Lewat buku tersebut, aktivis buruh yang saat ini aktif sebagai Ketua Majelis Penasehat Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (MPO KSBSI) membagikan 5 solusi kebijakan agar pekerja ojek online tidak jatuh dalam eksploitasi kapitalis karena belum jelasnya perlindungan kerja.
Baca juga: FGD Kemnaker, Rekson Silaban Tawarkan Gagasan Regulasi Driver Online di Indonesia,
KSBSI.ORG, Jakarta - Rekson Silaban meluncurkan buku tentang perlindungan kerja dan jaminan sosial bagi pekerja platform transportasi dengan judul Unprotected Work! "Closing The Gap Labor Protection of Platform Worker's" di Jakarta pada, Kamis (26/09/2024).
Lewat buku tersebut, aktivis buruh yang saat ini aktif sebagai Ketua Majelis Penasehat Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (MPO KSBSI) membagikan 5 solusi kebijakan agar pekerja ojek online tidak jatuh dalam eksploitasi kapitalis karena belum jelasnya perlindungan kerja.
Menurut Rekson Silaban, ada beberapa opsi kebijakan perlindungan bagi pekerja platform transportasi untuk Indonesia. Dan perlunya regulasi khusus untuk platform (webbase and location-base) dan membuat definisi pekerja platform.
"Bisa pakai definisi statistik, misal pekerja bebas. Dimana pekerja bebas adalah buruh, karyawan, pegawai yang tidak mempunyai majikan tetap bisa memiiki majikan lebih dari satu majikan. Regulasinya harus mewajibkan ada perjanjian kerja antara pekerja dan pemilik aplikasi." kata Rekson Silaban disesi pengantar peluncuran buku.
Rekson Silaban mengatakan setidaknya terdapat 20 kekosongan regulasi yang perlu diatur (ILO) diantaranya, Status kerja dan hubungan kerja, dasar penetapan biaya aplikasi (application fee), perhitungan jam kerja, upah minimum, jaminan sosial, transparansi sistem algoritma, sistem pengawasan kerja.
"Akibat dari kekosongan perlindungan kerja dapat mengakibatkan diperkirakan 4,5 juta "drivers" mengalami eksploitasi kerja. Terjadi pemiskinan struktural (akibat kebijakan yang tidak berpihak). Terjadi defisit kerja layak (Pasal 27 UUD 45 dan agenda kerja layak pada tujuan no.8 SDGs). Potensi terjadinya kerawanan sosial politik." jelas Rekson Silaban.
Implikasinya terhadap BPJS, akibat Permenaker nomor 5 tahun 2021 tentang “Tata Cara Penyelenggaraan Program JKK, JK, JHT. pada Pasal 31 ayat 3, menyebut “hubungan kemitraan” untuk platform. (tidak memiliki hubungan kerja).
Pekerja platform digolongkan sebagai Bukan Penerima Upah (BPU), hanya wajib ikut 2 program (Jaminan Kematian dan Jaminan Kecelakaan Kerja), dengan iuran ditanggung pekerja sendiri. Dari 4,5 juta pekerja platform transportasi, hanya 206.807 terdaftar di BPJS Ketenagakerjaan. Gojek: 176.000; Grab 7,600; Shopee Food: 22.630. (Data BPJS TK Mei 2024).
Oleh karena itu penting agar proposisi hak kerja dan hubungan kerja platform sebagai berikut,
- Pekerja dengan 40 jam/minggu di satu perusahaan platform tertentu, otomatis sebagai pekerja resmi platform. Hak kerjanya sesuai dengan regulasi ketenagakerjaan (jam kerja, upah, jamsos,dsb)
- pekerja yang bekerja ke beberapa majikan (tapi di bawah 40 jam/minggu) dikategorikan pekerja bebas (free lancer). Berhak mendapat perlindungan untuk 5 hak dasar; Jam kerja, penghasilan hidup layak, Jaminan Sosial, berserikat dan berunding, K3 dan pengawasan kerja);
- Kemnaker menetapkan besaran perlindungan hak kerja platform “free lancer” (upah, jaminan sosial, dll), sesuai dengan jumlah jam kerja di masing-masing platform;
- Pengaturan perhitungan jam kerja ditetapkan oleh Kemnaker;
- Semua pekerja harus memiliki perjanjian kerja yang syaratnya ditetapkan Kemnaker
- Pemerintah menetapkan besaran biaya aplikasi. Besarnya dikaitkan dgn 5 komponen hak dasar;
- Pemilik aplikasi memberikan daftar pekerja platform ke kementerian terkait sesuai permintaan;
- Platform diwajibkan memberikan slip penghasilan setiap bulan kepada pekerja;
- Pengawas ketenagakerjaan bersama dengan kementerian lain mengawasi transparansi IT dan sistem algoritma platform.
Lebih lanjut, Rekson Silaban mencontohkan bahwa di dalam platform workers ACT 2024 Singapore (Pekerja Platform dikategori sebagai Pekerja) dengan definisi:
(a) individu yang memiliki perjanjian (baik tertulis maupun lisan) dengan operator platform untuk penyediaan jasa ke operator platform
(b) Pelaku tunduk pada kendali manajemen operator platform sehubungan dengan penyediaan layanan platform oleh individu tersebut
(c) Berdasarkan perjanjian yang disebutkan dalam ayat (a), pelaku memperoleh pembayaran atau manfaat dari operator platform
(d) Pelayanan berada di Singapura.
Dalam ayat (1), “perjanjian” tidak termasuk kontrak kerja sebagaimana diatur UU Ketenagakerjaan 1968. Untuk kebutuhan perundingan, pemilik platform dan pekerja platform mendaftar dalam wadah anggota asosiasi kerja platform, berdasarkan Undang-Undang Hubungan Industrial 1960.
Lalu India Social Security Law, 2020 (Pekerja Platform Di luar Hubungan Kerja). Arti pekerja platform adalah orang yang terlibat dalam: aturan kerja di luar hubungan kerja tradisional (pemberi kerja dan pekerja), yang organisasi atau individunya menggunakan platform online, untuk mengakses organisasi atau untuk menyelesaikan masalah tertentu, atau untuk menyediakan layanan tertentu atau kegiatan lain yang diberitahukan oleh Pemerintah Pusat dengan imbalan pembayaran. Perlindungan jaminan sosial Platform diatur secara khusus dalam UU Jaminan Sosial. Jaminan Sosial dibayar pemilik platform dan pemerintah.
Terakhir, Rekson Silaban mendedikasi buku tersebut untuk perjuangan legalisasi kawan-kawan buruh ojek online, Ia juga berharap semoga proposisi buku tersebut bisa jadi rujukan regulasi bagi pemerintahan baru Indonesia dibawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
Hadir dalam peluncuran buku tersebut pimpinan serikat pekerja/serikat buruh, Jumhur Hidayat (Ketum KSPSI), Andi Gani (Presiden KSPSI), Diding Sudrajat (Wapres KSPI), DPP Garda, BPJS, TURC, Bung Mambe (DPD RI Papua, Patuan Samosir (ITUC-AP), Mrs Carol (New Zealand). (RED/Handi)