Sistem kerja fleksibel berpotensi mengganggu praktik hubungan industrial yang sudah mapan, dan akan melemahkan kekuatan serikat pekerja/serikat buruh akibat tingginya arus keluar-masuk pekerja. Akibatnya perlindungan bagi pekerja menjadi rentan.
Baca juga: Tentang Resesi Global dan Buruh Kembali Dihantui PHK Massal ,
Apakah buruh akan hidup lebih layak dalam situasi kebijakan pasar kerja yang lebih fleksibel?
Pertanyaan ini kembali mengemuka sebagai reaksi atas kontroversi lahirnya UU No 6/2023 (pengganti UU Cipta Kerja). Bagi buruh dan aktivis buruh, peristiwa ini akan lama diingat karena UU ini kembali membongkar benteng perlindungan buruh setelah dipreteli oleh UU No 13/2003. Untuk Indonesia, situasi ini agak ironis karena pengalaman internasional, perubahan UU ke arah business friendly biasanya dilakukan pemerintah yang dimotori partai liberal, bukan partai prorakyat.
Serikat buruh (SB) mempertanyakan keberadaan UU baru ini karena dianggap melempangkan jalan kapitalisme, menjauh dari konsep ekonomi sosial yang dijanjikan Konstitusi (Pasal 27 UUD 1945), yakni pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sementara pemerintah beralasan, untuk mengatasi pengangguran akibat krisis global, perlu kebijakan yang ramah pada investasi melalui pasar kerja fleksibel.
Artinya, pemerintah mendahulukan penciptaan lapangan kerja dibandingkan dengan pekerjaan layak. Pertanyaannya, apakah ada jaminan melalui UU itu akan menciptakan pekerjaan masif? Bisakah Konstitusi membenarkan, demi alasan penciptaan kerja, pemerintah mengabaikan pekerjaan dan hidup layak? Dengan dilema ini tampaknya ada kebutuhan meninjau kembali pengertian konsep pekerjaan dan penghidupan layak.
Fleksibilitas pasar kerja diartikan sebagai kemampuan perusahaan mengatur ulang proses produksi dan penggunaan tenaga kerja yang efisien. Dimensi fleksibilitas biasanya dilakukan di area; kelonggaran pengusaha mempekerjakan dan memecat pekerja dengan biaya murah, fleksibilitas upah (termasuk penyederhanaan penetapan upah minimum), pembatasan mobilisasi serikat buruh (termasuk perundingan upah).
Hal inilah yang membuat SB menentang sistem fleksibilitas karena akan mengganggu kesinambungan karier pekerja yang berakibat pada menurunnya komitmen pekerja mengembangkan perusahaan akibat ketidakpastian kerja, mengganggu pengembangan SDM, mengganggu praktik hubungan industrial yang sudah mapan, dan selanjutnya akan melemahkan kekuatan SB akibat tingginya arus keluar-masuk pekerja.
Meskipun diakui ada sebagian kecil pekerja yang menyukai sistem fleksibilitas untuk memenuhi keseimbangan kebutuhan kerja dan keluarga, jenis pekerjaan ini umumnya hanya disukai kelompok kecil pekerja baru milenial.
Perdebatan di tingkat global tentang fleksibilitas pasar tenaga kerja bukanlah hal baru meskipun istilah itu sendiri baru populer tahun 1980-an. Serikat buruh, pengusaha, dan pemerintah memiliki pandangan yang sangat berbeda tentang ini. Tentu saja pemberi kerja lebih menyukai fleksibilitas daripada pekerja.
Sementara posisi pemerintah sangat bervariasi, sesuai pilihan politik pemerintah. Pada awal 1990-an, para pembuat kebijakan umumnya sepakat bahwa lapangan kerja penuh dan sistem perlindungan sosial yang kuat tak lagi dapat dipertahankan. Dengan demikian, salah satu isi paket penyesuaian struktural adalah memperkenalkan fleksibilitas kerja dan menurunkan perlindungan sosial sebagai cara untuk mengubah pasar tenaga kerja pada pasar yang baru.
UU ketenagakerjaan nasional harus disesuaikan dengan mengurangi perlindungan ketenagakerjaan yang tinggi yang diwarisi dari rezim sebelumnya. Namun, setelah 12 tahun berjalan, pengangguran yang tinggi tetap menjadi masalah besar di seluruh dunia, khususnya negara berkembang yang mengidap masalah tingginya pekerja informal.
Bahkan, ada bukti, di negara yang pertumbuhan ekonominya relatif tinggi, lapangan kerja tetap stagnan (lihat Nesporova, 1999). Pengalaman Argentina dan Chile tentang fleksibilitas pasar tenaga kerja mendapatkan hasil berbeda. Di Argentina, kebijakan fleksibilitas yang diberlakukan tahun 1990-an menurunkan lapangan kerja daripada meningkatkannya. Sementara di Chile, pengaturan ulang pasar tenaga kerja secara bertahap dan konsisten menumbuhkan lapangan kerja yang berkelanjutan.
Studi Bank Pembangunan Asia (ADB) berpendapat, walau reformasi ketenagakerjaan diperlukan, kebijakan ketenagakerjaan bukan penyebab utama meningkatnya pengangguran dan pengangguran terselubung di Asia (ADB 2006). Ada masalah lain, seperti birokrasi tinggi, tingkat efisiensi, dan kepastian hukum. Pertanyaannya kemudian, seberapa fleksibel atau kaku sebenarnya pasar tenaga kerja di sebuah negara?
Risiko kesehatan kerja
Di negara-negara industri, fleksibilitas pasar tenaga kerja adalah bagian dari strategi yang diusulkan OECD dalam ”Studi Pekerjaan” tahun 1994. Bank Dunia ataupun IMF sering mengambil pandangan yang sama dengan OECD dengan menyebut fleksibilitas pasar tenaga kerja adalah kunci penciptaan lapangan kerja walau beberapa ahli menentang pendapat ini karena dinilai terlalu menyederhanakan masalah.
Di negara berkembang, pasar kerja sangat fleksibel karena adanya ekonomi informal yang besar. Eskalasi sistem fleksibilitas akan memperluas jumlah pekerja informal atau informalisasi kerja. Pekerjaan mungkin bertumbuh, tetapi berakhir menjadi pekerja rentan atau pekerja tanpa perlindungan (non-employment standards) mengikuti istilah Organisasi Buruh Internasional (ILO).
"Pekerjaan mungkin bertumbuh, tetapi berakhir menjadi pekerja rentan atau pekerja tanpa perlindungan ( non-employment standards) mengikuti istilah Organisasi Buruh Internasional (ILO)."
Pemerintah melakukan langkah pragmatis dengan mengeluarkan Perppu Cipta Kerja sebagai salah satu langkah penyesuaian untuk memitigasi dampak krisis global. Namun, rumus ini tak sepenuhnya benar. Tiap-tiap negara memiliki pengalaman empiris yang berbeda walau menggunakan rumus yang sama.
Apalagi, di negara berkembang, hubungan antara perlindungan kerja dengan pertumbuhan pekerjaan dan pengangguran lemah. Poin pertama dan paling jelas adalah bahwa sebagian besar pasar tenaga kerja negara berkembang pada kenyataannya sangat fleksibel karena adanya ekonomi informal yang besar.
Sistem produksi sangat sering dipengaruhi informal. Banyak perusahaan memanfaatkan pekerja informal untuk memproduksi produk barang. Seperti praktik perusahaan yang menyerahkan sebagian pekerjaan kepada pekerja rumahan (putting out system).
Di Indonesia, pasar kerja fleksibel sebenarnya sudah terjadi karena, pertama, sebagai akibat melimpahnya tenaga kerja (oversupply) dibanding pekerjaan yang tersedia, banyak orang menerima pekerjaan apa pun asal bisa bekerja.
Kedua, lemahnya pengawasan ketenagakerjaan menyuburkan pekerja kontrak dan informal (seperti praktik putting-out system). Ketiga, regulasi yang tersedia tidak memadai untuk melindungi pekerja secara keseluruhan sehingga ada jutaan pekerja tak masuk dalam kategori pekerja karena diberi status ”mitra kerja”. Pada situasi ini, meluasnya praktik fleksibilitas akan menjerumuskan semakin banyak pekerja ke dalam pola perbudakan modern.
Minimnya debat dan konsultasi atas UU Cipta Kerja mengakibatkan banyak masalah yang kelak merugikan buruh. Keterlibatan aktor sosial mengekspresikan pandangan mereka dan berpartisipasi dalam pengambilan keputusan adalah sebuah ukuran untuk melihat apakah institusi pengambil kebijakan sensitif terhadap kepentingan publik.
Perumusan UU yang dilakukan hanya mengandalkan demokrasi prosedural dan meniadakan dialog dengan konstituen adalah sebuah kesalahan dalam tata kelola pemerintahan di era global.
Selain mengakibatkan degradasi kehidupan buruh akibat ketidakpastian pekerjaan, ketidakpastian karier, dan melemahnya perlindungan jaminan sosial, isu lain yang juga penting adalah mengenai fleksibilitas waktu kerja pada UU baru akibat adanya penambahan jam kerja lembur dan pertambahan waktu kerja pada sektor usaha atau pekerjaan tertentu yang waktu kerjanya fleksibel.
Upah murah dari sistem kerja fleksibel akan membuat pekerja mencari tambahan penghasilan untuk menutup biaya hidup. Biasanya dengan menambah jam kerja. Penambahan jam kerja ini akan menambah kasus kesehatan dan keselamatan kerja. Apa BPJS punya kapasitas memulihkan kondisi kesehatan pekerja dengan iuran kecil? Bagaimana memenuhi target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan tentang penghapusan kemiskinan? Dan seterusnya.
Bahkan, sebelum kehadiran UU No 6/2023 ini, tingkat kecelakaan kerja di Indonesia sudah sangat tinggi. Jika data 2021 dipakai sebagai basis perhitungan, tingkat kecelakaan kerja terjadi sebanyak 642 kali per hari. Data BPJS Ketenagakerjaan bisa mengonfirmasi fakta ini.
"Upah murah dari sistem kerja fleksibel akan membuat pekerja mencari tambahan penghasilan untuk menutup biaya hidup."
Data kecelakaan kerja (JKK) selama 2019-2021 terus meningkat: 210.789 orang (2019), 221.740 orang (2020), dan 234.370 (2021) dengan biaya kompensasi yang dikeluarkan Rp 1,58 triliun, Rp 1,56 triliun, dan Rp 1,79 triliun.
Data ini belum menggambarkan representasi nasional karena baru mencakup 30,66 juta pekerja atau 25 persen peserta program BPJS Ketenagakerjaan dari total 126,51 juta pekerja Indonesia. Angka nasional bisa empat kali lipat. Bisa dibayangkan apa yang terjadi jika praktik jam kerja berlebihan dalam UU diperluas; pasti akan lebih parah, apalagi tanpa pengawasan yang kuat.
Pengalaman internasional
Fleksibilitas atau kekakuan pasar tenaga kerja pada umumnya hanyalah salah satu model penciptaan lapangan kerja. Tak ada rumus yang tepat untuk semua negara. Kombinasi kebijakan pasar kerja yang berbeda dapat mencapai tujuan yang berbeda. UU untuk perlindungan kerja merupakan hal yang penting untuk kemanusiaan. Namun, banyak kebijakan yang lebih mendahulukan sistem ketimbang manusia. Padahal, tujuan kebijakan adalah untuk memperbaiki kehidupan rakyat.
Melemahnya perlindungan kerja secara keseluruhan dapat merusak tujuan bangsa untuk mensejahterakan rakyat. Pendekatan yang koheren diperlukan untuk mempromosikan pekerjaan layak dan meminimalkan pekerja yang terkucil dari perlindungan negara. Pengalaman sukses di tempat lain perlu dilihat sebagai bahan referensi kebijakan.
Model fleksibilitas paling terkenal adalah Skandinavia. Di Denmark, penurunan UU perlindungan kerja dikombinasikan dengan membuat perlindungan pendapatan yang efektif dan kebijakan pasar kerja yang memberikan keamanan kerja atau karier, termasuk penguatan jaminan sosial (active labor market policies). Di Swedia dan Finlandia, pengeluaran publik tinggi untuk layanan sosial guna mencegah defisit kerja layak.
Konteks ekonomi-sosial Skandinavia dengan Indonesia memang jauh beda, tetapi isu dasarnya adalah pemerintah perlu menemukan keseimbangan antara perlindungan pekerjaan yang diberikan pada tingkat perusahaan dan perlindungan sosial dan jaminan pendapatan yang diberikan kepada pekerja. Itulah sebabnya, agenda pekerjaan yang layak merupakan kerangka kebijakan sosial yang mengintegrasikan banyak elemen.
Walau setiap negara memiliki tujuan dan institusi sosialnya sendiri, ada tujuan yang secara umum sama, yaitu pentingnya akses ke lapangan kerja produktif, keamanan kerja dan pendapatan, penghormatan terhadap hak-hak dasar pekerja, kebebasan dari paksaan dan diskriminasi, serta kebebasan berserikat dan negosiasi yang demokratis (dialog sosial) agar tujuan tersebut dicapai.
Terakhir, mencegah eskalasi pekerja rentan sebaiknya dilakukan dengan cara: memperluas perlindungan kerja ke semua jenis pekerjaan tanpa melihat hubungan kerja, khususnya jenis pekerja yang tidak tercakup dalam perlindungan kerja (platform digital); menghindari kebijakan yang menghapuskan mekanisme perundingan tripartit upah minimum; dukungan untuk pelatihan, penempatan, dan pengembangan keterampilan; membantu pencari kerja menemukan pekerjaan; dan memublikasikan pentingnya pembelajaran seumur hidup untuk masyarakat yang fleksibel.
Pada akhirnya, peraturan pasar tenaga kerja adalah tentang masyarakat yang ingin kita ciptakan. Masalah sebenarnya terletak pada apa sistem dan institusi yang diperlukan untuk makin mendekatkan kita pada tujuan berbangsa.
(Rekson Silaban, penulis adalah Ketua MPO KSBSI) (RED/Handi) (sumber;kompas.id)