI. Sejak dideklarasikan pada 2020, APBGATI rutin melakukan agenda sosial dialog dengan APINDO, API, APRISINDO, Better Work, CNV Internasional, AFWA, TURC dan Kementerian Ketenagakerjaan (A1) 

Komentar