Kondisi Upah Minimum Semakin Menurun, Buruh Semakin Dilematis

Kondisi Upah Minimum Semakin Menurun, Buruh Semakin Dilematis

.

KSBSI.org.Jakarta- Markus Sidauruk Deputi Presiden Bidang Program Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan persoalan upah buruh hari ini semakin dilematis. Pasalnya, sejak diterapkannya PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan, semua kebijakan telah merubah sistem pengupahan dari peraturan sebelumnya yang diatur dalam PP Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan.

Baca juga:  Komite Kesetaraan Nasional KSBSI Gelar Workshop Dukung Ratifikasi Konvensi ILO 190 di Dunia Kerja,

“Termasuk kebijakan upah dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan juga tidak berlaku lagi. Sehingga semua kewenangan pemerintah daerah dalam membuat kebijakan upah minimum sekarang ini tidak memiliki kekuatan,” ucapnya, saat diwawancarai di Kantor KSBSI, Cipinang Muara Jakarta Timur, Rabu (5/10/2022). 

Sebelum disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja beserta turunan Peraturan Pemerintah (PP) dari undang-undang tersebut, Markus menjelaskan sistem upah di Indonesia terbilang cukup. Baik dari nilai inflasi dan pertumbuhan ekonomi daerah sampai tingkat kabupaten/kota. Namun sejak berlakunya PP Nomor 36 Tahun 2021 dan kebijakan upah minimum melalui tingkat provinsi, maka dampaknya pada perekonomian buruh. 

“Sebab, upah buruh di wilayah daerah yang sudah maju akan tertahan. Sementara upah di daerah yang tidak maju juga sampai hari ini terlihat masih sulit maju. Artinya, kalau semua tertahan akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi yang tidak baik untuk kedepannya,”ungkapnya. 

Sarannya, kalau mau menyamaratakan upah buruh di setiap daerah, sebaiknya pemerintah membuat kebijakan perpindahan ibu kota provinsi untuk beberapa periode ke kabupaten yang upahnya rendah. Dimana tujuannya untuk menciptakan distribusi ekonomi dan pemerataan pembangunan

Jadi, tidak usah lagi membuat kebijakan melalui regulasi dan formulasi yang rumit. Dan biarkan saja kebijakan upah minimum itu sesuai pertumbuhan ekonomi daerah. Sehingga nantinya, setiap kabupaten/kota akan terus berupaya membangun perekonomiannya masing-masing. 

“Termasuk kebijakan memindahkan ibukota negara saya nilai itu penting dalam meratakan pembangunan. Kalau tidak ada kebijakan pemindahan ibukota provinsi dan negara, maka ketimpangan ekonomi itu selalu ada,” ucapnya.

Markus menilai disahkannya UU Cipta Kerja dengan peraturan turunannya, Indonesia mengalami kemunduran upah pada buruh. Padahal, ketenagakerjaan adalah kekayaan yang dimiliki negara. Sementara, isu pembahasan global saat ini adalah, bagaimana setiap negara bisa memberikan perlindungan jaminan sosial yang baik kepada semua buruh. Termasuk upah yang layak.

“Kita harus tahu, bahwa Indonesia adalah negara yang penuh ancaman. Baik ancaman bencana alam dan ekonomi, seperti situasi geopolitik dunia yang terjadi hari ini,” ungkapnya.

Karena itu, Markus berpendapat pemerintah harus perlu berhati-hati membuat kebijakan ekonomi saat mengundang investor asing masuk ke negara ini. Jangan hanya mereduksi sumber daya alam, tapi upah buruh rendah dan kemampuan daya belinya rendah. Karena, saat ini Indonesia mengalami penurunan upah minimum sebesar 6,58 persen dari upah minimum yang sebelumnya. Tentu saja hal ini menjadi masalah dan solusinya, pemerintah harus menghentikan mereduksi hak upah, jaminan perlindungan sosial dan jaminan pekerjaan. Supaya nasib buruh Indonesia tidak sengsara berkepanjangan.

Ia menegaskan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan merupakan ancaman bagi buruh. Sementara, UU Cipta Kerja sekarang ini masih proses revisi di Gedung DPR RI sampai tahun 2023. Oleh sebab itu, dia menyarankan ada baiknya serikat buruh melakukan uji materi 4 PP produk UU Cipta Kerja ke Mahkamah Agung.

“Karena 4 PP dari produk UU Cipta Kerja ini yang berlaku dibawah dalam kebijakan upah minimum,” jelasnya. 

Selain itu Markus mengatakan, walau penuh kontroversial, pemerintah tetap bersikukuh kebijakan upah minimum pada 2023 masih mengacu PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan. Sebab, dalam soal upah pemerintah memang menghendaki kebijakan nasional harus sejalan dengan pemerintah daerah.  

Begitu juga dampak kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) semakin membuat perekonomian buruh dilematis. Sementara, harga sembako dan kebutuhan lainnya naik. Karena itu, Markus menyarankan pemerintah agar upah minimum pada 2023, naik sebesar kisaran 7-8 persen. Dan disesuaikan dengan kebijakan daerah masing-masing. Namun dengan catatan tidak memakai aturan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan.

“Saya juga tidak mau menyudutkan pengusaha sekarang ini, karena mereka sedang bekerja kerja keras untuk memulihkan usahanya setelah 2 tahun pandemi Covid-19,” terangnya.

Terakhir, dia menyampaikan PP Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan tak hanya menguntungkan buruh. Tapi juga berdampak pada rantai ekonomi lainnya. Apalagi, disisi lain, PP ini juga membuat aturan upah kesepakatan kepada pekerja informal di sektor usaha kecil menengah. Sehingga terjadi penurunan upah minimum lebih signifikan dari pendapatan sebelumnya. 

“Jadi 2 masalah, soal rumusan upah dan kesepakatan upah memiliki daya tekan penurunan upah dan pendapatan. Artinya seluruh buruh yang bekerja baik formal maupun informal mengalami tekanan penurunan penghasilan. Sehingga daya beli masyarakat ikut menurun. Tak hanya itu saja, dampaknya juga mengalami penurunan ke sektor konsumsi sekitar 7-9 juta orang,” pungkasnya.

Terakhir, Markus menceritakan tantangan dan persoalan buruh di Indonesia kedepannya semakin berat. Karena, pandemi Covid-19 belum berakhir dan dunia sedang dihadapkan resesi global. Oleh sebab itu, pemerintah harus membuat kebijakan ekonomi yang memihak pada semua kepentingan, bukan satu golongan. 

“Salah satunya, pemerintah harus membuat kebijakan perlindungan sosial yang kuat kepada pekerja. Dimana, apabila seorang buruh kehilangan pekerjaan, maka harus ada jaminan jaminan untuk memberi pekerjaan kembali. Apabila buruh sakit, harus ada asuransi kesehataan dan memastikan ada jenjang pendidikan sert kesehatan yang memadai,” tandasnya. (A1)    


Komentar