KSBSI.org, JAKARTA - Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menyampaikan tidak puas terhada amar putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) terkait Judicial Review (JR) fomil Undang-Undang Cipta Kerja yang dibacakan hari ini. Dalam keputusan yang dibacakan Mejelis Hakim MKRI, menolak sebagian gugatan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang diajukan perwakilan serikat buruh/pekerja.
Baca juga:
Hakim Majelis Hakim MKRI juga merekomendasikan undang-undang
yang kontroversial ini diperbaiki sampai 2 tahun kedepa oleh pemerintah dan
DPR. Serta mengadili dalam provisi, satu, menyatakan permohonan provisi Pemohon
I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Lalu menolak permohonan provisi Pemohon
III, Pemohon IV, Pemohon V, dan Pemohon VI.
Kemudian dalam pokok permohonan, satu, menyatakan permohonan
Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Dua, mengabulkan permohonan
pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan pemohon VI untuk sebagian. Majelis Hakim
MKRI juga menyatakan pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara
bersyarat sepanjang tidak dimaknai.
Anwar Usman Ketua Hakim MKRI menjelaskan undang-undang ini masih
tetap berlaku sampai dengan dilakukan perbaikan pembentukan sesuai dengan
tenggang waktu sebagaimana yang telah ditentukan dalam putusan ini. “Apabila
dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, maka UU Cipta Kerja
menjadi inkonstitusional secar permanen,” ucapnya di Gedung MKRI, Jakarta
Pusat, Kamis (25/11/2021).
Saat melakukan aksi demo untuk mencabut UU Cipta Kerja,
klaster ketenagakerjaan, Dwi Harto Sekretaris Jenderal DPP FSB NIKEUBA afiliasi
KSBSI mengatakan keputusan yang baru saja disampaikan oleh Hakim MKRI jelas
sangat tidak memihak pada kesejahteraan buruh. Padahal, selama persidangan JR
yang diajukan oleh salah satunya KSBSI secara formil, sangat banyak sekali
bukti bahwa pemerintah memang tidak mengikuti prosedur saat membuat UU Cipta
Kerja.
“Apalagi hari ini buruh semakin tertindas karena upah yang
diatur pemerintah harus mengacu pada PP Nomor.36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan,
dimana PP ini adalah turunan dari UU Cipta Kerja yang hanya memihak pada
kepentingan investor,” jelasnya.
Ia menegaskan selama ini pemerintah tidak pernah berterima
kasih kepada buruh. Karena buruh sangat berperan penting dalam roda
perekonomian negara. Namun ironisnya, dari rejim berganti rejim, upah dan
kesejahteraan buruh semakin dianaktirikan. Termasuk, penetapan upah minimum
tahun 2022 sebesar 1,09 persen sangat mengecewakan buruh.
Oleh sebab itulah, KSBSI tidak akan diam terhadap keputusan
tersebut dan akan membangun kekuatan untuk menekan pemerintah agar perbaikan UU
Cipta Kerja jangan sampai 2 tahun. “Kita harus menghormati keputusan Majelis
Hakim MKRI hari ini, tapi KSBSI akan membuat strategi baru dan melakukan
perlawanan secara hukum kedepannya,” jelasnya.
Selanjutnya, dia memberikan contoh terhadap penerapan Upah
Minimum Kabupaten/Kota (UMK) di Kabupaten Bogor Jawa Barat yang mengacu pada PP
Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahhan hasil produk UU Cipta kerja. Dimana,
telah diberlakukan upah batas atas dan batas bawah yang tidak memiliki kekuatan
hukum yang kuat.
“Jadi bisa dipastikan selama 10 tahun, buruh di Kabupaten
Bogor besar kemungkinan tidak mengalami kenaikan upah selama 10 tahun. Karena
alasan fomula PP Nomor 36 ini, akhirnya diputuskan UMK hanya sebesar 3,7 persen. Padahal, sebelumnya UMK
buruh di Kabupaten Bogor sebesar 4,2 persen,” jelasnya.
Dwi Harto juga menegaskan bahwa Keputusan Hakim MK dalam uji
materi dalam gugatan formil UU Cipta Kerja, Majelis Hakim dinilainya tidak
tegas serta penuh tekanan penguasa politik dan pengusaha. Padahal selama proses
persidangan terdapat banyak bukti bahwa pemerintah banyak melakukan pelanggaran
saat proses rancangan dan mensahkan UU Cipta Kerja. (A1)