KSBSI.org, JAKARTA-Perwakilan Serikat Pekerja/Serikat Buruh dalam Komite Climate Change dan Just Transition (Komite JT dan JC) kembali menggelar pertemuan untuk menyikapi perubahan iklim dan keadilan transisi. Ada beberapa poin diskusi yang disampaikan dalam forum tersebut. Diantaranya membahas wacana kampanye tentang kampanye menghentikan tambang batubara di Indonesia.
Baca juga: Aktivis KSBSI Kunjungi 3 BBPLK Kemnaker,
Pengamat dan aktivis lingkungan menilai
energi batubara adalah bahan bakar fosil yang dikenal penyumbang emisi gas
rumah kaca terhadap perubahan iklim. Oleh sebab itulah, sekarang ini banyak
negara telah mewacanakan untuk menghentikan energi batubara, lalu mengalihkan
ke energi alternatif.
Maria Emeninta koordinator acara ini
mengatakan serikat pekerja/buruh harus memiliki pasca pidato Presiden Joko
Widodo (Jokowi) di KTT PBB dalam perubahan iklim (COP26) di Glasgow, beberapa
waktu lalu. Sebab dinilai tidak sesuai fakta kondisi alam dan lingkunan
lingkungan yang terjadi di Indonesia saat ini yang semakin rusak.
“Atau tepatnya, niat pemerintah untuk
memperbaiki kondisi hutan dan megatasi pencemaran lingkungan masih belum
serius,” ucapnya di Rumah Makan Handayani Prima, Matraman Jakarta Timur, Selasa
(9/11/2021).
Dia mengusulkan agar Komite CC dan JT lebih
gencar membangun kampanye mendesak pemerintah lebih serius mengatasi dampak
perubahan iklim. Dan melakukan audiensi dengan Kementerian Ketenagakerjaan
(Kemenaker) serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk
menghentikan produksi tambang batubara.
Alson Naibaho perwakilan FSB KAMIPARHO
menyampaikan jika ingin mengkampanyekan penghapusan energi batubara, sebaiknya
harus ada kebijakan dan solusi yang matang. Pasalnya, industri ini
mempekerjakan puluhan ribu pekerja/buruh. Kalau pun pemerintah akhirnya nanti
setuju menghentikan industri tambang batubara harus ada solusinya.
“Serikat pekerja/serikat buruh harus bisa
memberikan saran ke pemerintah, ketika tambang batubara dihentikan harus ada
lapangan kerja yang baru untuk mereka. Supaya tidak menimbulkan konflik
ketenagakerjaan dan pengangguran,” jelasnya.
Bambang Sugiono FSPKEP KSPI mengusulkan
untuk mengatasi dampak perubahan iklim dan just transition, aktivis buruh harus
lebih kritis menyikapi pemerintah dan perusahaan dalam menerapkan agenda
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3).
“Karena masih banyak perusahaan yang tidak
menjalankan peraturan tersebut. Padahal
dampaknya sangat mengancam kesehatan pekerja dan lingkungan,” ujarnya.
Sarannya, sebelum menyuarkaan masalah kasus
pelanggaran K3 di perusahaan harus ada data dan analisa dari lapangan. Contohnya di pertambangan batu bara itu debu
disekitar lingkungan kerja sangat banyak. Sehingga sangat berdampak pada
kondisi kesehatan pekerja dan kerusakan lingkungan. Termasuk juga di perusahaan
pabrik semen.
Sementara Ismet Inoni dari GSBI menyampaikan gerakan serikat buruh di
negara maju seperti di Eropa, sudah mempunyai resolusi dalam menyikapi isu
perubahan iklim. Jadi, sarannya, serikat buruh/pekerja di Indonesia harus bisa
merumuskan dalam membuat resolusi perubahan iklim ke pemerintah.
“Aktivis buruh juga harus tetap kritis
mendesak pemerintah untuk mengantisipasi ancaman perubahan iklim. Sebab
dikabarkan, pemerintah bakal kembali membuka lahan perkebunan sawit sebanyak 25
juta hektar. Padahal, diketahui perkebunan sawit sangat menyumbang kerusakan
alam,” jelasnya.
Hasil diskusi menyepakati agar Komite CC
dan JT untuk membuat tim khusus dalam memperkuat isu dan dokumentasi ancaman
perubahan iklim. Dalam waktu dekat ini akan membuat konferensi pers.
Diantaranya menyikapi pasca pidato Presiden Joko Widodo di KTT PBB dalam
perubahan iklim (COP26).
Peserta diskusi yang hadir dalam pertemuan
dari perwakilan FTA, FSB Kamiparho, FSP
FARKES KSPSI, FSP Pariwisata KSPSI, KSBSI, K Sarbumusi, GSBSI, FSPKEP KSPSI, F
Lomenik, KSPSI. (A1)