Dari Seoul, Aktivis Serikat Buruh Progresif Suarakan Sikap Kritis tentang Perubahan Iklim

Dari Seoul, Aktivis Serikat Buruh Progresif Suarakan Sikap Kritis tentang Perubahan Iklim

Rekson Silaban Ketua MPO KSBSI

KSBSI.ORG, SEOUL - Rekson Silaban Majelis Pertimbangan Organisasi (MPO) Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menghadiri pertemuan aktivis serikat buruh lintas negara-negra dari 4 benua di Seoul Korea. Pertemuan aktivis progresif serikat buruh ini dari tanggal 22-25 September 2022, untuk menyikapi krisis lingkungan (ekologis) dan energi dunia. Atau tepatnya dampak perubahan iklim (climate change) yang terjadi saat ini.

Baca juga:  KSBSI Hadiri BPU Show BPJamsostek, Pekerja Informal Berhak Atas Perlindungan dan Kesejahteraan,



Dalam pertemuan tersebut, Rekson Silaban mengatakan aktivis serikat buruh menyikapi tentang mendekati batas akhir komitmen internasional penurunan emisi 1.5C tahun 2050.  “Kelihatannya target tersebut tidak tercapai akibat banyaknya alasan yang didramatisasi. Seperti pandemi Covid-19, perang di Ukraina; kurangnya dana serta target tidak dijalankan,” ucap Rekson yang dilansir dari laman facebooknya.

 

Rekson menyampaikan, bahwa peserta forum yang diundang hanya mereka yang dianggap mewakili kelompok progresif atau kadang disitilahkan sebagai “left wing”. Entah dengan alasan apa, KSBSI dianggap bagian dari progresif.  

 

Keunikan forum ini, hasil konferensi tidak berakhir hanya dokumen belaka yang tidak diketahui publik. Tapi dibuat jadi petisi publik untuk ditandatangani, dan dibacakan pada saat demo yang dirancang khusus untuk itu.

 


“Saya juga di daulat menyampaikan orasi saat demo. Sebelumnya saya juga diminta mempresentasikan progress negara G20 mengenai komitmennya atas penurunan emisi,” terangnya.

 

Forum memberikan tuntutan antara lain:

 

1. Negara-negara penyumbang emisi besar seharusnya menjadi pemimpin untuk mempercepat target penurunan emisi. Jangan malah ikut memperlambat pencapaian

 

2. Sekalipun tentang pembagian tanggungjawab perubahan iklim menuju emisi -2%C telah ditetapkan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) 1992 di Rio de Janeiro, melalui prinsip “common but differentiated responsibilities (CBDR). Artinya semua memang harus ikut bertanggungjawab, tapi dengan porsi berbeda. Namun negara penyumbang emisi besar dengan perusahaan multinasionalnya, harusnya menunjukkan bukti konkrit yang serius.

 

3. Mengeni krisis energi, forum mendesak seharusnya semua energi diperuntukkan buat rakyat, bukan untuk devisa. Sehingga semua energi harus dinasionalisasi jadi perusahaan negara. Supaya ketersediaan energi sebagai kebutuhan pokok rakyat tidak diatur kekuatan kapitalis.

 

4. Kelangkaan pangan dunia adalah dampak krisis ekologis. Pemerintah tidak boleh bermain-main dengan bersikap tidak serius atas masa depan dunia yang akan kolaps lebih cepat

 

5. Negara-negara yang mengalami krisis dan potensi krisis (VUCA) dan menjalankan kebijakan protectionist, right wing policy, populism, untuk menyenangkan hati rakyat, akan membahayakan kersajama penyelamatan dunia. Justru pada saat krisis global, dunia semakin memerlukan solidaritas dan kerjasama global. (sumber: facebook Rekson Silaban)  

Komentar