KSBSI.org, JAKARTA- Menyikapi pelecehan maupun kasus kekerasan seksual terhadap perempuan semakin meningkat di Indonesia, aktivis serikat buruh dan perempun semakin mendesak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Parlemen segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Hal ini disampaikan dalam sikap pernyataan sikap melalui daring, Selasa (14/12/2021.
Baca juga: Waketum Kadin Setuju, Kesejahteraan Buruh ada di Struktur dan Skala Upah , Pernyataan Gubernur Banten Dianggap Merendahkan Martabat Buruh ,
Tiga perwakilan organisasi dan lembaga ini dari
Aliansi Pekerja/Buruh Sektor Garmen, Alas Kaki dan Tekstil (APBGATI), Yayasan
Sukma/ Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual), Gender Network
Platform.
Dalam siaran pers yang dipandu Sonya Hellen Sinombor
Wartawan Kompas, mereka menyampaikan pada 8 Desember 2021, Badan Legislatif
(Baleg) DPR menyepakati draf naskah RUU TP PKS dibawa ke rapat paripurna. Dan
akan diselenggarakan, Rabu, 15 Desember 2021, alias akhir masa sidang tahun
2021.
Oleh sebab itu, aktivis serikat buruh dan perempuan
mendesak DPR bersikap serius dan mengetok palu RUU TP PKS menjadi undang-undang
untuk melindungi korban. Termasuk, negara dianggap telah masuk status darurat
kekerasan seksual. Bahkan, ruang perlindungan terhadap perempuan semakin tidak
ada kepastian.
Berdasarkan data yang dirilis Kementerian Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak dalam Sistem Informasi Online Perlindungan
Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada 1 Januari hingga 9 Desember 2021, ada
7.693 kasus kekerasan terhadap perempuan yang 73,7 persennya merupakan kasus
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sedangkan, terdapat 10.832 kasus kekerasan
terhadap anak yang didominasi oleh kasus kekerasan seksual, yaitu sebanyak 59,7
persen.
Kemudian, jika melihat kasus kekerasan seksual di
dunia pendidikan dan institusi keagamaan menandakan makin tipisnya tempat aman
bagi perempuan. Data kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang
diadukan ke Komnas Perempuan untuk 2015-2020, pesantren menempati urutan kedua
setelah universitas. Termasuk kasus yang terjadi di beberapa lembaga negara dan
aparat penegak hukum belakangan banyak terungkap.
Di Indonesia sendiri, masalah kekerasan ditempat kerja
ini pernah dibahas oleh Trade Union Rights Centre (TURC) yakni yang merupakan
Non Government Organization (NGO) mengambil peran sebagai Pusat Studi dan
Advokasi Perburuhan.
Dimana mendukung peran serikat pekerja dalam
memperjuangkan hak-hak buruh serta kesejahteraan bagi buruh dan
keluarganya. Kekerasan di tempat kerja
mengkhawatirkan. TURC pada 2018 merilis bagaimana kondisi pekerja Indonesia
terkait dengan tindak kekerasan, pelecehan dan diskriminasi.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Perempuan
Mahardhika di KBN Cakung (2017) menunjukkan bahwa 56,5% buruh garmen perempuan
pernah mengalami pelecehan seksual dengan berbagai bentuk dan 93,6% dari korban
tidak melaporkan karena tidak ada mekanisme ditempat kerja.
Hasil penelitian yang sama juga menunjukkan angka 50%
buruh perempuan garmen merasa khawatir saat mengetahui kehamilannya karena
lingkungan kerja yang tidak ramah pada buruh hamil. Statistik serta fakta-fakta
terkait kekerasan yang terjadi di tempat kerja saat ini adalah pengingat kuat
bahwa kekerasan ditempat kerja lebih umum daripada yang dikira.
Dan menunjukkan bahwa beberapa pekerjaan lebih mungkin
menghadapinya serta mempengaruhi semua tingkat pekerja laki-laki dan perempuan
di berbagai industri. Secara khusus :
1. Memperkuat
pencegahan dan peran perusahaan dalam eliminasi kekerasan di tempat kerja
:
A. Dalam RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual,
dimasukkan kewajiban bagi pengusaha, manajemen perusahaan dan asosiasi bisnis
untuk secara aktif melakukan identifikasi, pencegahan dan pemulihan terhadap
isu kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.
B. Mewajibkan perusahaan untuk aktif menyelenggarakan
sosialisasi, pelatihan dan upaya peningkatan kapasitas bagi manajemen dan
perwakilan pekerja sebagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan dan
pelecehan seksual di dunia kerja dengan bekerja sama dengan serikat pekerja
dengan membentuk komite bersama di tingkat perusahaan.
2. Terbaru adalah kekerasan seksual yang dilakukan
oleh seorang guru pesantren terhadap belasan santri perempuan yang mengkibatkan
beberapa diantaranya hamil dan melahirkan anak. Kekerasan seksual yang
dilakukan aparat penegak hukum maupun dosen di perguruan tinggi dampak
kekerasan seksual terhadap korban dapat menghilangkan nyawa korban dan
kriminalisasi.
Fakta dan peristiwa diatas sudah cukup mengambarkan
betapa perempuan, anak perempuan dan
juga laki-laki sangat tidak terlindungi secara hukum. Jadi, sudah saatnya
segera disahkan Undang-undang yang melindungi dari kekerasan seksual dan
menjauhkannya dari kriminalisasi atas kekerasan seksual yang dialaminya.
Negara wajib memastikan tidak ada lagi korban kekerasan seksual yang tidak terlindungi sehingga membutuhkan penanganan terpadu dan komprehensif, pelaku dihukum dan tidak ada lagi hak-hak korban yang dilanggar, untuk itu Kami menyatakan dan mendorong: DPR R.I
1. Bamus sebagai Alat Kelengkapan Dewan untuk menjadwalkan pengesahan
RUU TPKS dalam agenda sidang Paripurna DPR RI pada 15 Desember 2021.
2. Sidang Paripurna DPR RI Draf RUU Tindak Pidana
Kekerasan Seksual yang telah ditetapkan di Baleg dengan didukung 7 fraksi
(FNasdem, F PDIP, F PKB, F Demokrat, F PPP, F PAN, F Gerindra) untuk disahkan
dalam Rapat Paripurna DPR RI tanggal 15 Desember 2021 sebagai RUU inisiatif DPR
dan memandatkan kepada Baleg untuk menindaklanjuti pembahasannya guna
percepatan pembahasan menjadi UU TP KS.
3. Baleg DPR RI
untuk segera menyampaikan RUU TP KS inisiatif DPR kepada Presiden untuk segera
dibahas bersama Pemerintah sebagai RUU Prioritas dalam Prolegnas 2022. Pemerintah
4.
Mengapresiasi Pemerintah telah membentuk Gugus Tugas lintas kementerian/lembaga
untuk mempercepat pembahasan RUU TPKS dan merekomendasikan kepada Pemerintah
untuk melibatkan lembaga HAM Independen seperti Komnas HAM, Komnas Perempuan,
KPAI, dan LPSK sebagai bagian dari Gugus Tugas.
DPR dan Pemerintah: 5. Memastikan keterlibatan unsur
masyarakat yang memberikan dukungan pada RUU TP KS dan pendapat korban dalam pembahasan RUU TP KS.
Gugus tugas Pemerintah dan DPR RI dengan membuka
ruang-ruang partisipasi bagi masyarakat dan korban sebagaimana diatur dalam UU
No 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, sebagaimana
telah diubah dengan UU No 15 Tahun 2019, membuka ruang lebar partisipasi
politik rakyat dalam segala proses tahapan pembentukan undang-undang.
APBGATI beranggotakan 6 federasi/konfederasi serikat pekerja yaitu FKSPN, KSBSI92, FSP
TSK-SPSI, FSB GARTEKS KSBSI, FSP TSK KSPSI dan RTMM Garteks K-SARBUMUSI dan
FSBPI mewakili 70% pekerja garmen, alas kaki & tekstil produk tekstil
ekspor dengan total sekitar 850.000 anggota. Sebagian besar dari pekerja di
sektor ini adalah perempuan.
Gender Network Platform adalah forum multistakeholder
yang aktif mendiskusikan isu kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja,
sedangkan Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual merupakan
forum yang terdiri dari LSM dan individu yang aktif dalam advokasi terhadap
kekerasan terhadap perempuan. Dan
perwakilan yang menyampaikan siaran pers tersebut adalah Eva Risan Yayasan
Sukma/ Jaringan Pembela Hak Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Jumisih
mewakili APBGATI, terakhir Amalia Falah Alam dari Gender Network Platform. (AH)