Ini Penjelasan Sekjen DPP FSB KAMIPARHO Tentang Konvensi ILO No. 183 Tentang Perlindungan Maternitas

 Ini Penjelasan Sekjen DPP FSB KAMIPARHO Tentang Konvensi ILO No. 183 Tentang Perlindungan Maternitas

Sulistri Sekretaris:Sekjen DPP FSB KAMIPARHO)

Sulistri Sekretaris Jenderal Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Hotel dan Tembakau (Sekjen DPP FSB KAMIPARHO) menyampaikan perlindungan bagi perempuan hamil di dunia kerja itu penting. Serta sudah mendapatkan hak yang diatur dalam Undang-Undang (UU) No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.

Baca juga:  ILO Menyambut Baik Dukungan Kepala Negara G20 Dalam Pemulihan Covid-19,

Dimana, dalam pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan  menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan. Pembagian keduanya didasarkan pada cuti hamil dan cuti melahirkan (setelah kelahiran).

Menurutnya, jaminan cuti hamil dan melahirkan bagi pekerja perempuan dalam UU No.13  Tentang Ketenagakerjaan sudah baik. Tapi, dia menyarankan ada baiknya pemerintah juga meratifikasi Konvensi ILO No. 183 Tentang Perlindungan Maternitas.

“Isi Konvensi No.183 ini mengatur perusahaan untuk memberikan cuti hamil dan melahirkan kepada pekerja perempuan selama 14 minggu. Sementara jika mengacu pada UU No.13 Tentang Ketenagakerjaan cutinya hanya 6 minggu atau selama 1,5 bulan,” ucapnya, saat diwawancarai di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur, Rabu (3/11/2021).

Ia juga memaparkan cuti hamil dan melahirkan dalam Konvensi ILO No.183 tidak hanya berlaku bagi pekerja perempuan hamil yang bekerja di sektor formal, tapi juga berlaku di sektor informal. Baik yang bekerja tidak tetap, maupun status kontrak.

“Termasuk bagi yang sudah maupun tidak menikah berhak mendapatkan cuti selama 14 minggu. Sebab, masih banyak kejadian di Indonesia, ketika ada buruh perempuan yang sedang hamil dan ingin mengambil cuti melahirkan, pihak perusahaan sering menanyakan surat pernikahannya,” terangnya.

Sulistri mengakui dalam memperjuangkan Konvensi ILO No. 183 ini memang penuh kendala. Sebab, pemerintah sendiri belum ada niat meratifikasinya. Dan perusahaan juga terbilang keberatan dengan pemberlakuan aturan cuti selama 14 minggu.  

“Padahal kalau kita melihat fakta, masih banyak perusahaan tidak menaati aturan cuti kehamilan bagi buruh perempuan yang mengacu pada Pasal 82 Undang-Undang No.13 Tentang Ketenagakerjaan. Termasuk si pengusaha dengan sengaja tidak membayar upahnya secara penuh, bahkan ada melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),” ungkapnya.

Kemudian, jika ingin mendiskusikan Konvensi ILO No. 183 itu jangan sebatas pada tuntutan agar pemerintah dan perusahaan menjalankan cuti hamil dan melahirkan selama 14 minggu. Sebab dalam konvensi ini juga membuat aturan seperti perlindungan dan tunjangan kesehatan dari masa kehamilan sampai melahirkan.

“Kemudian selama hamil, perusahaan tidak boleh memperkerjakan di lingkungan perusahaan yang dianggap membahayakan kesehatannya, termasuk memberikan cuti kepada suami ketika istrinya melahirkan,” kata Sulistri.

Sulistri menilai,  Konvensi ILO No. 183 sekarang ini sudah penting diterapkan di Indonesia. Namun kembali lagi, bahwa pemerintah belum menganggapnya penting. Padahal, sudah ada 40 negara anggota ILO yang meratifikasi Konvensi ILO No. 183.

“Intinya, memahami Konvensi ILO No. 183 itu jangan hanya berpikir tuntutan cuti 14 minggu saja. Karena turunan dari konvensi ini banyak manfaatnya dalam memberikan perlindungan kepada buruh perempuan yang bekerja selama mereka hamil sampai melahirkan,” tutupnya. (A1)     

Komentar