Wakil Rakyat di Gedung Parlemen Senayan telah menyetujui Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) menjadi RUU inisiatif. Keputusan persetujuan disampaikan pada Rapat Paripurna Ke-26 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2021-2022. di ruang rapat Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022).
Baca juga: Malaysia Krisis Tenaga Kerja, Salah Satunya Sektor Perkebunan Kelapa Sawit, Ini Pendapat Aktivis Buruh Migran KSBSI ,
"Sembilan
fraksi telah menyampaikan pendapat fraksinya masing-masing. Dan memutuskan RUU
KIA disetujui menjadi RUU usul DPR RI,” ucap Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad
selaku pimpinan rapat.
Tapi RUU KIA saat ini menuai pro-kontra ditengah
masyarakat. Pasalnya, terdapat pasal yang menegaskan bahwa perempuan pekerja yang
melahirkan diusulkan mendapat cuti selama 6 bulan. Tetap memperoleh gaji dan jaminan
sosial dari perusahaan. Penetapan cuti melahirkan ini sebenarnya sudah diatur
dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Tenaga Kerja. Dimana diberikan selama 3
bulan.
Namun bagi pelaku bisnis seperti Asosiasi
Pengusaha Indonesia (APINDO) langsung menegaskan keberatan dengan RUU KIA. Pasalnya
RUU tersebut bisa mengancam keberlangsungan usaha bisnis. Apalagi, dampak
pandemi Covid-19 telah banyak mengakibatkan pengusaha terpuruk dan masih sulit
untuk bangkit.
Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani
menyampaikan ada beberapa alasan yang menjadi latar belakang penolakan terhadap
RUU KIA. Diantaranya membawa dampak
terhadap mengecilnya kesempatan kerja untuk perempuan. Kemudian, berdasarkan data
BPS tahun 2021 menunjukkan Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) perempuan
sebesar 53,34% adalah masih sangat jauh tertinggal dibandingkan dengan TPAK
laki laki sebesar 82,27%.
“Dengan penambahan waktu istirahat
melahirkan menjadi 6 (enam) bulan dan kesempatan suami menampingi istrinya
sampai 40 (empat puluh) hari dikhawatirkan akan kontra produktif terhadap upaya
perluasan kesempatan kerja perempuan," ungkapnya.
Apindo menilai penambahan hari istirahat
melahirkan dan pendampingan ini harus dilihat secara komprehensif karena di
satu sisi memang memberikan perlindungan yang maksimal bagi pekerja perempuan.
Faktor lainnya, semakin lama cuti, maka semakin lama juga posisi tersebut
kosong. Akibatnya, perusahaan perlu mengeluarkan uang lebih untuk menambalnya.
Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi
Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan agar RUU KIA sebaiknya perlu
dikaji secara jernih. Karena faktanya, banyak buruh perempuan pasca cuti hamil
3 bulan sesuai aturan UU Nomor.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan justru di
mutasi dari pekerjaan awalnya. Bahkan ada terkena Pemutusan Hubungan Kerja
(PHK).
“Nah, masalah kasus ini yang sangat jarang
diketahui DPR. Jadi tidak perlu ngotot membuat undang-undang, kalau hasilnya
nanti mengecewakan. Jadi alangkah baiknya DPR sekarang ini perjuangkan saja
dulu cuti 14 minggu bagi pekerja perempuan yang melahirkan,” ucapnya. (AH)