KSBSI.org, Jakarta- UPAH adalah Hak buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pemberi kerja kepada buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu Perjanjian Kerja, Kesepakatan atau Peraturan Per-Undangan-Undangan, termasuk tunjangan bagi buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Baca juga: Sempat Ditunda, Bulan Ini Kongres ke VI FPE KSBSI Siap Dilaksanakan, Upah Buruh VS Virus, Rakornas KSBSI 2021,Kontrak Sosial Baru Pasca Pandemi dan UU Ciptaker,
Lalu apa itu Upah Layak?
Secara
umum, upah layak dapat di maknai sebagai imbalan yang adil atas suatu pekerjaan
atau jasa yang dapat memenuhi kebutuhan hidup buruh secara layak. Pemenuhan
atas upah layak menjadi kontroversi karena kurang tersedianya indikator-indikator
kunci untuk menetapkan sebuah upah tergolong layak dan tidak layak, Namun
demikian, kita dapat menggunakan sejumlah kebijakan yang ada sebagai
landasannya. Pertama, kebijakan upah minimum untuk mereka yang belum
berpengalaman (pekerja pemula). Kedua, kebijakan penerapan struktur & skala
upah (SUSU) untuk penetapan upah diatas upah minimum bagi mereka yang telah
memiliki pengalaman kerja.. Penerapan SUSU menjadi wajib dilakukan perusahaan
saat ini[1],
untuk mendorong peningkatan produktivitas karyawan seiring peningkatan
produktivitas dan output perusahaan yang pada gilirannya menjadi sumber
peningkatan upah riil di perusahaan.
[1] Lihat Peraturan Menteri Tenaga Kerja Republik Indoensia No 1 Tahun 2017
Kewajiban Perusahaan menerapkan Struktur Skala Upah merupakan hasil perjuangan Panjang KSBSI dalam mewujudkan Upah Layak bagi buruh dan Terjaminnya Kelangsungan Usaha.
Di samping
itu, masih terdapat sejumlah kebijakan menyangkut upah, diantaranya; upah kerja
lembur, upah tidak masuk kerja dan sebagainya.
Kebijakan
Upah Minimum maupun Struktur Skala Upah serta hak atas upah lainnya; merupakan standar minimum sepanjang menyangkut Hak Buruh dan standard maximum sepanjang Kewajiban Buruh.
yang ditetapkan pemerintah melalui peraturan perundang-undangan.
Agar Hak
buruh setara dengan Kewajiban Buruh (ada
pertukaran yang adil), maka di buka ruang adanya negosiasi (berunding). Secara
personal, negosiasi terjadi antara seorang buruh dan pengusaha, dimana hasil
kesepakatannya dituangkan dalam Perjanjian kerja (PK), Secara kolektif,
negosiasi terjadi antara Serikat Buruh dan Pengusaha yang kemudian hasil
kesepakatannya dituangkan dalam Perjajian Kerja Bersama (PKB). Negosiasi secara
personal umunya cenderung lemah karena rendahnya posisi tawar[1],
sedangkan negosiasi secara kolektif melalui Serikat Buruh cenderung lebih baik.
Hasil
kesepakatan sepanjang menyangkut “issu upah” yang dituangkan dalam PKB
merupakan wujud dari “Upah Layak yang Sesungguhnya” (Misal standar baru
“struktur & skala upah”, standar upah lembur,, upah ketika tidak masuk
kerja, dstnya yang pengaturannya lebih baik dari peraturan perusahaan dan
peraturan perundang-undangan). Sehingga kalau digambarkan secara sederhana:
Kebijakan
Pengupahan (Peraturan Perundang-undangan) |
Perjanjian
Kerja Bersama (Kesepakatan SB dan Pengusaha) |
1. Upah Minimum 2. Struktur & Skala Upah 3. Upah Kerja Lembur 4. Upah Tidak Masuk Kerja 5. Bentuk & Cara Pembayaran Upah Tidak Masuk
Kerja 6. Hal-hal yg dapat diperhitungkan dgn Upah 7. Upah sbg dasar Pembayaran Hak & Kewajiban |
1. Upah Terendah 2. Standar Baru Sruktur & Skala Upah
3. Standar Baru Upah Kerja Lembur 4. Standar Baru Upah Tidak Masuk Kerja
........... ........... 7. Upah ....Pembayaran Hak & Kewajiban - Baru |
Sehingga
Upah layak dapat dimaknai sebagai sebuah imbalan yang adil (setara) antara hak
dan kewajiban hasil negosiasi antara buruh atau SB dengan pengusaha/pemberi
kerja; yang pengaturannya lebih baik dari ketentuan peraturan yang ada .
Mengapa Upah Layak Menjadi Prioritas program KSBSI?
Pertama, kepatuhan perusahaan terhadap
penerapah upah minimum masih rendah. Kedua, upah menjadi salah satu indikator
kunci dari pekerjaan layak (decent work), dimana setiap negara secara reguler
wajib melaporkan perkembangannya. Ketiga, hal ini menyangkut perkembangan
sosial ekonomi masyarakat (daya beli masyarakat) dan perekonomian Indonesia.
Sedang dari perspektif mikro: hal ini menyangkut kelangsungan usaha perusahaan
dan pemenuhan kebutuhan hidup buruh dan keluarganya.
Apa tujuan KSBSI dalam memperjuangkan Upah Layak?
Buruh mendapatkan upah layak seiring
kelangsungan usaha perusahaan. Pemenuhan hak atas Upah layak maish menjadi
persoalan besar bagi banyak perusahaan di Indonesia. Oleh karenanya KSBSI
senantiasa menawarkan konsep utuh untuk mewujudkan Upah Layak seiring dengan
keberlangsungan usaha perusahaan. Salah satu kebijakan yang kita dorong adalah
penerapan struktur & skala upah di perusahaan. Dimana penerapan struktur
& skala upah ini akan mendorong peningkatan produktivitas karyawan seiring
meningkatnya output perusahaan (baik kuantitas & kualitas produk, image dan
nilai tambah) yang pada gilirannya dapat meningkatkan daya saing perusahan,
Keterbukaan dan trasparansi terkait
struktur dan skala upah menjadi bagian terpenting dalam memotivasi karyawan
untuk terus meningkatkan pengetahuan, ketrampilan dan kompetensinya dalam upaya
meningkatkan produktivitas mereka. Keterbukaan tidak hanya sebatas dokumen SUSU
itu sendiri tetapi terpenting juga adalah kesempatan jenjang karier yang
mungkin mereka dapat raih di perusahaan tersebut .Sehingga penerapan SUSU
menjadi relevan dalam memotivasi karyawan meningkatkan pengetahuan dan
kompetensinya guna mendorong produktivitas, pengembangan kariernya seiring
peningkatan upahnya.
.
Kemudian menyangkut peningkatan daya saing perusahaan, perlu upaya tambahan yang dilakukan melalui Perjanjian Kerja Bersama (PKB) sebagai sebuah kesepakatan kerja kolektif antara SB dan pengusaha; yang menjamin Hak dan Kewajiban dari masing-masing pihak menghantarkan perusahaan untuk mencapai visi dan misinya. Lebih lanjut, PKB juga menjadi salah satu indikator dalam persyaratan administrasi dalam berbagai kegiatan bisnis dan perdagangan (misal Sertifikasi ISO), terlebih lagi dalam perdagangan International (eksport). PKB menjadi indikator utama para buyer, supplier hingga konsumer di manca negara bahwasanya produk-produk yang mereka beli dan konsumsi adalah.”produk yang fair” bukan hasil dari kerja paksa atau ekploitasi tenaga kerja.
Sehingga tahapan perjuangan mewujudkan
Upah Layak sejalan perkembangan usaha perusahaan adalah sebagai berikut ;
Ø Penerapan Upah Minimum untuk Buruh
lajang dan belum berpengalaman
Ø Penerapan Struktur & Skala Upah
bagi upah diatas upah minimum
Ø Kesepakatan menyangkut Upah yang diatur dalam PKB
Apa Tantangan & Persoalan yang dihadapi Buruh terkait upah Pasca UU Cipta Kerja dan PP 36 Tahun 2021.
Pertama,
Upah terdegradasi (dibedakan) menjadi Upah berdasarkan Satuan Waktu dan Upah
berdasarkan Hasil. Upah berdasarkan
satuan waktu terdegradasi kembali menjadi upah bulanan, harian dan upah per
Jam. Upah berdasarkan satuan hasil ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara
buruh dan pengusaha. Dimana upah
berdasarkan satuan hasil dan upah per jam sudah lama tidak dikenal sejak munculnya
UU 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan. Hal ini bermakna adanya kemunduran
dalam sistim pengupahan dan rentan terjadinya eksploitasi tenaga kerja yang
muaranya tentu terkait dengan capaian atas tujuan pembangunan berkalanjutan
(Sustainable Development Goals) terutama Goal 1 dan Goal 8.
Kedua,
penerapan SUSU tidak lagi sejalan dengan Permenaker 1 Tahun 2017 tentang SUSU.
Baik dari sisi faktor pertimbangan penerapan SUSU, maupun dari sisi penetapan
upahnya. Karenanya penerapan susu praktis hanya berlaku bagi buruh berdasarkan
satuan waktu khususnya satuan waktu bulanan atau mingguan dan tidak termasuk
upah harian dan upah berdasarkan jam. Situasi ini tentu akan berdampak terhadap
kelangsung perusahaan dalam jangka panjang.
Ketiga, terkait keterbukaan dan transparansi memberitahukan struktur dan skala upah pada seluruh golongan jabatan yang ada di perusahaan pada karyawannya. Hal ini sebagaimana ketentuan PP 36 tahun 2021, pasal 21 ayat 3 menyebutkan struktur & skala upah yang diberitahukan sekurang-kurangnya struktur dan skala Upah pada golongan jabatan sesuai dengan jabatan Pekerja/Buruh yang bersangkutan. (Markus Sidauruk, Deputi Presiden Bidang Program Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia)