KSBSI.org, JAKARTA-Sampai hari ini, 1 April 2022, sudah 4 (empat) bulan Mahkamah Konstitusi (MK) memerintahkan pembentuk Undang-undang, dalam hal ini Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan perbaikan terhadap Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja). Namun sejauh yang penulis ketahui, masyarakat belum pernah mendengar Presiden/Pemerintah dan DPR telah melakukan proses perbaikan itu. Presiden/Pemerintah dan DPR selaku lembaga yang berwenang memperbaiki belum pernah mengajak partisipasi publik, apalagi stakeholder, untuk memperbaiki. Bahkan publikasi pun belum pernah dilakukan secara transparan.
Baca juga: Merdeka Atau Mati Celaka,
Kalangan unionis berprediksi dengan
mengatakan, anggota DPR sudah sibuk mengurus daerah pemilihannya (dapil) karena
sebentar lagi sudah pemilihan legislatif (pileg). Dikatakan pula, semoga mereka
tidak memperbaikinya supaya UU Cipta Kerja itu menjadi inkonstitusional
permanen, sehingga UU 13/2003 kembali kepangkuan buruh. Namun terlepas dari
prediksi kalangan unionis itu, perlu juga disampaikan masukan kepada Pemerintah
dan DPR, manatahu mereka melakukan perbaikan secara tertutup sama seperti jilid
pertama.
Ada
2 (dua) Undang-undang Yang Harus Diperbaiki
Pertama, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 20019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3). Dan kedua,
UU Cipta Kerja itu sendiri. Hal ini dapat diketahui dari amar dan pertimbangan
hukum putusan Nomor 91/PUUXVIII/2020. Pertimbangan hukum MK dalam paragraf [3.20.3] menyatakan, “… dengan ini Mahkamah
memerintahkan agar segera dibentuk landasan hukum yang baku untuk dapat menjadi
pedoman di dalam pembentukan undang-undang dengan menggunakan metode omnibus
law yang mempunyai sifat kekhususan tersebut. …” Kemudian pertimbangan
hukum itu dikonkritkan dalam amar angka 5 yang menyatakan, “Memerintahkan
kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu
paling lama 2 (dua) tahun sejak putusan ini diucapkan dan apabila dalam
tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan maka Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja … menjadi inkonstitusional secara permanen;”
Dalam paragraf [3.21] MK juga memberi pertimbangan hukum meminta pembentuk
Undang-undang memperbaiki substansi UU Cipta Kerja yang dipersoalkan stakeholder
dalam permohonan pengujian materiil di MK.
Perbaikan
Proses
Membaca pertimbangan hukum putusan Nomor
91/PUU-XVIII/2020, arah model omnibus law yang sesuai dengan UUD 1945 menurut
MK adalah model omnibus law perklaster, bukan model omnibus law yang
mencakup semua (11) klaster. Misalnya Klaster Ketenagakerjaan dibuat dalam 1
(satu) Undang-undang dengan model omnibus law menampung 8 (delapan) Undang-undang yang berkaitan
dengan ketenagakerjaan yang saat ini memang penting dan mendesak diubah, yaitu 1.
UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan; 2. UU Nomor 21 Tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serkat Buruh; 3. UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial; 4. UU Nomor 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan;
5. UU Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja; 6. UU Nomor 40 Tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional; 7. UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan
Penyelenggara Jaminan Sosial; 8. UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan
Pekerja Migran Indonesia.
Kenapa
Perklaster
Karena antara, misalnya ketentuan uang
pesangon dalam Klaster Ketenagakerjaan dengan ketentuan impor komoditas
perikanan dan pergaraman yang diatur dalam Klaster Kemudahan Berusaha sama
sekali tidak memiliki kaitan. Kaitan ada jika misalnya “ikan mendapat uang
pesangon”. Sehingga menurut MK model omnibus law UU Cipta Kerja menjadi
sulit dipahami (baca paragraf [3.18.2.5]).
Perbaikan
Substansi
Selain perbaikan proses pembentukan UU Cipta
Kerja dengan mengubah UU P3, MK juga dalam putusannya meminta
Presiden/Pemerintah dan DPR untuk memperbaiki substansi atau ketentuan-ketentuan
atau norma hukum yang diatur dalam UU Cipta Kerja. Hal itu dapat dilihat dalam
pertimbangan hukum paragraf [3.21] yang menyatakan sebagai berikut, “Menimbang
bahwa tanpa bermaksud menilai konstitusionalitas materiil UU a quo, oleh
karena terhadap UU a quo banyak diajukan permohonan pengujian secara
materiil di Mahkamah, sementara Mahkamah belum mengadili UU a quo secara
materiil maka dalam melakukan perbaikan proses pembentukan UU a quo,
pembentuk undang-undang memiliki kesempatan untuk mengkaji kembali beberapa
substansi yang menjadi keberatan dari beberapa kelompok masyarakat.”
Apa
Ukuran Perbaikan Substansi
Ukuran
perbaikan substansi harus sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan standar
perburuhan internasional (ILO). Lebih konkrit, ikuti pendapat/pertimbangan hukum
2 Hakim Konstitusi Arief Hidayat dan Anwar Usman dalam dissenting opinion
(pendapat berbeda)-nya dalam perkara yang diajukan Konfederasi Serikat Buruh
Seluruh Indonesia (KSBSI), yaitu putusan Nomor 103/PUU-XVIII/2020 pada angka 6,
halaman 490-504. Kedua Hakim Konstitusi itu menyatakan pada pokoknya,
permohonan uji materiil yang diajukan Pemohon KSBSI dalam perkara Nomor
103/PUU-XVIII/2020 dapat dikabulkan sepanjang yang terkait dengan isu PKWT,
alih daya (outsourcing), pengupahan dan pesangon karena bertentangan
dengan UUD 1945.
Pengabulan permohonan
KSBSI tersebut menurut kedua Hakim Konstitusi itu disebabkan antara lain: Tentang
PKWT: Posisi pekerja selalu berada dalam posisi yang lemah dan tidak setara
dengan pengusaha; Mutlak diatur limitasi Jangka waktu PKWT mutlak diatur dalam
UU; Jangka waktu PKWT paling lama 3,5 tahun (2,5 + 1); Janka waktu PKWT terlalu lama berpotensi
mereduksi hak konstitusional pekerja; Pekerjaan yang bersifat tetap tidak boleh
diakali dengan menggunakan PKWT; Jangka waktu PKWT tidak bisa hanya ditentukan oleh
Pemerintah saja melalui PP, melainkan juga harus ditentukan oleh DPR dan
Pemerintah melalui instrumen hukum UU.
Tentang Outsourcing: Pasal 66 UU Ciptaker tidak memberikan
perlindungan dan penghargaan yang memadai terhadap pekerja yang telah
meningkatkan skill dan keahliannya dalam hubungan kerja sehingga pasal a quo
bertentangan dengan UUD 1945. Tentang Pengupahan: Ketiadaan pengaturan
terkait Upah Minimum Sektor dalam UU Ciptaker merupakan suatu ketidakadilan
yang bertentangan dengan UUD 1945. Sebab, setiap industri memiliki karakter dan
sifat yang berbeda dengan industri lainnya. Misal, industri di sektor
pertambangan pastinya berbeda dengan industri di sektor perbankan; Penetapan
UMP/K dan UMSP/K harus memperhatikan rekomendasi dari Dewan Pengupahan
Provinsi/Kabupaten/Kota. Hal ini merupakan upaya campur tangan negara dan wujud
implementasi dari prinsip negara kesejahteraan (religious welfare state)
yang kita adopsi, untuk melindungi hak atas penghidupan yang layak bagi
warganya.
Tentang PHK dan Pesangon: Pertama, 14 pasal PHK dan pesangon tidak memuat
materi muatan perubahan pasal-pasal UU Ketenagakerjaan, sehingga materi muatan
dimaksud dimuat di dalam PP 35 Tahun 2021; Kedua, materi muatan
PP 35 Tahun 2021 bertentangan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 28D ayat (2)
UUD 1945 karena mengatur jumlah pembayaran uang pesangon dengan nominal lebih
rendah dari ketentuan yang sebelumnya; Ketiga, konstitusionalitas
UU Ciptaker dapat digantungkan pada Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksana
ketentuan dimaksud, sehingga apabila materi muatan PP bertentangan dengan UUD
1945, maka secara serta merta materi muatan UU Ciptaker bertentangan dengan UUD
1945.
Kesimpulan
Berangkat
dari fakta-fakta tersebut di atas maka pembentuk Undang-undang, dalam hal ini
Presiden dan DPR harus melakukan perbaikan proses pembentukan UU Cipta Kerja dengan
merevisi UU P3 untuk menampung perubahan berbagai Undang-undang yang mengatur
kepentingan yang sama dalam satu Undang-undang. Selain itu, Presiden dan DPR
harus juga memperbaiki substansi UU Cipta Kerja dengan ukuran sesuai
nilai-nilai Pancasila, UUD 1945 dan standar perburuhan internasional (ILO), dan
lebih konkrit, mengacu pada pendapat/pertimbangan
hukum 2 Hakim Konstitusi Prof. Dr. Arief Hidayat, S.H., M.S., dan Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.
_______
Penulis :Harris Manalu, S.H.: Ketua LBH
KSBSI