KSBSI.org, JAKARTA-Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) berencana mensahkan draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada Juli 2022 nanti. Sebelumnya, Rancangan KUHP ini sempat bermasalah tahun 2019 lalu. Dan terjadi demo-besar-besaran yang dilakukan mahasiswa sehingga terjadi kerusuhan, dari Ibukota Jakarta sampai ke berbagai daerah. Lalu Presiden Joko Widodo (Jokowi) memerintahkan wakil rakyat di Gedung Parlemen Senayan agar ditunda untuk sementara waktu.
Baca juga: Peringati Hari Pengungsi Sedunia, ITUC: Bangun Solidaritas Untuk Korban Pengungsi Dunia ,
Nah, saat Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkum HAM)
bersama DPR sedang kejar target untuk mensahkannya ternyata menuai
kontroversial. Pasalnya, beberapa pasal dari RKUHP ini dinilai mengancam
demokrasi. Sebab terdapat pasal menegaskan bagi masyarakat yang menghina,
seperti anggota, DPR, Polisi, Jaksa, hingga Wali Kota, bisa dipenjara yang pada
Pasal 353 ayat 1.
Dimana berbunyi ‘Setiap orang yang di muka umum dengan
lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda
paling banyak kategori II’.
Maksud pemerintah dari ketentuan dari pasal ini agar
kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati, oleh karena itu apabila melakukan
perbuatan menghina, maka dipidana berdasarkan ketentuan. Kekuasaan umum atau
lembaga negara dalam ketentuan ini antara lain DPR RI, DPRD, polisi, jaksa,
gubernur atau bupati/walikota.
Dalam hal perbuatan diatas, kerusuhan dalam masyarakat
bisa dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun atau pidana denda
paling banyak kategori III. Tapi Kemenkum HAM menyampaikan, bahwa pasal
penghinaan RKUHP mengacu pada delik aduan, bukan delik umum. Sebab tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 (satu) hanya dapat dituntut berdasarkan
aduan pihak yang dihina, sesuai Pasal 353 Ayat 3.
Sani Abdullah praktisi hukum dan Anggota Majelis
Penasehat Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (MPO
KSBSI), menilai RKUHP terkait pasal penghinaan masih normatif. Sebab dalam tafsir
penghinaan kekuasaan hukum atau lembaga negara, ia mengatakan aparat hukum
tidak bisa langsung menangkap masyarakat, apabila dianggap menghina.
Karena dalam draf Rancangan KUHP sudah dijelaskan bahwa
pasal penghinaan harus ada delik aduan, bukan delik umum. Contohnya, bila ada
seorang aktivis yang dianggap menghina lembaga negara didepan publik, aparat
hukum tidak bisa langsung menangkap.
“Namun harus ada pihak ketiga yang melaporkannya
dahulu ke kepolisian dengan membawa unsur-unsur bukti penghinaan,” ucap Sani,
di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur, Rabu (15/6/2022).
Nah, selama ada pihak ketiga tidak ada yang mengadu,
maka proses hukumnya juga tidak berlaku. Jadi polisi tidak bisa langsung main tangkap.
Kalau asal main tangkap, KSBSI pun pasti bakal menolak keras Rancangan KUHP. Karena
KSBSI dikenal sering bersikap kritis terhadap pemerintah dan sering aksi demo.
Sani mengatakan sejauh ini draf Rancang KUHP yang
disusun Kemenkum HAM masih bersifat netral, terkait tafsir soal pasal
penghinaan. Kalaupun ada yang pihak yang memperdebatkan pasal tersebut
merupakan hal yang wajar dalam demokrasi. Dia berharap, pemerintah dan DPR bisa
membuka ruang dialog agar tidak menimbulkan polemik yang makin panas.
Selain itu,
pasal penghinaan dalam Rancangan KUHP juga berlaku bagi masyarakat yang
dianggap menghina lembaga negara kewat media sosial. Dimana dalam pasal 354
berbunyi ‘Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukan, atau menempelkan
tulisan atau gambar atau memperdengarkan rekaman, atau menyebarluaskan melalui
sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau
lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui atau lebih
diketahui oleh umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun
atau pidana denda paling banyak kategori III. (A1)