KSBSI.org,JAKARTA-Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) bersikap kritis terhadap putusan formil uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang baru diputuskan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MKRI) beberapa waktu lalu. Putusan tersebut dianggap abu-abu dan tidak memihak pada keadilan buruh.
Baca juga: Kembali Aksi Demo, KSBSI Tegaskan Tolak UU Cipta Kerja dan Upah Murah ,
Hari ini, pada Jumat (10/12/2021), KSBSI
kembali aksi unjuk rasa disekitar Patung Kuda, Jakarta Pusat. Satu sisi putusan
ini menyatakan bahwa pembentukan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945.
Namun UU ini tetap berlaku serta dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Hakim
MKRI juga memerintahkan pemerintah dan DPR untuk melakukan perbaikan selama 2
tahun. Artinya, pembuatan UU Cipta Kerja memang bermasalah, namun dipaksa tetap
berlaku.
Elly Rosita Silaban dalam orasinya
mengatakan kebijakan pemerintah dalam menetapkan upah minimum pada 2022 telah
merugikan buruh. Sebab, keputusan Upah Minimum Provinsi (UMP) sebesar 1,09
persen itu tidak realistis dengan kebutuhan perekonomian buruh saat ini.
Dimana, harga sembako, biaya pendidikan, termasuk rumah kontrakan telah naik.
Selain itu, dia menegaskan kehadiran UU
Cipta Kerja Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja tak hanya mendegradasi hak
buruh. Tapi ikut membuat kesejahteraan terpuruk, karena kebijakan upah minimum
yang didapatkan buruh tak sesuai harapan. “Tahun ini buruh semakin menjadi
tumbal kepentingan politik. Kita tidak boleh diam, buruh harus melakukan
perlawanan,” ucapnya.
Dia menyampaikan apresiasi kepada beberapa
gubernur yang berani membuat menetapkan upah minimum tanpa mengikuti intruksi
pemerintah dalam aturan PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan. Jadi, dia
menyerukan, pada saat Pilkada, buruh jangan lagi memilih gubernur yang
menetapkan upah minimum karena dia takut akibat di intervensi pemerintah pusat.
Dia juga mendesak klarifikasi MKRI atas
butir-butir penjelasan yang maksimal atas putusan formil uji materi tentang UU
Cipta Kerja yang dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Sebab, sampai pasca putusan
itu, Hakim MKRI masih bungkam, belum ada bersuara.
“Kalau Hakim MKRI tidak berani bersuara,
maka mereka juga ikut mempermainkan hak buruh,” tegasnya.
Selain itu, Elly Rosita mengatakan
status Indonesia sekarang sudah menjadi negara maju. Hal ini dibuktikan,
pemerintah sudah masuk dalam anggota Negara-Negara G20. Tapi dia kecewa, kalau
memang negara ini sudah lepas dari status negara berkembang, seharusnya
pemerintah membuat upah buruh lebih layak seperti di negara maju.
“Tapi faktanya, kebijakan penetapan upah
buruh tahun ini justru membuat buruh sengsara,” ungkapnya.
Artinya, dia menegaskan bahwa nasib
buruh dimasa pandemi ini ibarat pepatah ‘sudah jatuh, tertimpa tangga’. Buruh
tidak boleh diam atas perlakuan ketidakadilan ini. “Kita harus terus berjuang
untuk mendapatkan keadilan, jangan mau ditindas kebijakan penguasa yang tak
memihak,” tegasnya.
Dedi Hardianto Sekjen KSBSI mengatakan
buruh tidak akan turun ke jalan, kalau tidak ada persoalan. Sebab, UU Cipta
Kerja adalah malapetaka dan pada dasarnya ditolak mayoritas buruh. Bahkan, saat
awal undang-undang ini dirancang sudah tak transparan dan lebih memihak pada
kepentingan investor.
“Akibat UU Cipta Kerja disahkan pemerintah, dampaknya sangat
mengerikan bagi nasib buruh. Salah satunya, kebijakan upah minimum justru
semakin memiskinkan. Dan status buruh
selamanya akan menjadi pekerja kontrak tanpa jaminan yang pasti,” terangnya.
Intinya, dia menegaskan UU Cipta Kerja
sudah dinyatakan inkonstitusional oleh Hakim MKRI. Sebab negara telah
mengabaikan UUD 1945 serta tidak menzamin hak asasi dan kepastian pekerjaan
layak. Kalau pemerintah tetap memaksakan, maka negara telah gagal menjalankan
konstitusi negara,” ucapnya.
Dalam pernyataan sikap resmi yang
dikeluarkan, KSBSI menyatakan:
1. Menolak kenaikan Upah Minimum
Provinsi (UMP dan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) yang ditetapkan pemerintah
berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021 Tentang Pengupahan.
2. Menolak upah murah.
3.
Menolak perluasan alih daya/outsourching.
4. Menolak UU Cipta Kerja dan peraturan
turunannya.
5. Mendesak presiden untuk menerbitkan
PERPPU dan menyatakan klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerjam dan semua peraturan
turunannya ditangguhkan pelaksanaannya sampai selesai perbaikan UU Cipta Kerja.
KSBSI tetap melakukan perlawanan dan
membuat strategi baru, agar pemerintah dalam merevisi UU Cipta Kerja bisa
memihak pada kepentingan buruh. (A1)