Catatan Kritis Sekjen KSBSI Atas Disahkannya UU PPP

Catatan Kritis Sekjen KSBSI Atas Disahkannya UU PPP

.

KSBSI.org, JAKARTA- Revisi Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) sudah disahkan pada bulan Mei 2022 lalu oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Parlemen Senayan. Elit DPR menyampaikan revisi ini dilakukan untuk mengatur penyusunan peraturan perundang-undangan dapat menggunakan metode omnibus law. Serta penanganan pengujian peraturan perundang-undangan dan asas keterbukaan.

Baca juga:  Edward Parsaulian Marpaung, Kader KSBSI Maju Bertarung Seleksi Komisioner Komnas HAM,

Dedi Hardianto Sekretaris Jenderal (Sekjen) Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan serikat buruhnya tetap bersikap kritis atas disahkannya revisi UU PPP. Tapi KSBSI, punya pandangan sendiri menyikapinya. Sebab, undang-undang ini sengaja di revisi karena dilatarbelakangi penolakan serikat buruh atas lahirnya omnimbus law UU Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Apalagi saat KSBSI bersama serikat pekerja/serikat buruh lainnya melakukan judical review, Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) sudah tegas mengatakan omnibus law itu tidak dikenal di Indonesia. Kemudian, Hakim MKRI memutuskan UU Cipta Kerja ‘Inkonstitusional Bersyarat’ dan harus diperbaiki oleh DPR secara bersyarat selama 2 tahun.

“Tapi yang kami sesalkan, ketika DPR ditugaskan untuk merevisi UU Cipta Kerja, justru sebaliknya lebih mengutamakan revisi UU PPP. Sehingga sangat sarat kepentingan politik untuk menyelamatkan UU Cipta Kerja yang lagi bermasalah,” ucapnya di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur, beberapa waktu lalu. 

Dedi menegaskan, ketika  DPR melakukan revisi UU PPP sebenarnya bukan memberikan solusi. Justru bisa menambah masalah baru. KSBSI bisa saja nantinya melawan UU PPP secara konstitusi, kalau terdapat pasal-pasal yang bertentangan dengan UUD 1945.  Jadi buruh tidak hanya melakukan aksi demo saja.

Kemudian, terkait keputusan revisi UU Cipta Kerja yang akan dikerjakan DPR, dia mengatakan pemerintah jangan memaksakan kluster ketenagakerjaan masuk dalam undang-undang tersebut. Karena dari 11 kluster dalam undang-undang ini, yang paling krusial itu memang masalah hak perburuhan.

Oleh sebab itu, dia menyarankan agar pemerintah harus duduk bersama perwakilan serikat buruh/serikat pekerja untuk berdialog. Pemerintah juga jangan menilai saat buruh menolak UU Cipta Kerja dianggap momok yang menghambat investasi masuk ke Indonesia.

KSBSI sendiri tidak pernah menolak keseluruhan UU Cipta Kerja dan anti investasi. Namun yang kami tolah dari undang-undang ini, terdapat pasal yang mendegradasi hak buruh. Terutama kelangsungan buruh tetap bekerja di perusahaan semakin tak ada kepastian untuk masa depannya.

“Kalau UU Cipta Kerja diciptakan hanya menimbulkan kegaduhan politik saya pikir tak ada manfaatnya. Karena itulah, konsep dialog sosial itu wajib dijalankan. Pemerintah harus mengajak perwakilan pengusaha dan serikat buruh untuk duduk bersama mencari solusinya. Hal ini sesuai amanah UUD 1945 yang mengedepankan musyawarah dan mufakat untuk mencari solusinya,” tegas Dedi. 

Intinya, ia mengatakan tuntutan aktivis serikat buruh sebenarnya sederhana. Hanya meminta mengeluarkan kluster ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja. Sebab undang-undang ini awalnya memang inisiatif dari pemerintah. Nah, kalau kluster ketenagakerjaan dicampuradukan ke dalam undang-undang ini, justru menimbulkan kegaduhan politik.

“Kami hanya meminta kepada pemerintah untuk mengkaji ulang UU Cipta Kerja, khususnya pada kluster ketenagkerjaan. Sebab, Hakim MK sendiri sudah memutuskan undang-undang ini inkonstitusional bersyarat selama 2 tahun. Jadi masih ada waktu untuk memperbaikinya dengan membuat secara khusus naskah akademik UU Ketenagakerjaan yang baru,” terangnya.

Dengan dibuatnya naskah akademik UU Ketenagakerjaan yang baru, pemerintah, pengusaha dan serikat buruh bisa duduk berunding untuk membuat aturan investasi yang bisa menguntungkan semua pihak. Jadi, harapan KSBSI adalah saat pemerintah membuat UU Ketenagakerjaan itu jangan menguntungkan pengusaha saja.

“Tapi keputusan yang dibuat adalah ‘jalan tengah’ yang tidak merugikan semua pihak. Kalau semua diuntungkan maka dunia usaha berjalan baik dan serikat buruh tumbuh besar di tiap perusahaan. Saya pikir masih ada waktu untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan yang baru,” jelasnya.

Sebagai catatan evaluasi, Dedi tak membantah bahwa pasca disahkannya UU Cipta Kerja dan UU PPP, kondisi gerakan buruh belum solid, karena memiliki sikap masing-masing. Hal tersebut wajar saja dalam dinamika demokrasi. Karena tujuan semua serikat buruh hari masih tetap membela kepentingan buruh.

“Tapi saya yakin, pada waktunya nanti semua elemen serikat buruh akan duduk bersama melakukan konsolidasi untuk memperkuat posisi tawar gerakan buruh,” ucapnya.

“Saat ini gerakan KSBSI lebih mengedepankan dialog sosial. Namun bukan berarti meninggalkan gerakan aksi demo, kalau ada kebijakan pemerintah yang tidak memihak kepentingan buruh,” tutupnya. (AH)

  

      

 

 

Komentar