Yatini : Kementerian dan Lembaga Negara, Dalam Urusan PMI Saat Ini Tidak Terlihat Bersinergi

Yatini : Kementerian dan Lembaga Negara, Dalam Urusan PMI Saat Ini Tidak Terlihat Bersinergi

Yatini Sulistyowati Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI

KSBSI.org, JAKARTA-Hari Buruh Migran Internasional baru saja dirayakan setiap tanggal 18 Desember. Momen peringatan tahun ini, Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menegaskan nasib Pekerja Migran Indonesia (PMI) yang bekerja diluar negeri masih banyak belum diperhatikan pemerintah. Penegakan hukum untuk memberantas mafia perdagangan orang (human trafficking) juga masih jauh dari harapan.

Baca juga:  Konvensi ILO 190 Dan Sebab Mangkraknya Kekerasan Pelecehan Seksual Di Tempat Kerja,

Yatini Sulistyowati Ketua Departemen Buruh Migran KSBSI mengatakan catatan kasus korban Pekerja Migran Indonesia (PMI) menjelang akhir tahun 2021 sangat memprihatinkan. Pemerintah sendiri dianggapnya tak serius memperhatikan nasib mereka. Baik dalam pengawasan saat Calon Pekerja Migran Indonesia (CPMI) maupun jaminan perlindungannya selama bekerja di luar negeri.

“Terakhir saya bersama Jaringan Buruh Migran (JBM) mendesak pemerintah mengusut kasus kapal yang tenggelam di perairan  Tanjung Balau, Kota Tinggi, Johor Malaysia, pada 15 Desember lalu. Kejadian itu menyebab 18 CPMI tewas dan 22 orang lainnya masih dinyatakan hilang,” ucap Yatini saat diwawancarai, Jakarta (21/12/2021).

Kejadian ini menunjukan pemerintah masih lemah dalam pengawasan ketenagakerjaan terhadap CPMI didaerah-daerah perbatasan negara Indonesia. Berbagai kasus yang timbul ini juga dampak implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia  yang tidak maksimal dijalankan. Termasuk aturan turunannya banyak sekali mandat peraturan yang dibuat juga saling tumpang tindih.

“Salah satunya seperti Peraturan Pemerintah (PP) dalam pengawasan justru dicampur aduk dalam urusan perlindungan. Bagi saya kebijakan ini salah fatal, karena peraturan yang dibuat tidak diatur secara rinci sehingga menjadi tumpang tindih,” ujarnya.

Selain itu, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) soal penempatan Anak Buah Kapal (ABK) bagi CPMI yang bekerja di luar negeri sampai hari juga belum dikeluarkan pemerintah. Hal ini disebabkan ada tarik menarik kepentingan antara Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker). Termasuk, Kementerian Koordinator Bidang Maritim dan Investasi juga ikut campur.

“Kami duga, tarik menarik urusan RPP ABK ini memang ada latar belakang kepentingan bisnis. Sementara kasus ABK kita di luar negeri semakin runyam, masih banyak belum ditangani,” ungkapnya.

Yatini mengatakan, kementerian dan lembaga negara yang ditugaskan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam urusan PMI saat ini tidak terlihat bersinergi. Terbukti, antara Kemnaker dan Badan Pelindung Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) masing-masing telah membentuk Satuan Tugas (Satgas) PMI.

“Bahkan saat parayaan Migran Day beberapa waktu lalu, Kemnaker dan BP2MI merayakannya masing-masing. Sehingga singkronisasi dan kolaborasi dua kelembagaan negara ini terlihat tidak ada,” ungkapnya.

Kemudian, pemerintah dalam penindakan kasus yang menimpa CPMI pun masih sekadar pencitraan. Kalau menangani kasus kecil langsung dipublikasikan. Namun waktu dihadapkan kasus besar tidak terlihat keseriusannya. Dimasa pandemi Covid-19 ini, dia menemukan kasus bahwa banyak korban yang terbengkalai tidak diberangkatkan oleh perusahaan penyalur CPMI  ke luar negeri.

“Sebagian lagi CPMI ini diberangkatkan oleh perusahaan penyalur melalui jalur ilegal lewat jalur perbatasan negara dan banyak diantara mereka akhirnya tertangkap,” ungkapnya.

Salah satu contohnya CPMI di Kabupaten Tulungagung Jawa Timur. Oleh perusahaan penyalur, korban dijanjikan berangkat bekerja ke Negara Polandia. Tapi ujung-unjungnya mereka kena tipu. Padahal uang yang sudah dikeluarkan korban rata-rata dari Rp.35 sampai 80 juta.

“Masih ditempat yang sama, ada CPMI  di iming-imingi bekerja di Amerika Serikat, tapi dokumen dan paspornya dibuat menjadi warga negara tersebut, sehingga menyalahi peraturan. Lalu ada juga yang dijanjikan bekerja ke Irak, padahal status negara tersebut masih status konflik senjata,” terangnya.

Yatini menyampaikan untuk kasus 27 CPMI di Tulungagung yang dijanjikan bekerja di Polandia sebenarnya sudah dilaporkan ke Polda Jawa Timur. Sekarang ini proses hukumnya sedang berjalan dan oknum pelaku dari perusahaan sudah ditahan dan sedang menunggu putusan dari pengadilan.

Mengingat kasus PMI ilegal dan perdagangan orang (human trafficking) menjelang akhir 2021 ini meningkat, Departemen Buruh Migran KSBSI bersama mitra kerjanya mendesak Presiden Jokowi turun tangan. Sebab, 17 birokrasi negara yang ditugaskan untuk memberikan pelayanan kepada PMI tidak maksimal bekerja.

“Yang kami lihat sekarang ini, pejabat negara yang mengurusi PMI terlihat saling konflik dan ada kesan cari uang. Sehingga tidak ada koordinasi yang baik lintas kementerian. Jadi ada baiknya Jokowi saja yang mengambil alih tugas ini dengan sistem satu pintu. Agar dari pengawasan, penempatan serta perlindungan langsung dibawah intruksi presiden,” lugasnya.     

Yatini menyarankan pemerintah jangan alergi melibatkan masyarakat dan aktivis serikat buruh. Sebab, fakta dilapangan, masih banyak oknum seperti dari Dinas Ketenagakerjaan (Disnaker) memang tidak suka jika ada aktivis buruh ikut telibat pendampingan advokasi. Maupun melaporkan perusahaan penyalur ketenagakerjaan yang bermasalah karena menipu  PMI.  

“Tapi tidak semua birokrat alergi. Beberapa waktu Satgas PMI Kemenaker berhasil membongkar dan menutup perusahaan penyalur ketenagakerjaan ke luar negeri terbukti bersalah. Bahkan, pelakunya sudah dijebloskan ke penjara,” ungkapnya.          

Dia memaklumi, masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum dalam melindungi PMI karena masih mengalami transisi UU Nomor 18 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Ditambah lagi, faktor pandemi Covid-19 semakin membuat situasi sulit, sehingga kondisi PMI yang bekerja diluar negeri banyak terabaikan.

Terakhir, dia menyampaikan pemerintah harus menghormati status PMI. Karena sudah menjadi pahlawan penyumbang devisa negara. Pada 2016 World Bank pernah membuat survei, bahwa PMI berhasil menyumbang Rp118 triliun setiap tahunnya,” tutup Yatini. (A1) 

 

Komentar