Di Agenda FGD Tentang Implikasi Penerapan RUU Kesehatan, KSBSI Sampaikan 3 Sikap Penolakan

Di Agenda FGD Tentang Implikasi Penerapan RUU Kesehatan, KSBSI Sampaikan 3 Sikap Penolakan

Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Implikasi Penerapan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Kesehatan terhadap Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang Akuntabel bagi Pekerja dan Pengusaha, yang diinisiasi oleh APINDO pusat,pada, Jum

Bahwa banyak sekali alasan yang mendasar sehingga kami menolaknya, selain RUU Kesehatan ini bakal merugikan buruh/pekerja, dan minimnya partisipan publik didalam penyusunannya.

Baca juga:  Di Agenda FGD Tentang Implikasi Penerapan RUU Kesehatan, KSBSI Sampaikan 3 Sikap Penolakan ,


KSBSI.ORG, JAKARTA - Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban mengatakan bahwa Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) menolak Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan karena minimnya partisipan publik serta bakal merugikan buruh. 

Hal itu, dikatakan Elly Rosita Silaban pada agenda Focus Group Discussion (FGD) bertajuk Implikasi Penerapan Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Kesehatan terhadap Penyelenggaraan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang Akuntabel bagi Pekerja dan Pengusaha, yang diinisiasi oleh APINDO pusat. 

"Bahwa banyak sekali alasan yang mendasar sehingga kami menolaknya, selain RUU Kesehatan ini bakal merugikan buruh/pekerja, dan minimnya partisipan publik didalam penyusunannya." kata Elly di agenda FGD yang berlangsung di Ruang Serba Guna DPN APINDO, Jakarta, Jum'at (24/03/2023).

Seperti diketahui, APINDO berinisiasi FGD Omnibus RUU Kesehatan dalam rangka menelaah secara komprehensif implikasi penerapan Omnibus ®UU Kesehatan terhadap keberlangsungan Program Jaminan Kesehatan (JKN), sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam UU SJSN & UU BPJS.

FGD tersebut bertujuan untuk mengawal draf RUU Kesehatan agar tidak memberatkan dunia usaha dan memberikan perlindungan terhadap kesehatan dan kesejahteraan peserta. Memperoleh masukan dari peserta forum dalam rangka merumuskan langkah-langkah atau ide-ide yang strategis.

Implikasi antara lain :
1. Dampak atas besaran iuran dan kaitannya dengan kualitas layanan yang diperoleh oleh Peserta BPJS Kesehatan.

2. Implikasi atas layanan BPJS Kesehatan dengan adanya tambahan penugasan dari Kementerian terkait, yang dikhawatirkan berdampak negatif atas Tata Kelola Lembaga.

3. Independensi BPJS Kesehatan ketika harus berada di bawah kendali dan/atau pengawasan Kementerian Kesehatan, ketika sebelumnya secara regulasional bertanggung jawab langsung kepada Presiden RI.

4. Kekhawatiran atas kemampuan mengakomodasi unsur-unsur dalam Badan Hukum Publik yang implementasinya adalah dari, oleh, dan untuk peserta, ketika berada di bawah Kementerian Kesehatan.

5. Implikasi penggunaan metode Omnibus dalam pembahasan RUU Kesehatan, telah mencampur adukan pengaturan penyelenggaraan jaminan sosial yang diatur dalam UU SJSN & UU BPJS akan mengubah konstruksi kelembagaan yang terlibat dalam penyelenggaraan JKN, termasuk Kementerian Ketenagakerjaan.

Hadir beberapa perwakilan Konfederasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh, Ketua Umum Apindo dan team, Dewan BPJS Ketenagakerjaan, DPR RI Komisi 9, Prof Suprayitno.

Sebelumnya, Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law telah menjadi RUU inisiatif DPR RI. Dimana, RUU Kesehatan yang menggunakan metode Omnibus Law ini ditolak oleh Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI).

Presiden KSBSI, Elly Rosita Silaban mengatakan RUU Kesehatan ini merupakan sebuah undang-undang yang berdampak luas bagi masyarakat khususnya buruh, sudah seharusnya dalam menentukan kebijakan juga harus melibatkan partisipan publik. KSBSI menolak RUU Kesehatan Omnibus Law karena akan merugikan buruh. 


Ringkasan Pandangan dan Sikap KSBSI Terhadap RUU Kesehtan Omnibus Law

10 ISU KRUSIAL DALAM UU 24/2011 (UU BPJS)

1. Pertanggungjawan BPJS kepada Presiden melalui Menteri Kesehatan untuk BPJS Kesehatan dan Menteri Ketenagakerjaan untuk BPJS Ketenagakerjaan. [Pasal 7 ayat (2)].

2. Kewajiban BPJS melaksanakan tugas dari Menteri [Pasal 13 huruf k].

3. Pengurangan Anggota Dewas dari unsur buruh dan pengusaha, dan penambahan dari unsur Pemerintah [Pasal 21 ayat (3)].

4. Laporan Dewas kepada Presiden melalui Menteri [Pasal 22 ayat (2) huruf d].

5. Dewas wajib berkoordinasi dengan Menteri [Pasal 22 ayat (4)].

6. Menteri membentuk Panitia Seleksi Dewas dan Direksi [Pasal 28 ayat (1)].

7. Ketua Panitia Seleksi Dewas dan Direksi adalah Menteri [Pasal 28 ayat (2a)].

8. Menteri dapat dengan mudah merecall anggota Dewas dan Direksi [Pasal 34 ayat (1) huruf h jo huruf b dan ayat (2)].

9. Laporan pertanggungjawaban BPJS kepada Presiden wajib melalui Menteri [Pasal 37 ayat (1)].

10. Laporan pertanggungjawaban BPJS kepada Presiden terlebih dahulu diperiksa Menteri [Pasal 37 ayat (4)].

10 ISU KRUSIAL MENJADI 2 ISU BESAR DALAM UU BPJS

1. Pengurangan Anggota Dewas; dan
2. Pelibatan aktif Menteri mengurusi manajemen dan keuangan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan.

PERMASALAHAN DALAM UU BPJS

1. Tidak ada naskah akademik
Untuk 10 isu tersebut tidak ditemukan adanya dasar kajian yang memuat pokok-pokok pikiran tentang mengapa10 isu tersebut direvisi. What’s rong?

2. DPR lupa atas prinsip-prinsip pengelolaan jaminan sosial
Ada 9 prinsip pengelolaan jaminan sosial nasional, yaitu 1) kegotongroyongan; 2) nirlaba; 3) keterbukaan; 4) kehati-hatian; 5) akuntabilitas; 6) portabilitas; 7) kepesertaan bersifat wajib; 8) dana amanat, dan 9) hasil pengelolaan dana jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar-besarnya kepentingan peserta. Karenanya BPJS wajib dikelola secara professional dan independent yang bertanggungjawab langsung kepada Presiden.

3. DPR lupa BPJS Badan Hukum Publik Khusus 
BPJS dibentuk dengan badan hukum publik khusus, bukan badan hukum privat seperti perusahaan milik negara (BUMN). Sebab BPJS tidak berorientasi pada laba atau profit. Sesuai prinsip nirlaba, pengelolaan dana amanat tidak dimaksudkan untuk mencari laba bagi BPJS, akan tetapi tujuan utamanya adalah untuk memenuhi sebesar-besarnya kepentingan peserta. Dana amanat, hasil pengembangannya, dan surplus anggaran akan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan peserta, bukan untuk BPJS dan bukan pula untuk negara. Hal itu sejalan dengan fakta bahwa uang yang dikelola BPJS, baik BPJS Kesehatan maupun BPJS Ketenagakerjaan, adalah milik peserta, masyarakat umum dan buruh, bukan milik pemerintah, bukan APBN. 

4. BPJS harus dikelola independen 
Oleh karena sistem jaminan sosial nasional yang diatur dalam UU SJSN dan UU BPJS merupakan program negara dan mengharuskan pengelolalaannya berdasarkan 9 prinsip di atas serta badan hukum BPJS adalah badan hukum publik maka pengelolaan BPJS haruslah independen. Sebagai badan hukum publik kedudukan hukum BPJS adalah sama dengan Bank Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi, dan Lembaga Pemerintah Non Kementrian lainnya. Organ (Dewas dan Direksi) BPJS adalah sama dengan organ Bank Indonesia (Dewan Kehormatan dan Dewan Gubernur), organ KPK (Dewan Pengawas dan Komisioner). Semua lembaga ini menjalankan fungsi dan tugasnya secara independent, tanpa campur tangan kementerian atau lembaga manapun.

5. Campur tangan Menteri mengurusi BPJS adalah dependen politik
Oleh karena RUU Kesehatan mendesaian keterlibatan langsung Menteri Kesehatan, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Keuangan mengurusi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana 10 isu tersebut di atas, maka dari penalaran yang wajar sangat berpotensi tujuan pembentukan sistem jaminan sosial dan prinsip dana amanat akan terganggu, yang seharusnya seluruh iuran dan hasil pengembangannya digunakan sebesar-besarnya bagi kepentingan peserta jaminan sosial, dalam hal ini masyarat umum dan buruh. Mengapa? Sampai sekarang tidak ada regulasi yang mengatur menteri pada kementerian tertentu atau pada kementerian kesehatan, kementerian ketenagakerjaan, dan kementerian keuangan tidak boleh terafiliasi dengan partai politik. Fakta hari ini, misalnya Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah adalah pengurus pusat Partai Kebangkitan Bangsa. [Disclaimer: Penyebutan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah adalah pengurus pusat Partai Kebangkitan Bangsa dalam kajian ini bukan berarti menyatakan Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah akan melakukan hal buruk di BPJS Ketenagakerjaan, melainkan hanya menunjukkan fakta empirik bahwa seorang Menteri tidak dilarang menjadi anggota atau pengurus partai politik] Apabila Menteri diberi kewenangan mengurusi BPJS maka Presiden akan kehilangan data informasi yang akurat. Hal itu terjadi akibat intervensi dari Menteri atas laporan yang dilaporkan BPJS. Selain itu, dengan banyaknya campur tangan birokrasi maka potensi BPJS salah urus akan sangat besar dan akhirnya berdampak merugikan peserta atau buruh. Sehingga pelayanan kepada peserta termasuk buruh akan terganggu.

6. BPJS bukan BUMN, tidak ada CSR
DPR harus juga mengingat bawah BPJS Ketenagakerjaan bukan lagi PT. Jamsostek yang dapat mensponsori berbagai event atau dijadikan pundi-pundi untuk sumber dana non-budgeter melalui pogram CSR (Corporate Social Responsibility). BPJS tidak memilik program CSR. Dan pemegang sahamnya bukan lagi pemerintah, tetapi peserta atau buruh yang membayar iuran atau iurannya dibayarkan oleh pemerintah.

7. Harusnya DPR memperkuat kedudukan/kewenangan DJSN, Dewas dan Direksi BPJS
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas seharusnya DPR tidak melakukan revisi atas 10 isu tersebut di atas. Justru yang harus dilakukan DPR adalah membuat regulasi dalam kerangka memperkuat independensi, kedudukan dan kewenangan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Dewan Pengawas dan Dewan Direksi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk membangun sistem jaminan sosial nasional. 

SIKAP 

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas maka KSBSI menyatakan sikap:
1. Menolak RUU Kesehatan (Omnibus Law);
2. Mendesak DPR mengeluarkan UU SJSN dan UU BPJS dari RUU Kesehatan (Omnibus Law);
3. Menyerukan kepada seluruh masyarakat dan buruh peserta jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan hari tua, jaminan pensiun, jaminan kematian, dan jaminan kehilangan pekerjaan menolak revisi UU SJSN dan UU BPJS dalam RUU Kesehatan (Omnibus Law).


(RED/HTS/MK)

Komentar