KSBSI.ORG, JAKARTA – Koordinator Wilayah Konfederasi Serikat Buruh seluruh Indonesia (KSBSI) Provinsi DKI Jakarta, M. Hory menolak tegas aturan turunan dalam pelaksanaan Undang-undang cipta kerja (Ciker) klaster ketenagakerjaan yang diterbitkan pemerintah pada 2 Februari 2021.
Baca juga: Buka Puasa Bersama, FSB GARTEKS KSBSI Serang Santuni Anak Yatim Piatu dan Program Bedah Rumah,
Hal itu diutarakan Hory saat diwawancarai peserta pelatihan Jurnalis
KSBSI yang digelar di Jakarta, Minggu 18 April 2021 kemarin. Menurut dia,
aturan turunan pada UU Cipta Kerja klaster ketenagakerjaan itu adalah Peraturan
pemerintah (PP) nomor 34, 35, 36 dan 37.
Mengenai Pasal 8 pada PP 35, khususnya tentang perubahan PKWT yang
terjadi, Hory berpendapat bahwa batasan yang diberikan dalam Undang-undang itu
merugikan buruh dimana buruh berpotensi tidak bisa menjadi buruh tetap.
Ambil Tindakan Litigasi dan Non Litigasi
Selain itu ketika buruh PKWT diberhentikan lalu mendapatkan kompensasi,
juga terjadi perubahan pada UU cipta kerja, yakni kompensasi yang dinilainya
justru merugikan buruh.
“Banyak yang sangat merugikan kaum buruh, artinya.. kami serikat buruh
akan melakukan tindakan, baik litigasi maupun non litigasi,” tegasnya.
Umumnya tindakan litigasi dapat diartikan bahwa penyelesaian kasus atau
sengketa (terutama pada hubungan industrial) akan dibawa ke jalur pengadilan.
Sementara non litigasi berarti penyelesaian sengketa atau masalah hukum
(terutama hubungan industrial) dibawa di luar pengadilan atau dilakukan
Penyelesaian Sengketa jalur alternatif.
Hory mengatakan, tindakan itu diambil sebagai langkah antisipasi
potensi sengketa yang mendera buruh saat undang-undang itu diberlakukan.
Mengenai Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP) dalam undang-undang cipta
kerja, Hory berpendapat bahwa, masih ada kelebihan dan kekurangannya, apakah
JKP pada undang-undang cipta kerja dapat membantu buruh? atau justru berpotensi
menjadi lebih buruk dari pada undang-undang tahun 2003.
Dalam hal kompensasi yang diberikan oleh perusahaan pada pekerja atau
buruh yang sudah diputus hubungan kerjanya, Hory menegaskan, menolak UU cipta
kerja beserta aturan turunannya.
Picu Konflik
Untuk diketahui, UU Cipta Kerja masih dalam proses sengketa di Mahkamah
Konstitusi pasca digugat kalangan sipil dan organisasi buruh untuk dibatalkan.
Saat ini proses sidang masih berlangsung.
Kalangan buruh berpendapat, jika proses gugatan judicial review masih
dalam proses persidangan, maka aturan dalam undang undang klaster
ketenagakerjaan seharusnya masih menganut atau mengadopsi UU ketenagakerjaan
sebelumnya, yakni UU nomor 13 tahun 2003.
BACA JUGA Kemnaker Minta
Pengusaha dan Buruh Patuhi Aturan Upah Baru
Namun sebaliknya, ada kalangan pengusaha dan pemerintah yang
beranggapan bahwa saat UU Cipta Kerja resmi disahkan, maka UU itu sudah
dianggap telah berlaku, meski masih dalam proses persidangan.
Dua pandangan inilah yang berpotensi memicu terjadinya konflik atau
sengketa hubungan Industrial. Demikian M Hory menegaskan. (Kelompok 2 Pelatihan
Jurnalis KSBSI)