KSBSI.org, JAKARTA - Pada 2018, International Labour Organization (ILO) pernah merilis era revolusi industri 4.0 dengan hadirnya teknologi digitalisasi, otomatisasi dan robotisasi memiliki dampak pada buruh/pekerja. Diprediksi sekitar 56 persen pekerja di dunia kehilangan pekerjaan dalam 10-20 tahun ke depan. Sehingga menimbulkan kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) baru.
Baca juga: Upah Layak Untuk Pekerjaan Layak,
Pemerintah sendiri telah mengklaim sudah memiliki
solusi untuk mengantisipasi ancaman tersebut.
Diantaranta, membuat pemetaan atas pekerjaan yang rentan hilang dan yang
bisa diciptakan ke depan. Kemudian mengembangkan kemampuan Sumber Daya Manusia
(SDM) di Indonesia.
Supardi Ketua Umum (Ketum) Dewan Pengurus Pusat
Federasi Serikat Buruh Makanan Minuman Pariwisata Hotel dan Tembakau ( DPP FSB Kamiparho) mengatakan bahwa mau tidak mau, rakyat Indonesia harus
beradaptasi dengan kehadiran revolusi industri 4.0. Sebab, teknologi digitalisasi,
otomatisasi dan robotisasi cepat atau lambat menjadi kebutuhan manusia.
Dia menjelaskan, kehadiran teknologi ini memang ada
dampak mengancam pekerja kehilangan pekerjaan, terutama di perusahaan sektor
padat karya. Tapi kalau untuk di pekerjaan perhotelan, makanan, minuman,
tembakau belum begitu berdampak. Namun di sektor perusahaan perikanan dan rokok
bakal mulai terdampak.
“Sebab, salah satunya industri rokok ini kan jenis
perusahaan padat karya yang melibatkan ribuan pekerja. Kemungkinan besar buruhnya
bakal banyak digantikan tekonologi digitalisasi, otomatisasi dan robotisasi.
Apalagi karakter pengusaha itu praktis dalam berbisnis.
“Jadi, kalau dia melihat ada teknologi canggih bisa
membuat biaya produksi lebih murah, maka mereka memilih mengurangi tenaga
manusia,” ucapnya, saat diwawancarai, di Kantor Konfederasi Serikat Buruh
Seluruh Indonesia (KSBSI), Cipinang Muara, Jakarta Timur, Jumat (5/11/2021).
Ia juga mengkritik pemerintah yang dinilai tidak
serius menjalankan program vokasi (pelatihan). Dimana, program itu untuk meningkatkan
SDM kepada angkatan muda kerja generasi muda saat menghadapi Bonus Demografi
2030. Bahkan, mengajak perwakilan serikat buruh/pekerja untuk merumuskan konsep
program vokasi sangat minim.
“Kalau saya
lihat program vokasi yang dijalankan pemerintah melalui beberapa kementerian terkesan
setengah hati dan tidak tepat sasaran untuk kebutuhan pasar kerja. Mereka hanya
memikirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya saja dari pada masa depan kaum
muda kita,” ungkapnya.
Apalagi ketika Indonesia ikut terkena pandemi
Covid-19, jutaan buruh kehilangan pekerjaan. Sampai hari ini mereka juga masih
banyak belum mendapatkan pekerjaan, sementara pemerintah belum optimal
memberikan solusi lapangan pekerjaan.
“Bahkan ketika mereka mendapatkan akses ikut program
vokasi di Balai Latihan Kerja (BLK) juga masih susah mendapatkannya. Kalau pun
buruh ter-PHK ini ikut program dari BPJS Ketenagakerjaan, terkait jaminan
kehilangan pekerjaan syaratnya sangat susah didapatkan,” kata Supardi.
Artinya, uang negara yang digelontorkan sudah begitu
banyak, tapi, hasilnya tidak maksimal. Sarannya, pemerintah harus lebih intens menggandeng
serikat buruh/pekerja untuk merumuskan program vokasi. Karena mengerti kondisi
dan persoalan di lapangan.
Rencananya, tanggal 8 bulan ini Kementerian
Ketenagakerjaan mengajak pihaknya melihat kondisi BLK di Bekasi dan Lembang. Setelah kunjungan, pihaknya akan menilai, apakah alat belajar dan
praktik BLK apakah masih memakai mesin lama atau sudah ada pembaruan sesuai
kebutuhan pasar kerja.
“Saya berharap kaum muda harus berinisitif menambah
keahlian (skill) yang berbasiskan teknologi digitalisasi, otomatisasi dan
robotisasi. Kalau hanya berdiam diri, negara kita dipastikan kalah daya saing
dengan Tenaga Kerja Asing (TKA) yang masuk ke Indonesia,” ungkapnya.
Sebab, dengan disahkannya Undang-Undang No.11 Tahun
2020 Tentang Cipta Kerja, pemerintah semakin leluasa mengundang investor negara
luar untuk membangun perusahaannya di Indonesia. Para investor ini juga dipastikan
membawa mesin-mesin canggih serta SDM berkompeten.
“Jangan sampai, ketika investor dari negara luar
datang ke Indonesia tapi kwalitas tenaga kerja lokal tidak memiliki kemampuan
menggunakan mesin canggih. Sehingga akhirnya tersisih, karena TKA yang dibawa
investor bisa menjalankan teknologi digitalisasi, robotisasi dan otomasitasi,”
bebernya.
Evaluasi
Kurikulum Pendidikan
Oleh sebab itu,
Supardi memperingatkan pemerintah jangan lalai. Dia menyarankan
pemerintah harus merubah kurikulum berbasiskan kompetensi. Jadi, materi
pendidikan yang diberikan tidak lagi hanya sebatas teori. Harus diseimbangkan
dengan praktik dari pelajaran yang diterima. Kemudian menghidupkan BLK sampai
tingkat kabupaten/kota dan bagi yang ingin mendaftar tidak dipersulit.
“Termasuk materi pelajaran dan peralatan praktik
disetiap BLK harus diperbaharui sesuai era industri 4.0. Setelah peserta yang
mengikuti pelatihan wajib mendapatkan sertifikasi sesuai bakat dan bidang
mereka,” pungkasnya.
Intinya, Supardi menyampaikan pemerintah Indonesia
bisa memenangkan Bonus Demografi 2030, kalau sejak dini mempersiapkan SDM
dengan meningkatkan berbagai keahlian dalam dunia kerja. Seperti yang dilakukan
oleh Negara Cina, Jepang.
“Jadi elit-elit politik dan birokrat berhentilah membangun
ambisius kekuasaannya dan suka menciptakan kegaduhan politik. Belajarlah kepada
pemimpin negara maju. Mereka selalu berorientasi memikirkan generasi mudanya
agar SDM nya dibandingkan negara lain,” lugasnya.
Dia sudah mensosialisasikan kepada Dewan Pengurus
Cabang (DPC) dan Pengurus Komisariat (PK) FSB KAMIPARHO diberbagai daerah
mengenai dampak teknologi digitalisasi, otomatisasi dan robotisasi di dunia
kerja. Sejauh ini memang dampaknya belum ada kepada anggotanya di perusahaan .
“Tapi bukan tidak menutup kemungkinan kedepannya bisa
berdampak kepada anggota kami, seperti yang bekerja di sektor perhotelan,
makanan dan pariwisata,” tandasnya. (A1)