Kemnaker Dianggap Tak Ada Niat Serius Meratifikasi Konvensi ILO Nomor 190

  Kemnaker Dianggap Tak Ada Niat Serius Meratifikasi Konvensi ILO Nomor 190

.

KSBSI.org,JAKARTA-Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja melakukan aksi demo untuk mendesak pemerintah melakukan ratifikasi Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 190 tahun 2019 Tentang Penghapusan Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja. Unjuk rasa yang dimulai pukul 10.00 WIB ini dilakukan di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker ) Jakarta Selatan, Selasa (21/6/2022).

Baca juga:  Peringati Hari Pengungsi Sedunia, ITUC: Bangun Solidaritas Untuk Korban Pengungsi Dunia ,

Massa aksi demo ini sebagian besar dari lintas serikat buruh/serikat pekerja dan aktivis perempuan. Saat melakukan aksi demo, mereka membentangkan poster untuk melawan intimidasi, kekerasan dan pelecehan seksual yang masih marak di dunia kerja. Sambil meneriakan pemerintah agar segera  meratifikasi Konvensi ILO Nomor.190. 


Dian Septi salah satu penanggung jawab unjuk rasa dalam orasinya mengatakan pemerintah tidak memiliki niat serius untuk meratifikasi Konvensi ILO Nomor 190. Padahal, selama ini aktivis buruh sudah sangat gencar mengkampanyekannya. Termasuk mensosialisasikannya ke Kemnaker dalam bentuk sosialisasi dan dialog. 

“Konvensi ILO Nomor 190 diterbitkan International Labour Organization pada 2019. Artinya, konvensi ini sudah berjalan 3 tahun dan sudah 18 negara yang melakukan ratifikasi. Tapi kami sangat heran dengan pemerintah, sampai hari ini tak ada niat serius meratifikasi konvensi ini,” ucapnya.

Setelah lebih dari 1 jam melakukan aksi demo, akhirnya perwakilan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja diterima oleh perwakilan Biro Humas, Biro Kepengawasan Ketenagakerjaan dan Biro Kajian Hukum Kemnaker. Dalam dialog tersebut, Maria Emeninta perwakilan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menegaskan Kemnaker harus serius meratifikasi Konvensi ILO No.190. 

Dia menegaskan tujuan Konvensi ILO Nomor 190 ini salah satunya untuk lebih melindungi pekerja sektor informal, seperti pekerja digital. Walau Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) baru saja disahkan pemerintah, namun belum mengakomodir kepentingan semua pekerja. Supaya  mendapat perlindungan hukum dari kejahatan kekerasan dan pelecehan seksual di dunia kerja.


“Dengan melakukan ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190, maka  semua pekerja di lingkungan kerja mereka bisa mendapat jaminan hukum tanpa ada diskriminasi,” ungkapnya.

Salah satu perwakilan Biro Kajian Hukum Kemnaker pun akhirnya merespon, dengan mengatakan pihaknya sekarang ini masih melakukan kajian Konvensi ILO Nomor 190. Kemnaker berharap agar aktivis serikat buruh  dan aktivis perempuan untuk bersabar, sampai kajian yang sedang dibahas selesai.

Menyikapi hal itu, Maria berpendapat, ada baiknya perwakilan Aliansi Stop Kekerasan dan Pelecehan di Dunia Kerja dilibatkan untuk memberikan saran dan gagasan. Supaya kajian ratifikasi Konvensi ILO Nomor 190 yang dibuat pemerintah nantinya tidak menjadi polemik.  

Hasil survei yang diadakan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nasional (KSPN) di tahun 2022 dengan total 691 responden mendapatkan data, sebanyak 13% (90 responden) pernah mengalami kekerasan berbentuk fisik. Sejumlah 477 responden (69,03%) mengalami kekerasan verbal, 119 responden (17,22%) mengalami kekerasan ekonomi, dan 50 responden (7,24%) mengalami kekerasan seksual

Para jurnalis perempuan juga mengalami diskriminasi dalam bekerja. Riset terbaru yang dilakukan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) tahun 2022 menemukan data bahwa diskriminasi gender di media banyak terjadi. Survei yang  melibatkan 405 jurnalis perempuan di 34 provinsi di Indonesia per tanggal 4-18 April 2022 mendapat data para jurnalis perempuan mengalami diskriminasi gender dalam hal pemberian remunerasi di tempat mereka bekerja. Ini mencakup pemberian gaji pokok, bonus, dan tunjangan.

Kasus eksploitasi tenaga kerja juga dialami para pekerja seni dan industri kreatif. Riset yang dikeluarkan Serikat Sindikasi bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) di tahun 2022 mencatat adanya eksploitase kerja yang menimpa para pekerja film yang bekerja 16-20 jam dalam satu hari syuting, ini artinya mereka berada dalam situasi kesehatan fisik dan mental yang sangat berbahaya. 

Kondisi para pekerja yang bekerja selama 16-20 jam ini dianggap sebagai sesuatu yang lazim, sudah berlangsung lama dan dinormalisasi dari zaman ke zaman. Riset Koalisi Seni di tahun 2021 juga menunjukkan secara umum jika perempuan pekerja seni cenderung bekerja dengan intensitas kerja tinggi dan beban emosional besar, tidak dibekali keterampilan kerja yang cukup, kurang punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, dan bekerja dengan durasi panjang.

Di industri manufaktur/ garmen, selama pandemi, pekerja perempuan garmen dipaksa bekerja dengan jam kerja yang makin panjang dengan upah lebih rendah akibat pemotongan upah berdalih no work no pay (pencurian upah).  Berdasarkan catatan AFWA, selama pandemi di tahun 2020, 21 persen pekerja garmen mengalami pencurian upah yang berakibat penurunan upah hingga 37% dan berimbas pada jatuhnya daya beli pekerja. 

Sementara, pekerja perempuan garmen masih harus mengemban pekerjaan rumah tangga dengan harga kebutuhan pokok yang terus meningkat tanpa kebijakan kontrol harga yang berarti. Aktivis yang bergabung dalam aliansi ini dari KSBSI,  FSPBI,  KPBI, Perempuan Mahardika,  SPN,  KSPI, Jala PRT,  KSPN, Serikat Sindikasi, TURC,  AFWA, Yapesdi, Never Okay Project, Komde.co. (A1)

Komentar