KSBSI.ORG, Elly Rosita Silaban Presiden Konfederasi Serikat Buruh Seluruh Indonesia (KSBSI) mengecam keras penangkapan aktivis demokrasi yang menolak aksi kudeta militer di Negara Myanmar. Pasalnya, pihak militer masih terus menangkapi aktivis mahasiswa, pelajar dan pimpinan serikat buruh/pekerja yang melakukan aksi penolakan. Sebelumnya, militer Myanmar telah menahan pimpinan gerakan sipil Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint dan pemimpin senior Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD)
Baca juga: ILO Akan Merilis Hasil Riset Dampak Digital Terhadap Dunia Kerja, Dimasa Pandemi, Kemenaker Terbitkan Peraturan Upah Padat Karya Tertentu Dimasa Pandemi ,
Menurutnya,
rakyat Myanmar mempunyai hak memilih demokrasi sipil untuk menentukan masa
depan negaranya. Terlebih lagi, pasca 30 tahun rezim diktator di negara ini
pada 2011 lalu, masyarakatnya telah mengalami kemajuan dalam kebebasan
berkumpul, berpendapat dan berserikat. Artinya, proses reformasi sipil yang
bergulir di Myamar ini sudah berjalan sangat baik.
“Kami
mengecam Jenderal Min Aung Hlaing yang secara tiba-tiba merebut pemerintahan
sipil. Sehingga masyarakat Myanmar kembali mengalami trauma politik dimasa
lalunya. KSBSI bagian dari gerakan demokrasi sipil menolak keras kudeta ini.
Sebab kawan-kawan kami dari serikat buruh/pekerja di yang ditangkap militer,
saat aksi menolak kudeta militer,” ucap Elly, di Cipinang Muara, Jakarta Timur
(22/2/21).
Alasan
serikatnya ikut kampanye solidaritas kemanusiaan menolak kudeta Myanmar, karena
KSBSI bagian afiliasi serikat buruh internasional. Terlebih lagi, organisasi
perburuhan internasional (ILO) dan Konfederasi Serikat Buruh Internasional
(ITUC) telah mengecam kudeta militer di Myanmar. Bahkan, KSBSI sendiri pernah
mengalami trauma intimidasi dimasa rezim otoriter orde baru (Orba), waktu
memperjuangkan demokrasi dan hak kebebasan berserikat.
“Jadi
wajar kami menolak segala bentuk kekuasaan yang bersifat otoriter. Mereka
selalu alergi dengan demokrasi. Apalagi setiap sejarah kekuasaan diktator
militer, banyak menelan aktivis buruh/pekerja menjadi korban penangkapan bahkan
dibunuh, karena kekuatan buruh itu salah satunya demokrasi,” jelasnya.
KSBSI
sendiri telah melayangkan surat protes langsung kepada Kementerian Luar Negeri
Republik Indonesia (Kemlu RI), Duta Besar perwakilan Myanmar di Indonesia dan
Jenderal Min Aung Hlaing. Dalam surat itu, Elly mengatakan mendesak Kemlu RI
tidak mengakui pemerintahan Myanmar dibawah kekuasaan militer yang melakukan
kudeta.
“KSBSI
mendesak pemerintah mengirim surat ke Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) untuk tidak mengakui pemerintahan militer Myanmar. Mendesak Dewan
Keamanan PBB memberikan sanksi bagi pemimpin kudeta dan menghentikan kerja sama
militer. Lalu menerapkan sanksi ekonomi yang komprehensif untuk menghentikan
setiap semua pendapatan militer Myanmar,” terangnya.
Lalu
meminta pemerintah agar PBB turun langsung memantau kondisi Myanmar dan
mengeluarkan laporan khusus tentang situasi HAM, terkait penangkapan aktivis
pro demokrasi. Serta mendesak mengembalikan kebebasan berkumpul, berserikat,
berpendapat dan akses informasi melalui teknologi informasi.
Selain
itu, alasan KSBSI ikut menolak kudeta militer di Myanmar, disebabkan Jenderal
Min Aung Hlaing diduga kuat sebagai dalang pelaku pembantaian etnis minoritas
Muslim Rohingya. Sehingga sebagian warga Muslim Rohingnya terpaksa mengungsi
dari negara itu.
Pada
2018, setelah Dewan Hak Asasi Manusia PBB melakukan investigasinya, akhirnya
merekomendasikan para pemimpin militer Myanmar, salah satunya Panglima
Tertinggi Jenderal Min Aung Hlaing, harus diselidiki dan dituntut terkait kasus
genosida di Negara Bagian Rakhine utara. Serta kejahatan kemanusiaan dan
kejahatan perang di Negara Bagian Rakhine, Kachin dan Shan. (AH)