KSBSI.org, Pada 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis hasil datanya tentang presentase Union Density Rate (UDR) atau tingkat jumlah anggota serikat di Indonesia menurun di semua sektor usaha pekerjaan. Sebelumnya, pada 2018 tingkat UDR sebesar 13,2 persen. Tingkat tersebut mengalami penurunan kalau dibandingkan tahun 2017 sebesar 14,54 persen.
Baca juga: Presiden dan Sekjen KSBSI Berikan Motivasi kepada Kader Muda di Acara Rakercab FSB GARTEKS Kabupaten Serang,
Artinya, hasil penelitian UDR pada 2018
menunjukan dari 100 orang buruh status formal dan informal, hanya 13 orang
berminat bergabung di serikat buruh. Padahal, tujuan berdirinya serikat buruh
salah satunya memperjuangkan hak buruh yang diatur dalam undang-undang
ketenagakerjaan. Dan membantu penyelesaian kasus hubungan industrial serta
membuat Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Sebelumnya, data yang pernah dirilis
Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada 2017, menunjukkan jumlah serikat
pekerja/buruh mencapai 7.000 serikat. Tepatnya, mengalami penurunan dari tahun
2007 yang mencapai angka 14.000. Sementara jumlah anggota serikat pekerja atau
serikat buruh pada 2017 hanya sekitar 2,7 juta orang. Mengalami menurun dari
3,4 juta orang pada 2007.
Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI), tak membantah jika minat buruh
berserikat menurun. Hal ini karena ada beberapa faktor, seperti ancaman pengusaha
melarang buruh berserikat. Dan melakukan pemberangusan serikat (union busting) dengan
cara Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) kepada pengurus serikat buruh di perusahaan.
Sehingga banyak buruh takut berserikat di lingkungan kerja mereka.
Padahal, hak buruh dalam kebebasan
berserikat itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang
Serikat Pekerja/Serikat Buruh. Lalu dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28E ayat (3) bahwa kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan. Termasuk Konvensi ILO No. 87 Tahun 1948 tentang kebebasan
pekerja untuk berorganisasi.
“Walau hak kebebasan buruh dalam berserikat
di perusahaan sudah diatur dalam undang-undang, faktanya banyak perusahaan
melanggarnya. Aparat penegak hukum kami nilai juga belum pernah serius
menyelesaikan kasus-kasus union busting, padahal laporannya sangat banyak,”
ucap Elly beberapa waktu lalu di Jakarta.
Evaluasi
Elly Rosita menerangkan serikat buruh yang
dipimpinnya sudah lama meninggalkan gerakan frontal saat membela hak dan
kesejahteraan buruh. Saat ini sudah membangun paradigma baru dengan
mengutamakan ‘sosial dialog’ dengan perwakilan pemerintah dan pengusaha dalam
menciptakan hubungan industrial yang harmonis.
“Tapi masih banyak perusahaan menganggap
serikat buruh it momok yang menakutkan. Kalau pun aksi demo terjadi, karena
upaya komunikasi melalui sosial dialog tidak ada titik temu lagi dengan pihak perusahaan,”
jelasnya.
Ia menerangkan pandemi Covid-19 yang hampir
2 tahun ini ikut berpengaruh. Sebab, imbas virus Corona mengakibatkan jutaan
buruh menjadi korban PHK. Dan sebagian dari mereka adalah anggota serikat buruh.
“Termasuk belasan ribu buruh anggota federasi serikat buruh afiliasi KSBSI
sudah banyak tidak bekerja lagi,” terangnya.
Dia menyampaikan fenomena jumlah serikat
buruh di Indonesia memang bertambah. Tapi sayangnya, pertumbuhan itu justru bukan
karena kesadaran buruh ingin berserikat. Tapi karena latar belakang konflik
internal yang berkepanjangan, Sehingga, ketika ada pengurus serikat buruh yang kecewa
akhirnya mendirikan serikat buruh lagi.
“Jadi ya sama saja tak ada manfaatnya,
karena pertumbuhan jumlah serikat buruh banyak berdiri tapi jumlah buruh masuk
serikat buruh tak ada peningkatan,” jelasnya.
Bagi Elly Rosita, ketika minat buruh
semakin minim ikut berserikat adalah sebuah ancaman. Dan harus menjadi evaluasi
bersama oleh semua pemimpin serikat buruh/pekerja. Sebab tak bisa dibantah,
salah satu posisi tawar serikat buruh ketika jumlah anggotanya banyak.
“Kalau serikat buruh di Indonesia semakin terus
mengalami degradasi, khususnya dalam jumlah anggotanya maka posisi tawarnya
semakin tak diperhitungkan dihadapan pemerintah dan pengusaha,” ungkapnya.
Solusinya, aktivis serikat buruh harus bisa
menghindari konflik internal organisasi yang berpotensi menimbulkan perpecahan.
Lalu, kembali melakukan tradisi pengorganisiran dan pendidikan untuk
menciptakan kader militan yang mampu membangun kesadaran buruh untuk berserikat.
“Kader-kader muda yang dilahirkan menjadi
pemimpin serikat buruh sekarang ini sudah harus dibekali kemampuan intelektual
da komunikasi yang baik. Agar mereka bisa mampu berdialog dan menjelaskan
tujuan serikat buruh di perusahaan ketika berunding dengan manajemen
perusahaan,” pungkasnya.
Intinya, di era industri 4.0 ini, Elly
Rosita gerakan serikat buruh harus bisa merubah paradigmanya menjadi gerakan
yang menakutkan pengusaha. Tapi perusahaan bisa menerima dengan cara berdialog
serta menjadi mitra kerja di dunia industrial. Kalau pun terjadi perselisihan
ketenagakerjaan di lingkungan perusahaan, sebaiknya mengedepankan sosial
dialog, bukan langsung melakukan aksi demo.
“Kuantitas
anggota serikat buruh itu memang perlu untuk meningkatkan posisi tawar. Tapi
harus diingat, kalau jumlah anggotanya banyak, namun Sumber Daya Manusia (SDM)
pengurus dan anggotanya lemah juga tak ada manfaat,” ucapnya.
Karena
itulah, KSBSI sekarang ini fokus melakukan pengorganisiran buruh serta
melakukan pengakaderan dan pendidikan untuk meningkatkan SDM. Artinya kuantitas
harus dilengkapi dengan kader-kader cerdas yang mampu menjawab tantangan
zaman,” tandasnya. (A1)