Anggota LKS Tripartit Nasional Usul Ke Pemerintah Beri Keleluasaan Gubernur Gunakan Hak Diskresi tetapkan UMP 2023

Anggota LKS Tripartit Nasional Usul Ke Pemerintah Beri Keleluasaan Gubernur Gunakan Hak Diskresi tetapkan UMP 2023

Carlos Rajagukguk, Anggota LKS Tripartit Nasional sekaligus Ketua Umum DPP FSB NIKEUBA KSBSI. (Foto: Dokumen Pribadi).

Dasar penolakan adalah karena adanya putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di perkara 91 gugatan judicial review UU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa, Hakim Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

Baca juga:  Korwil KSBSI DKI Jakarta: Sangat Tidak Manusiawi Jika Upah Minimum 2023 Tidak Naik Secara Layak ,

KSBSI.ORG, JAKARTA - Proses penghitungan naik atau tidaknya upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2023 sedang digodok oleh pemerintah. Dalam penggondokan ini, pemerintah tetap ngotot menggunakan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan sebagai dasar penetapan Upah Minimum tahun 2023.

Sementara sudah bisa dipastikan kalangan buruh menolak aturan pelaksana UU Cipta Kerja itu dijadikan dasar penetapan.

Persoalan itu dikupas Carlos Rajagukguk salah satu Anggota Lembaga Kerja Sama (LKS) Tripartit Nasional sekaligus Ketua Umum DPP FSB NIKEUBA KSBSI.

Carlos mengungkapkan Perwakilan Serikat Buruh serikat Pekerja di LKS Tripartit Nasional sudah membicarakan persoalan penetapan UMP dan UMK dengan perwakilan dari unsur pengusaha dan pemerintah karena diprediksi akan timbul masalah.

"Kaitan dengan penghitungan upah minimum provinsi maupun kabupaten-kota tahun 2023, di internal kami LKS Tripartit Nasional sudah kami bicarakan antara unsur Serikat pekerja serikat buruh, pengusaha, juga pemerintah. Sudah kami bicarakan sekitar tanggal 10 atau 11 Oktober 2022 lalu. Karena ini isu yang hangat yaa, diprediksi banyak masalah lah maupun protes," terang Carlos kepada Media KSBSI Digital Network, di Jakarta Senin (24/10/2022).

Sebagai pengantarnya, kata Carlos, pemerintah akan menggunakan PP 36 sebagai dasar penetapan UMP dan UMK tahun 2023.

Pemerintah juga sudah memberikan gambaran kepada LKS Tripartit Nasional bahwa kenaikan upah minimum rata-rata nasional tahun 2023 adalah 3 persen. "Ini jika diambil rata-rata dan bukan berarti semua provinsi itu sama kenaikannya. Jadi ada provinsi yang naiknya hanya 1 persen dan ada juga yang naiknya sampai 6 persen." terangnya.

Oleh karena itu, seluruh anggota LKS Tripartit Nasional yang hadir, tegas menolak gambaran pemerintah tersebut. "Kami di LKS Tripartit Nasional sudah pasti.. kita menolak penghitungan upah menggunakan PP 36," tegas Carlos.

Bukan tanpa sebab jika unsur serikat buruh serikat pekerja di LKS Tripartit Nasional menolak penggunaan PP 36 sebagai dasar penetapan upah minimum tahun 2023.

Menurut Carlos, dasar penolakan adalah karena adanya putusan Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) di perkara 91 gugatan judicial review UU Cipta Kerja yang menyebutkan bahwa, Hakim Mahkamah Konstitusi telah memerintahkan Pemerintah untuk menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

"Sementara kalau kita bicara Upah minimum itu kan jelas di PP 36 itu disebutkan bahwa upah itu bersifat strategis. Kemudian kalau pemerintah mengeluarkan yang namanya SK UMP/UMK itu kan suatu kebijakan, padahal itu sudah dilarang dalam putusan MK tadi," jelas Carlos.

"Itulah argumen kita untuk tidak menggunakan PP 36." tegasnya.

Laju Inflasi

Kemudian dasar penolakan kedua adalah, pemerintah harus mempertimbangkan laju inflasi yang sudah bisa dipastikan akan meningkat, terutama sejak pemerintah menaikkan BBM pada 3 September 2022 lalu. Sebab angka-angka inflasi yang didapatkan dari BPS sebagai dasar penghitungan upah menurut Carlos adalah angka inflasi bulan delapan sampai bulan sembilan.

"Kalau yang kita dapatkan dari BPS (Badan Pusat Statistik) itu angka-angka (hitungan) penetapan upah itu kan hanya sampai bulan delapan atau bulan sembilan. Sementara upah itu kan ditetapkan tahun depan, 2023. Sementara hitungan yang dipakai adalah hitungan periode yang lewat. Nah, padahal di periode yang sama ini, diakhir survei BPS itu kan (September sampai Desember 2022) ada kenaikan BBM," urainya.

Menurut Carlos kenaikan harga BBM itu mencapai 28 sampai 30 persen dan itu berdampak luas pada naiknya kebutuhan masyarakat terutama buruh dan pekerja.  "Nah tentu dong kenaikan BBM itu akan berdampak luas. Transportasi pasti naik, kebutuhan pasti naik, belum lagi kontrakan pasti naik. Itu dampaknya. Masa pemerintah tidak mempertimbangkan laju inflasi ini." urainya.

Selain inflasi, kata Carlos, juga ada pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi ini seharusnya juga bisa dinikmati oleh buruh dan pekerja. Sebaiknya kata Carlos, jangan hanya bicara angka semata namun Buruh dan pekerja tak bisa menikmati manfaatnya  angka pertumbuhan ekonomi yang meningkat.

Menurutnya, dampak kenaikan BBM akan mempengaruhi penurunan daya beli buruh dan pekerja. "Oleh karena tadi BBM sudah naik 28 sampai 30 persen, ya tentu tadi untuk tahun depan bisa dipastikan daya beli buruh akan semakin merosot. Karena, kalau pun ada kenaikkan 3 persen secara nasional itu tidak akan mungkin mengejar laju inflasi akibat dari kenaikkan BBM tadi." terangnya.

Oleh karena itulah unsur Buruh dan Pekerja di LKS Tripartit Nasional tegas menolak gambaran kenaikan upah minimum yang disebutkan unsur pemerintah dalam pertemuan awal mereka.

"Makanya kita tegas menolak di pertemuan awal kita ini," tegasnya. "Ini belum resmi yaa.. artinya ini belum menjadi usulan kami. Tetapi diskusi-diskusi kami memang, kami komitmen, dari serikat buruh serikat pekerja komitmen menolak pemakaian PP 36 (sebagai dasar) dalam penetapan upah tahun depan," terangnya.

Usulan kepada Pemerintah

Carlos menerangkan dalam diskusi yang digelar itu, ia sendiri yang mengusulkan supaya pemerintah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dalam diskusi tadi, dapat memberikan keleluasaan kepada pemerintah daerah, dalam hal ini Gubernur untuk dapat menggunakan hak diskresi.

"Saya menyampaikan waktu itu supaya Menteri jangan lagi mengeluarkan surat edaran yang dapat menyandera pemerintah daerah untuk menetapkan UMP dan UMK. Setiap daerah ini punya karakteristik masing-masing. Di berbagai daerah mungkin ada yang inflasinya rendah atau ada yang lebih tinggi, jadi saya waktu minta supaya para pemerintah daerah itu diberikan keleluasaan untuk menggunakan apa yang namanya diskresi." tandasnya,

Namun begitu, kata Carlos, seorang Gubernur itu tidak serta merta dapat membuat kebijakan diskresi atau tidak mungkin membuat diskresi sendiri.

"Seorang Gubernur, kaitan dengan penetapan upah pasti berdiskusi terlebih dahulu. Meminta saran pendapat dari Dewan Pengupahan di daerah setempat. Tidak mungkin juga Gubernur bertindak sendiri tanpa mendapatkan saran atau yang namanya pertimbangan.

"Nah dalam hal ini, oleh karena usulan dan saran tadi, Gubernur akhirnya tidak mungkin menggunakan PP 36. Kalau Gubernur melihat dan mendengarkan saran-saran itu, pasti Gubernur tidak akan memakai PP 36," terang Carlos. Oleh karena itu, Carlos mengimbau kepada Pemerintah untuk memberikan keleluasan kepada Gubernur untuk menggunakan hak diskresi dalam penetapan upah minimum.

"Itu yang kami usulkan," tandasnya.

[REDHUGE/REDKBB]

Komentar