Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI) resmi mengajukan gugatan Judicial Review UU No. 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (TAPERA). Permohonan gugatan dilayangkan Tim Kuasa Hukum KSBSI ke Mahkamah Konstiusi (MK) kemarin, Selasa 9 Juli 2024, berbarengan dengan aksi demonstrasi yang digelar KSBSI di Kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat.
JAKARTA - Materi gugatan KSBSI menyasar beberapa hal krusial dari pasal-pasal yang menjadi isi UU TAPERA yang memaksa pemotongan upah buruh dan pengusaha sebesar 3 persen.
KSBSI menegaskan, bahwa UU TAPERA melanggar hak konstitusional rakyat untuk mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja dengan alasan-alasan sebagai berikut:
- Upah masih kecil, belum mencapai kebutuhan hidup layak (rata-rata Rp. 2,9 juta);
- Buruh dan pengusaha telah diwajibkan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar (buruh 4 persen, dan pengusaha 11,74 persen);
- Program Tapera tumpang tindih dengan program BPJS ketenagakerjaan;
- Buruh sudah banyak memiliki rumah dengan cara mencicil;
- Hubungan kerja PKWT yang setiap saat dapat di PHK;
- PHK merajalela akibat perusahaan banyak tutup dan terseok-seok, dan pemudahan PHK dalam UU Cipta Kerja;
- UU TAPERA diskriminatif (manfaat);
- UU TAPERA membebani buruh untuk menanggung beban yang seharusnya menjadi beban Pemerintah untuk membiayai fakir miskin;
- Inflasi tinggi.
Oleh karena itu, KSBSI menilai, UU TAPERA memberatkan Buruh dan sangat layak untuk ditolak, dicabut dan dibatalkan.
Selain menggugat, dalam aksinya, KSBSI menyampaikan tuntutan sebagai berikut :
- Menolak pemberlakuan UU TAPERA beserta aturan turunannya;
- Menuntut Pemerintah untuk melakukan dialog yang terbuka dan transparan dengan pemangku kepentingan tentang kebijakan penyelenggaraan pembangunan perumahan rakyat tanpa membebani buruh/buruh melalui tabungan wajib;
- Menuntut pemerintah melaksanakan Rekomendasi ILO Nomor 115 Tahun 1961 tentang Perumahan Buruh;
Pokok Perkara
Tim Kuasa KSBSI dari LBH dan Departemen Hukum dan HAM KSBSI telah mengupas pokok-pokok perkara gugatan yang akan diajukan KSBSI untuk membatalkan UU TAPERA secara keseluruhan.
Kepada Media KSBSI, Tim Kuasa KSBSI dari LBH dan Departemen Hukum dan HAM KSBSI menerangkan pokok-pokok judicial review UU TAPERA, sebagai berikut:
POKOK-POKOK JUDICIAL REVIEW UU 4/2016 TAPERA
1. Jumlah pasal yang diuji 7 pasal, yaitu:
1.1. Pasal 7 ayat (1);
1.2. Pasal 9 ayat (1);
1.3. Pasal 9 ayat (2);
1.4. Pasal 16
1.5. Pasal 17 ayat (1);
1.6. Pasal 54 ayat (1);
1.7. Pasal 72 ayat (1).
2. Dasar atau batu uji UUD 1945 ada 3 pasal, yaitu:
2.1. Pasal 28D ayat (2);
2.2. Pasal 28I ayat (2);
2.3. Pasal 34 ayat (1).
3. Tuntutan KSBSI bersifat alternatif, yaitu:
- Tuntutan utama adalah UU Tapera dibatalkan secara keseluruhan;
- Namun jika MK berpendapat lain, KSBSI mengajukan tuntutan alternatif, yaitu:
MK mengubah 5 pasal yang terdapat kata “WAJIB” diubah menjadi “DAPAT” dan membatalkan 2 pasal dari 7 pasal yang diuji, yaitu:
1. Ketentuan Pasal 7 ayat (1) diubah menjadi, “Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum dapat menjadi Peserta”;
2. Ketentuan Pasal 9 ayat (1) diubah menjadi, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dapat didaftarkan oleh Pemberi Kerja”;
3. Ketentuan Pasal 9 ayat (2) diubah menjadi, “Pekerja Mandiri sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) dapat mendaftarkan dirinya sendiri kepada BP Tapera untuk menjadi peserta”;
4. Ketentuan Pasal 16 dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat);
5. Ketentuan Pasal 17 ayat (1) diubah menjadi, “Simpanan Tapera dapat dibayar oleh pemberi Kerja dan Pekerja”;
6. Ketentuan Pasal 54 ayat (1) diubah menjadi, “Komite Tapera beranggotakan:
a. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang perumahan dan kawasan permukiman;
b. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan;
c. menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang ketenagakerjaan;
d. Komisioner Otoritas Jasa Keuangan;
e. seorang dari unsur profesional yang memahami bidang perumahan dan kawasan permukiman;
f. dapat seorang dari unsur pekerja/buruh;
g. dapat seorang dari unsur pengusaha atau pemberi kerja swasta; dan
h. dapat seorang dari unsur pekerja mandiri”;
7. Ketentuan Pasal 72 ayat (1) dibatalkan (dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat);
4. Pokok-pokok alasan penolakan UU Tapera:
4.1. Upah masih kecil, belum mencapai kebutuhan hidup layak (tidak mampu membayar);
4.2. Pekerja/buruh dan pengusaha telah diwajibkan membayar iuran jaminan sosial yang cukup besar;
4.3. Program tapera tumpang tindih dengan program BPJS Ketenagakerjaan;
4.4. Pekerja/buruh formal dan pekerja/buruh mandiri (informal) telah banyak memiliki rumah jikapun itu sebagian masih mencicil setiap bulan kepada bank pemberi kredit untuk sekian puluh tahun kedepan;
4.5. Hubungan kerja kontrak (PKWT);
4.6. PHK merajalela akibat perusahaan banyak tutup dan terseok-seok, dan pemudahan PHK dalam UU Cipta Kerja;
4.7. Inflasi tinggi;
4.8. Terjadi diskriminasi manfaat;
4.9. Memaksa pekerja/buruh menanggung beban yang seharusnya menjadi beban pemerintah untuk membiayai kehidupan fakir miskin.
[REDHUGE/REDKBB]