Sidang Pengujian UU TAPERA, Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi Presiden

Sidang Pengujian UU TAPERA, Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi Presiden

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, pada Kamis (5/6/2025).

Oberlian Sinaga salah satu kuasa hukum perkara 96/PUU-XXII/2024 dimohonkan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan pihaknya optimis permohonan buruh dikabulkan oleh Majelis Hakim MK, pasalnya UU Tapera ini membebani buruh serta tidak jelas peruntukan serta barangnya ada dimana dan seperti apa, mereka hanya ingin mengumpulkan uang buruh saja tanpa manfaat yang jelas.

Baca juga:  Lagi-lagi DPR dan Pemerintah Belum Siap Memberikan Keterangan Pada Sidang MK Uji Materil UU Tapera (IV),

KSBSI.ORG, JAKARTA – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (UU Tapera) terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945, pada Kamis (5/6/2025). 

Sidang gabungan tiga perkara, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024 ini beragenda Mendengar Keterangan Ahli dan Saksi Presiden. Presiden menghadirkan Ahli yaitu Ahli Hukum Administrasi Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Oce Madril, serta Ahli Pembiayaan Perumahan dari Universitas Indonesia Prof Ruslan Prijadi. Presiden juga menghadirkan pensiunan Kementerian Perumahan Rakyat Adang Sutara sebagai Saksi dalam persidangan hari ini.

Ruslan mengatakan, Tapera merupakan bagian dari investasi sosial jangka panjang bagi pemberi kerja, meskipun di sisi lain skema ini dirasa menambah komponen biaya tenaga kerja. Menurut dia, ketika pekerja menyadari bahwa memiliki rumah yang layak bukan lagi sekadar harapan kosong, mereka akan terdorong untuk bekerja secara lebih produktif dan loyal terhadap perusahaannya sebagai pemberi kerja.

“Yang lebih lanjut akan berdampak pada kelangsungan perusahaan yang berbarengan dengan stabilitas sosial, yang merupakan basis bagi terciptanya ketahanan ekonomi sosial,” ujar Ruslan di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta.

Dia menuturkan, masalah utama dalam pemenuhan kebutuhan perumahan di Indonesia bukan semata pada ketersediaan rumah, melainkan kekurangan dana murah jangka panjang. Selama ini, sumber-sumber dana yang tersedia untuk membiayai perumahan kebanyakan berupa dana dengan tenor pendek.

Ketika dana jangka pendek itu digunakan untuk membiayai perumahan dengan tenor jangka panjang, maka biaya Kredit Pemilikan Rumah (KPR) akan menjadi lebih mahal. Menurut Ruslan, Tapera dirancang untuk mengatasi kesenjangan. Melalui penyediaan pembiayaan rumah pertama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR), negara hadir untuk mengurangi kesenjangan akses perumahan secara struktural.

Ruslan juga mengatakan, banyak negara menghadapi tantangan serupa dan jawabannya pun hampir serupa dengan bangun model pembiayaan yang inklusif, berbasis kontribusi, dan dikelola dengan prinsip-prinsip perlindungan sosial. Tapera mengadopsi model ini, dan dalam konteks Indonesia, Tapera menjadi perangkat negara menjalankan kewajiban konstitusional.

Kenapa Iuran Tapera Wajib?

Sering ada pertanyaan mengapa iuran Tapera bersifat wajib dan tidak sukarela? Menurut Ruslan, hal ini bukan kebijakan yang lahir dari keinginan untuk membatasi kebebasan individu tetapi justru untuk membentuk mekanisme pembiayaan kolektif yang berkelanjutan. Skema ini pun digunakan BPJS Kesehatan, yang tidak akan berjalan bila hanya mengandalkan partisipasi sukarela.

“Dibutuhkan dasar populasi yang luas untuk membangun pool dana yang cukup besar dan stabil agar dapat memfasilitasi pembiayaan rumah dengan bunga rendah dan tenor panjang. Itu sebabnya skema tabungan wajib digunakan bukan sebagai beban, tetapi sebagai pintu masuk bagi akses pembiayaan yang sebelumnya sulit dijangkau oleh masyarakat berpenghasilan rendah,” tutur Ruslan.

Selain itu, menurut Oce Madril, konsep kepesertaan yang bersifat wajib bukanlah hal baru. Konsep ini telah lama diterapkan pada asuransi sosial atau program jaminan sosial. Tujuan Tapera untuk menyediakan dana murah jangka panjang untuk pembiayaan perumahan baik peserta dapat dicapai dengan asas kegotongroyongan.

“Asas kegotongroyongan ini membutuhkan partisipasi banyak pihak secara bersama-sama dan jangka panjang,” kata Oce dalam persidangan yang diikutinya secara daring.

Dia juga mengatakan, pembentukan UU Tapera merupakan bagian dari pelaksanaan hak atas tempat tinggal sebagaimana perintah Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. UU Tapera juga menjadi wujud pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (UU PKP) untuk menjamin ketersediaan dana murah jangka panjang dalam rangka penyelenggaraan perumahan.

Menurut Oce, pelaksanaan program Tapera tidak menghilangkan peran negara. Sebaliknya, negara secara praktis terlibat langsung dalam penyediaan rumah bagi kalangan lemah dengan membuat sejumlah regulasi dan membentuk lembaga khusus Badan Pengelola (BP) Tapera.

Oberlian Sinaga salah satu kuasa hukum perkara 96/PUU-XXII/2024 dimohonkan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengatakan pihaknya optimis permohonan buruh dikabulkan oleh Majelis Hakim MK, pasalnya UU Tapera ini membebani buruh serta tidak jelas peruntukan serta barangnya ada dimana dan seperti apa, mereka hanya ingin mengumpulkan uang buruh saja tanpa manfaat yang jelas.   

Turut hadir dalam sidang kali ini, kuasa hukum perkara 96/PUU-XXII/2024 antara lain Irwan Ranto Bakkara, Berliando Situmorang, Tahan Simalango.

Sebagai informasi, para Pemohon terdiri dari karyawan swasta Leonardo Olefins Hamonangan dan pelaku usaha UMKM Ricku Donny Lamhot Marpaung dalam Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024. Sementara Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024 dimohonkan Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) yang diwakili Elly Rosita Silaban selaku Presiden Dewan Eksekutif Nasional KSBSI dan Dedi Hardianto selaku Sekretaris Jenderal. Kemudian permohonan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024 diajukan Federasi Kesatuan Serikat Pekerja Nasional; Federasi Serikat Pekerja Kimia Energi dan Pertambangan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pariwisata dan Ekonomi Kreatif – Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Federasi Serikat Pekerja Pekerja Listrik Tanah Air (Pelita) Mandiri Kalimantan Barat, Federasi Serikat Pekerja Pertanian dan Perkebunan, Konfederasi Buruh Merdeka Indonesia, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia, Serikat Buruh Sejahtera Independen ’92, Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman, dan Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia. Norma-norma yang diuji para Pemohon yaitu Pasal 7 ayat (1) UU Tapera yang berbunyi, “Setiap Pekerja dan Pekerja Mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum wajib menjadi peserta.” Kemudian Pasal 9 ayat (1) UU Tapera berbunyi, “Pekerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) wajib didaftarkan oleh Pemberi Kerja.”

Bagi Para Pemohon yang dapat dikategorikan sebagai masyarakat pekerja MBR, yakni masyarakat yang mempunyai keterbatasan daya beli sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah untuk memperoleh rumah (Pasal 1 angka 24 UU PKP), tentu potongan upah sebesar 3 persen akan semakin membebani hidup mereka di tengah kenaikan Upah Minimum Regional (UMR) yang ala kadarnya. Selain potongan Tapera tersebut, sejatinya beban hidup mereka telah banyak dari potongan program-program jaminan sosial lainnya, akan semakin membuat kehidupan mereka semakin tertekan, khususnya oleh kenaikan inflasi.

Bagi pekerja non-MBR yang notabene dapat dikatakan telah aman secara finansial dan mungkin telah memiliki hunian setidaknya satu unit, isu utama terfokus pada asas kemanfaatan dari adanya program Tapera tersebut. Pemotongan gaji atau upah yang disetorkan setiap bulan akan menjadi apa di kemudian hari, sementara mereka baru dapat melikuidasi tabungannya setelah masuk usia pensiun. Kendati kelak akan disematkan predikat “penabung mulia”, sepertinya tidak akan berdampak apapun bagi pekerja non-MBR dari segi kemanfaatan.

Sama halnya dengan pemberi kerja yang wajib menyetorkan 0,5 persen bagi program Tapera, tentu akan menjadi beban tambahan baru bagi usaha. Artinya, hal tersebut dapat mengganggu jalannya produktivitas usaha mengingat munculnya beban tanggungan baru.

Di sisi lain, sebagai masyarakat berpenghasilan di Indonesia, khususnya yang memiliki penghasilan rendah, telah mendapatkan potongan-potongan wajib yang cukup banyak. Adapun potongan-potongan tersebut antara lain Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) untuk Kesehatan dan Ketenagakerjaan serta Pajak Penghasilan (PPh). Para Pemohon memperkirakan seorang pekerja yang setiap bulannya wajib membayar iuran BPJS Kesehatan, BPJS Ketenagakerjaan, dan PPh21 mendapatkan potongan pendapatan berkisar pada angka 8,7 persen dari gaji per bulan yang didapatkan. (RED)

Komentar