Sikap Resmi KSBSI Tentang Formula Kenaikan Upah 2025

Sikap Resmi KSBSI Tentang Formula Kenaikan Upah 2025

Konferensi Pers KSBSI. (Foto: Dokumen Media KSBSI)

SIARAN PERS KONFEDERASI SERIKAT BURUH SELURUH INDONESIA (KSBSI)

Baca juga:  KSBSI Gelar Diskusi Tentang Kepailitan dan PKPU,

Sikap Resmi KSBSI Tentang Formula Kenaikan Upah 2025

KSBSI.ORG, JAKARTA - Berdasarkan hasil diskusi dan analisa yang diselenggarakan Dewan Eksekutif Nasional Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (DEN KSBSI), para Dewan Pengurus Pusat Federasi Serikat Buruh Afiliasi KSBSI, LBH KSBSI, Departemen Hukum dan HAM KSBSI, Korwil KSBSI DKI Jakarta, serta Dewan Pengupahan Nasional unsur KSBSI dan Dewan Pengupahan DKI Jakarta unsur KSBSI pada tanggal 18 November 2024 di Hotel Balairung, Jakarta Timur terkait dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), maka hal-hal di bawah ini penting untuk disampaikan.

"Pada tanggal 31 Oktober 2024 MK telah menjatuhkan Putusan Nomor 168/PUU-XXI/203 perihal pengujian materiil UU Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang. Dalam putusan tersebut terdapat 21 pasal atau ayat atau norma yang dikabulkan." Kata Sekjen KSBSI Dedi Hardianto dalam keterangan resminya, Selasa (26/11/2024).

Dedi mengupas, dari 21 pasal atau ayat atau norma yang dikabulkan terdapat 2 amar yang saling berkaitan yang harus segera ditindaklanjuti, paling lambat diakhir tahun ini (2024), yaitu amar angka 12 tentang Upah Minimum Sektoral Provinsi dan upah minimum Kabupaten/Kota (UMSP/UMSK) dan angka 13 tentang formula/variabel penghitungan kenaikan upah minimum Provinsi dan upah minimum kabupaten/Kota (UMP/UMK).

Menurut Dedi, KSBSI berpandangan, dengan adanya amar angka 12 berimplikasi terdapat kekosongan hukum positif yang mengatur penetapan UMSP/UMSK. Demikian juga dengan amar angka 13 yang berimplikasi hukum formula penghitungan upah minimum dengan menggunakan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi dan indeks tertentu yang diterapkan selama ini berdasarkan PP 51 Tahun 2023 menjadi tidak berlaku, karenanya perlu dimaknai atau dirumuskan ulang sesuai makna hukum yang sebenarnya.

Amar angka 12 menyatakan Pasal 88C bertentangann dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”. Artinya, selain UMP/UMK, termasuk juga UMSP/UMSK wajib ditetapkan Gubernur atas pertimbangan dan usul dewan pengupahan.

Kemudian amar angka 13 menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.

Selain kedua amar tersebut, KSBSI juga mengapresiasi dan penting menindaklanjuti dan mengawal pendapat Majelis Hakim MK yang pada pokoknya menyatakan, pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) perlu segera membentuk UU Ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023, karena:

  1. UU 13/2003 tidak utuh lagi, karena sebagian diatur dalam UU 6/2023, dan juga 12 permohonan pengujian UU 13/2003 telah dikabulkan sebelum dibentuk UU 6/2023;
  2. Terbuka kemungkinan norma dalam UU 13/2003 dan UU 6/2023 tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis;
  3. Banyak materi yang berkenaan dengan pembatasan hak dan kewajiban buruh dan pengusaha diatur dalam Peraturan Pemerintah dari yang seharusnya diatur dalam UU, yang hal ini bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 (pembatasan hanya dapat dilakukan dengan produk hukum berupa undang-undang);
  4. Perhimpitan norma dalam UU 13/2003 dengan norma dalam UU 6/2023 sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, in casu yang berpotensi merugikan buruh dan pengusaha, sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (vide pertimbangan hukum hlm. 675 – 677).

Selain itu, dalam forum diskusi juga disepakati bahwa oleh karena terdapat fakta banyak peraturan perundang-undangan di bidang ketenakerjaan lainnya yang dinilai menghambat jaminan perlindungan, kepastian hukum, keadilan, dan kesejahteraan buruh dan serikat buruh, maka di masa pemerintahan Prabowo ini penting KSBSI mengusulkan dilakukan revisi atau amandemen perbaikan terhadap berbagai peraturan perundang- undangan di bidang ketenagakerjaan.

Atas dasar pemikiran tersebut di atas, diminta untuk melaksanakan hal-hal sebagai berikut:

I. Formula Penghitungan Kenaikan Upah Tahun 2025

1. Kepada Dewan Pengupahan Provinsi dan Kabupaten/Kota unsur KSBSI atau Federasi Afiliasi KSBSI diminta untuk melaksanakan penetapan UMP/UMK Tahun 2025 dengan berpedoman pada FORMULA KUMULATIF (PENAMBAHAN) DARI 3 VARIABEL (PERTUMBUHAN EKONOMI, INFLASI, DAN INDEKS TERTENTU), dengan pertimbangan dan kebijakan sebagai berikut:

a. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “dan” mempunyai pengertian, “penghubung satuan bahasa (kata, frasa, klausa, dan kalimat) yang setara, yang termasuk tipe yang sama serta memiliki fungsi yang tidak berbeda”.

b. Berdasarkan KBBI tersebut maka kata “dan” dalam frasa “pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) yang berbunyi, “Formula penghitungan Upah minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu” memiliki makna penjumlahan dari 3 variabel tersebut, tidak dapat dimaknai menjadi pengurang.

c. Dalam PP 51/2023 ternyata Pemerintah menetapkan formula: inflasi + (pertumbuhan ekonomi x indeks tertentu). Akibatnya variabel “indeks tertentu yang ditetapkan dalam rentang nilai 0,10 – 0,30” menjadi variabel pengurang dari pertumbuhan ekonomi. Misalnya, pertumbuhan ekonomi 5%, inflasi 1% dan disepakati indeks tertentu 0,30. Maka kenaikan upah menjadi 1% + (5% x 0,3% = 2,5%. Namun jika indeks tertentu 0,3% dihitung menjadi variabel penjumlahan dari pertumbuhan ekonomi dan inflasi maka kenaikan upah menjadi 5% + 1% + 0,3% = 6,3%.

d. Jika tetap menggunakan formula “(pertumbuhan ekonomi + inflasi) x indeks tertentu, apalagi indeks tertentu hanya dipatok dalam rentang nilai 01 – 0,3 maka kenaikan upah tahun 2025 tidak akan mencapai kebutuhan hidup layak bagi kemanusiaan, yang berdasarkan amar angk 9 disebut, “Menyatakan Pasal 88 ayat (1) yang menyatakan “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua”.

e. Untuk mencapai penghidupan yang layak bagi kemanusiaan tersebut maka MK telah mengubah pemaknaan variabel “indeks tertentu” sebagaimana dimaksud PP 51/2023 menjadi sebagaimana disebut dalam amar angka 13 yang menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat (2) bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.

f. Berdasarkan segenap pertimbangan tersebut di atas maka formula penghitungan upah minimum (UMP/UMK) tahun 2025 adalah sebagai berikut:

PERTUMBUHAN EKONOMI + INFLASI + INDEKS TERTENTU.

Dengan ketentuan:

(1). Besaran Pertumbuhan Ekonomi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan besaran yang ditetapkan Badan Pusat Statistik;

(2). Besaran Inflasi di tingkat provinsi dan kabupaten/kota sesuai dengan besaran yang ditetapkan Badan Pusat Statistik;

(3). Rentang nilai Indeks Tertentu ditetapkan sebesar 1,0 – 1,2;

(4). Contoh, untuk penghitungan UMP DKI Jakarta Tahun 2025:

• UMP DKI Jakarta Tahun 2024 = Rp5.067.381,-

• Formula penghitungan kenaikan tahun 2025:

Pertumbuhan Ekonomi + Inflasi + Indeks Tertentu

= 4,84% + 1,70% + 1,2% = 7,74%

Kenaikan sebesar 7,74% = Rp392.215,-

• UMP DKI Jakarta 2025 = Rp5.067.381 + Rp392.215 = Rp 5.459.596,-

2. Kepada Korwil KSBSI Provinsi atau Dewan Pengupahan Provinsi unsur KSBSI dan DPC Afiliasi KSBSI atau Dewan Pengupahan Kabupaten/Kota unsur afiliasi KSBSI, diminta untuk melaksanakan penetapan UMSP/K Tahun 2025 dengan berpedoman pada ketentuan Pasal 49 Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum, dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Amar angka 12 Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 168/PUU-XXI/2023 menyatakan Pasal 88C bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.

b. Dengan adanya amar angka 12 tersebut maka selain UMP/K, Gubernur juga wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi (UMSP) dan upah minimum sektoral pada wilayah kabupaten/kota (UMSK).

c. Bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 dan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 15 Tahun 2018 tentang Upah Minimum telah dicabut dan dinyatakan tidak berlaku oleh Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 23 Tahun 2021 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan sebagai Akibat Diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Beserta Peraturan Pelaksanaan, Namun oleh karena terdapat kekosongan hukum dalam pengaturan UMSP/K maka PP 78/2015 dan Permenaker 15/2018 maka untuk terciptanya asas kemanfaatan, kepastian hukum, dan keadilan PP 78/2015 dan Permenaker 15/2018 dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan UMSP/K tahun 2025 sampai terbitnya peraturan baru yang mengatur penetapan UMSP/K.

Pedoman formula kumulatif (penambahan) dari 3 variabel (pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu) dalam menetapkan kenaikan UMP/K dan penggunaan PP 78/2015 dan Permenaker 15/2018 sebagai pedoman penetapan UMSP/K ditetapkan sebagai PROGRAM JANGKA PENDEK DAN MENDESAK (2024).

II. Revisi UU No 13/2003 untuk Program Jangka Menengah (2025-2026).

1. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 168/PUU-XXI/2023 Mahkamah Konstitusi menyatakan, menurut Mahkamah pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) harus segera membentuk undang-undang ketenagakerjaan yang baru dan memisahkan atau mengeluarkan dari yang diatur dalam UU 6/2023 dengan pertimbangan yang pada pokoknya:

a. UU 13/2003 tidak utuh lagi, karena sebagian diatur dalam UU 6/2023, dan juga 12 permohonan pengujian UU 13/2003 telah dikabulkan sebelum dibentuk UU 6/2023.

b. Terbuka kemungkinan norma dalam UU 13/2003 dan UU 6/2023 tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis.

c. Banyak materi yang berkenaan dengan pembatasan hak dan kewajiban buruh dan pengusaha diatur dalam PP dari yang seharusnya diatur dalam UU. Hal ini bertentangan dengan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945 (pembatasan hanya dapat dilakukan dengan produk hukum berupa undang-undang).

d. Perhimpitan norma dalam UU 13/2003 dengan norma dalam UU 6/2023 sangat mungkin akan mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, in casu yang berpotensi merugikan buruh, sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 (vide Hlm. 675 – 677).

2. Berdasarkan pertimbangan MK tersebut maka KSBSI akan memperjuangkan pembentukan UU Ketenagakerjaan baru untuk merevisi, penyatuan, sinkronisasi, dan penataan ulang hukum ketenagakerjaan yang diatur dalam UU 13/2023, UU 6/2023, berbagai PP, Permenaker, dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, serta berbagai Surat Edaran Mahkmah Agung. Naskah UU Ketenagakerjaan baru akan segera diajukan kepada Pemerintah dan DPR RI (Baleg dan Komisi IX). Diharapkan paling lama akhir tahun 2026 sudah terbut UU Ketenagakerjaan yang baru sebagaimana dimaksud pertimbangan hukum dalam putusan Mahkamah Konstitusi tersebut.

3. Oleh karena itu DEN KSBSI meminta kepada para DPP Federasi Serikat Buruh Afiliasi KSBSI, para Korwil KSBSI, para DPC dan PK Federasi Serikat Buruh Afiliasi KSBSI di tingkat organisasi masing-masing untuk segera melakukan diskusi- diskusi atau kajian terhadap materi atau norma yang perlu di revisi dalam UU 13/2023, UU 6/2023, berbagai PP, Permenaker, dan putusan-putusan Mahkamah Konstitusi, serta berbagai Surat Edaran Mahkmah Agung, sehingga naskah revisi yang disampaikan KSBSI kepada Pemerintah dan DPR RI sesuai harapan kita masing-masing: adil dan sejahtera.

III. Revisi / Reformasi Berbagai UU di Bidang Ketenagakerjaan untuk Program Jangka Panjang (2026-2029).

1. Selain melakukan revisi / reformasi UU 13/2003 sebagaimana disebut pada angka II, KSBSI juga memandang perlu dilakukan revisi terhadap:

a. UU 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

b. UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buru;

c. UU 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan;

d. UU 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat;

e. UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial;

f. UU 3/1951 tentang Pernyataan Berlakunya Undang-Undang Pengawasan Perburuhan Tahun 1948 Nr. 23 dari Republik Indonesia untuk Seluruh Indonesia;

g. UU 1/1970 tentang Keselamatan Kerja;

h. UU 18/2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia;

2. Revisi terhadap 8 UU tersebut dilakukan dengan pertimbangan terdapat norma di dalamnya tidak konsisten, tidak sinkron, tidak harmonis, tidak terbuka, tidak responsif, tidak tegas, multi tafsir, dan berbiaya mahal yang mengancam perlindungan hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil bagi warga negara, in casu yang berpotensi merugikan buruh, sebagaimana amanat Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.

3. Oleh karena itu DEN KSBSI meminta kepada para DPP Federasi Serikat Buruh Afiliasi KSBSI, para Korwil KSBSI, para DPC dan PK Federasi Serikat Buruh Afiliasi KSBSI di tingkat organisasi masing-masing untuk segera melakukan diskusi- diskusi atau kajian terhadap materi atau norma yang perlu di revisi dalam 8 Undang-Undang tersebut beserta peraturan turunannya atau peraturan terkait lainnya.

"Sehingga naskah revisi 8 UU yang disampaikan KSBSI kepada Pemerintah dan DPR RI tertampung di dalamnya. Dan jika terdapat Undang- Undang lain selain 8 UU tersebut dapat juga diusulkan sepanjang terkait di bidang hukum ketenagakerjaan. Demikian surat edaran ini disampaikan untuk menjadi perhatian dan dilaksanakan." tandas Dedi Hardianto. (**).


Jakarta, 26 November 2024,

Elly Rosita Silaban

Presiden DEN KSBSI


Dedi Hardianto

Sekretaris Jenderal DEN KSBSI 


Narahubung: Departemen Media KSBSI

Komentar